12. Kota Saleh yang Diazab

141 45 0
                                    

Mulmed Madain Saleh by wikipedia.org.

-o0o-

Jemarinya lincah menari di atas jurnal. Tetes demi tetes tinta, mulai berpindah dari pena ke lembaran kertas itu. Fokus mata Asgard sama sekali tak berubah. Sesekali menatap tulisan tangannya, lantas kembali ke buku yang terbuka di samping jurnal.

Merasa lelah, diletakkan pena tepat di samping buku. Ia mengucek mata sejenak, lantas menilik jam di ponselnya. Sudah pukul sebelas malam.

Asgard menyandarkan punggung pada kursi. Seketika, pandangannya menerawang. Ia mulai menjelajahi ingatan yang terlempar ke percakapannya dengan Gahya sebelum berpisah tadi. Memang, ia hanya memiliki kesempatan sehari untuk menghabiskan waktu dengan sang adik itu. Setelahnya, mereka tidak akan bertemu untuk waktu yang lama. Mungkin.

"Mas, Aya serius loh, yang masalah Mas nikah. Aya nggak mau kalau sampai Mas salah pilih pasangan." Suasana yang tadinya hangat, berubah lebih serius saat Gahya mengatakan itu.

Asgard sendiri hanya bisa memicingkan mata. Ia heran kenapa sang adik seheboh itu hanya masalah pernikahannya. Padahal, ia pun belum berpikir sampai sana, sama sekali. Setidaknya, ia ingin menyelesaikan pencarian diri dulu sebelum benar-benar membina rumah tangga.

"Mas inget santriwati kesayangan Bunda?"

Kalimat itu, sukses membuat Asgard mengerutkan kening dalam, mencoba mengingat siapa yang dimaksud Gahya. "Yang mana? Bunda selalu memperlakukan santri dan santriwatinya sama. Mana Mas tahu mana yang paling disayang?"

Gahya sedikit berdecak untuk menanggapi ucapan sang kakak. Asgard memang tidak bisa diandalkan jika berkaitan dengan pesantren. Lelaki itu terlalu cuek dahulu.

"Itu loh, Mas ... yang sering diminta Bunda nemenin keluar pesantren. Yang sering Aya paksa buat nguji hafalan juz amma waktu Aya MI, juniornya Mas di wustha. Mbak Nizwa namanya," cerocos Gahya. Gadis itu bahkan sambil melotot saking geramnya dengan sang kakak.

Asgard hanya mengangguk paham. Ternyata dia yang dimaksud Gahya. Ah ... ia hampir lupa jika Nizwa dekat dengan bunda mereka. Pantas saja Gahya menyebutnya sebagai santriwati kesayangan sang bunda.

"Memang kenapa dengan dia?"

Gahya terperangah. Sedatar itukah sifat Asgard? Ia sungguh tak habis pikir. Namun, sebenarnya gadis itu tidak tahu kenapa tiba-tiba menanyakan tentang Nizwa. "Nggak kenapa-kenapa sih, Mas. Cuma ... sebulan yang lalu Mbak Nizwa sowan ke rumah, mampir keliling pesantren juga. Bunda kelihatan seneng banget. Gahya jadi kepikiran aja, apa mungkin Bunda bakal seneng kalau Mas sama Mbak Nizwa?"

Seketika Asgard meraup wajahnya dengan kasar. Ia geram mengingat kalimat yang Gahya lontarkan itu. Melupakannya? Jangan harap. Asgard cukup sulit lupa akan sesuatu yang mengganggu pikiran.

Lelaki itu kembali melihat ponsel, setengah dua belas. Ia sudah mengantuk, tetapi belum bisa memejamkan mata.

Ia lantas berpindah dari kursi ke ranjang. Tak langsung berbaring, melainkan menumpu kedua tangan ke belakang untuk menyangga tubuh. Ingatannya kembali berputar.

"Aya sempat kepo ke Bunda setelah Mbak Nizwa pamit pulang dan Bunda cuma mesem-mesem aja. Malemnya, habis jamaah Isya' di perjalanan pulang dari masjid, Bunda tiba-tiba bilang gini, 'Bunda akan sangat bersyukur kalau kakakmu benar-benar berjodoh dengan Nizwa. She's a gorgeous girl, tapi Bunda menyerahkan semuanya pada kakakmu. Dia memiliki hak untuk menentukan pilihan'. Begitu kira-kira."

Setelah mendengar itu, Asgard langsung menggeleng tak habis pikir. Ia tak percaya jika Gahya menanyakan hal itu pada sang bunda.

"Mas saja tidak terlalu mengenal Nizwa, Ya. Hanya tahu karena pernah satu panggung saat acara pesantren. Mas juga tidak mau mengurusi hal-hal tidak penting. Pertanyaan kamu ke Bunda itu malah membebani Mas, loh." Pangkal alis Asgard tertaut sambil mengembuskan napas panjang.

Catatan sang Musafir (Completed)Where stories live. Discover now