19. Kisah Kelam Topkapi

129 31 6
                                    

Asgard segera menghapus air matanya dan memandang Aysun seraya melayangkan senyum tipis. "Hanya--"

"Aku tahu. Santai saja."

Begitulah Aysun. Meskipun jarang sekali bertemu dengan Asgard, tetapi ia paham bagaimana lelaki itu. Caranya? Tentu saja karena Gahya yang memang sering bertukar kabar dengannya. Dari sana juga Aysun tahu bagaimana dan apa yang biasa dilakukan Asgard.

"Masih mau berkeliling atau lanjut ke tempat selanjutnya?" tanya Aysun kemudian.

"Kurasa kita harus ke tempat selanjutnya."

Aysun mengangguk, lantas pergi diikuti Asgard.

Mereka berjalan kaki ke Istana Topkapi karena jarak yang memang terbilang dekat. Sampai di depan Gerbang Meriam, sesuai namanya, kedua orang itu langsung disambut oleh meriam besar yang digunakan ketika penaklukan Konstantinopel.

Mereka segera masuk dan mengelilingi tempat yang memiliki sejarah kelam Ottoman tersebut.

"Istana yang indah, Aysun. Pasti masa itu kekaisaran berjalan dengan sangat baik," celetuk Asgard sambil menyentuh dinding.

Perempuan yang berjalan di sampingnya terkekeh pelan. "Kamu yakin?"

Pertanyaan yang terlontar itu membuat Asgard memicingkan matanya. Apa maksud Aysun?

"Banyak sejarah kelam di sini dan jarang dikupas oleh para ulama, khususnya jika berkaitan dengan pelajaran Islam. Aku yakin di Indonesia seperti itu."

Aysun mulai bercerita.

Karena tradisi calon penerus yang naik takhta adalah putra sulung tidak berlaku, maka yang akan menjadi kaisar selanjutnya harus membunuh semua saudara laki-lakinya. Hal itu dilakukan untuk menghindari perebutan kekuasaan dan penggulingan kaisar saat sudah menjabat.

Meski begitu, kebiasaan itu ditinggalkan ketika Ahmed I meninggal.

"Jangan berpikir bahwa keadaan membaik, Asgard. Setauku, kebobrokan pemerintahan berjalan stagnan." Aysun berhenti saat menatap sebuah ruangan. "Kafes. Ada ruangan khusus bernama kafes di bangunan yang dulunya istana ini."

Meski membunuh saudara sudah ditinggalkan, kebijakan kekaisaran masih tetap sengit. Banyak calon pewaris takhta yang menjadi gila. Tidak mengherankan, sejak kecil para calon pewaris itu akan dikurung di kafes sampai sultan baru terpilih. Bosan dan terlalu bergantung pada alkohol, begitulah hidup mereka berjalan setiap harinya.

"Tidak hanya calon pewaris. Para sultan pun banyak yang gila, Asgard. Setauku, dulu para sultan tidak boleh banyak bicara karena dianggap tidak pantas. Karenanya, mereka membuat semacam bahasa isyarat untuk berkomunikasi.

"Satu contohnya sadalah Mustafa I. Beliau pernah mengusulkan pada wazir untuk menghentikan suasana hening itu, tapi ditolak. Lalu, kamu bisa menebaknya sendiri, berakhir gila."

Keduanya terus berjalan, melihat benda-benda bersejarah yang dipamerkan di istana yang kini menjadi museum itu.

"Ternyata kisah dengan penampilan tempat ini lumayan berkebalikan." Asgars tertawa kecil, menyadari pemikirannya yang salah tadi.

"Memang. Ada lagi keunikan hukum mati pada masa itu. Namanya Death Race." Mata Aysun melebar, ada sedikit binar yang ditangkap oleh netra Asgard. Yang satu itu menjadi favoritnya untuk diceritakan. "Si algojo dan si bersalah akan lomba lari melewati taman istana. Garis akhirnya adalah gerbang pasar ikan yang dulu ada di sisi lain istana. Jika algojo bisa sampai lebih awal, maka eksekusi tidak bisa dihindari, minimal diasingkan. Kalau si bersalah lebih dulu sampai, maka dia terbebas dari hukuman."

Catatan sang Musafir (Completed)Where stories live. Discover now