30. Nihil Identitas

98 33 1
                                    

Let me know if you find a mistake(s).

-o0o-

"Aku tidak tahu ada di mana sekarang. Setelah naik taksi tadi, aku diturunkan begitu saja di pinggir jalan." Ia terus berbicara di telepon sambil menoleh kiri-kanan, berharap ada rambu atau petunjuk di mana keberadaannya. Namun nihil, hanya ada jalanan yang cukup lengang. Entah apa kesalahannya pada supir taksi itu. Benar-benar tak terduga.

"Baiklah-baiklah, aku akan berjalan beberapa meter hingga menemukan halte bus. Nanti kuhubungi lagi, Daisy."

Panggilan diputusnya begitu saja. Apa lagi sekarang? Baiklah, berjalan kaki sambil menyeret koper tidak terlalu buruk untuk dilakukan. Ia hanya perlu menemukan sebuah halte, lalu naik bus, sama sekali tidak susah.

Namun, ekspektasi hanyalah ekspektasi. Sudah dua kilo jauhnya berjalan, ia tidak menemukan halte satu pun. Apakah mungkin itu bukan jalur yang dilalui transportasi umum?

"Haruskah kamu mengeluh, Nizwa? Ah ... tidak, aku tidak boleh mengeluh," bisiknya pada diri sendiri.

Ia menepuk pelan kedua pipinya, lalu beranjak. Perempuan itu memilih menyeberang jalan untuk berjalan di sisi lain yang tampak lebih teduh. Ditolehkannya kepala kanan-kiri sebelum menyeberang. Maklum, tak ada jembatan penyeberangan atau zebra cross di sana.

Yakin dengan itu, ia mulai melangkahkan kaki dengan mantap. Belum mencapai ujung, klakson tiba-tiba memekik, membuat Nizwa tak bisa bergerak. Betul saja, tubuhnya terserempet bodi mobil hingga ia terjerembab jatuh. Tidak keras memang, tetapi cukup membuatnya lemas dengan beberapa luka lecet di tangan dan kaki.

"Perbacco. Stai bene? Sono davvero, davvero dispiaciuto." Seorang perempuan yang baru keluar dari mobil berjongkok, bergerak gelisah sambil mengulurkan tangan ke arah Nizwa. (Astaga. Apa kamu tidak apa-apa? Aku benar-benar minta maaf).

Ditatapnya perempuan itu teduh. Lengkungan bibir itu spontan diberikan Nizwa. "Sorry, I don't know what are you talking about, but I am okay."

"Oh ... I am sorry. This is my fault, I drove my car carelessly. Let me take my responsibilty for this. I'll take you to the hospital." Dengan cekatan perempuan itu membantu Nizwa berdiri dan menuntunnya ke mobil. Tak lupa ia kembali mengambil koper Nizwa.

"I am really sorry. I did't mean to do that."

Nizwa terkekeh kecil. Sepanjang perjalanan, perempuan itu tak berhenti meminta maaf. Padahal, ia tak separah itu.

"It's okay. It's not a big problem. Ah ... I am Nizwa and you?" tanya Nizwa.

"Lily. Once more, sorry." Lily melirik gelisah. Ia sungguh takut terjadi apa-apa dengan Nizwa.

Sementara itu, Nizwa masih terus tersenyum, kali ini lengkap dengan sebuah anggukan.

Sampai di Maria Eleonora Hospital, Nizwa segera dituntun Lily ke unit gawat darurat. Di sana, ia langsung mendapat perawatan atas lecet-lecetnya. Nizwa bersyukur, yang menanganinya adalah perawat perempuan. Jadi, ia tidak merasa canggung saat harus menyingsingkan lengan panjang gamis.

"It's done," ucap perawat itu setelah menangani Nizwa. Senyum tersungging manis di bibirnya.

"Thank you," balas Lily dan Nizwa bersamaan.

Setelah parawat itu meninggalkan keduanya, mereka berdua berbincang.

"Kalau boleh tahu, apa tujuanmu ke sini, Nizwa? Kulihat, kamu seperti orang kebingungan tadi." Alis Lily tertaut.

Senyum kembali tersungging di bibir Nizwa. "Menghadiri pernikahan teman, tapi aku tersesat. Dari stasiun tadi, aku naik taksi, tapi entah apa kesalahanku, aku diturunkan di pinggir jalan begitu saja."

Catatan sang Musafir (Completed)Where stories live. Discover now