30. Nihil Identitas

Mulai dari awal
                                    

Lily tertawa kali ini, merasa lucu. "Menarik. Kalau kamu mau, aku bisa mengantarmu ke tempat temanmu."

Nizwa turun dari brankar, dibantu oleh Lily. Ia lantas menggeleng pelan. "Tidak apa, tidak usah. Aku yakin akan mudah menemukan transportasi dari sini."

Beberapa kali Lily terlihat melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya dan Nizwa menyadari itu.

"Apa kamu yakin tidak apa-apa aku tinggal di sini? Sebenarnya, ada yang harus aku lakukan." Dahi Lily berkerut. Masih merasa tak enak sebenarnya jika meninggalkan Nizwa begitu saja.

Anggukan lagi-lagi berikan Nizwa. "Aku tidak apa-apa. Lagi pula, kamu sudah repot-repot mengurus administrasi tadi. Em ... jika tidak keberatan, aku hanya minta tolong titipkan koperku di resepsionis. Aku harus ke kamar kecil sekarang."

Sejenak kedua alis Lily terangkat. "Ah ... begitu. Baiklah, aku titipkan kopermu di resepsionis. Sekali lagi, aku minta maaf dan hati-hati."

Perempuan itu segera berlalu dari hadapan Nizwa. Ia berlari sampai hilang ditelan belokan.

Nizwa pun berjalan dengan pincang, mencari kamar mandi. Beberapa kali ditanyainya perawat yang melintas.

Setelah menuntaskan hajat, ia berniat langsung ke resepsionis untuk mengambil koper dan pergi dari sana. Namun, beberapa orang yang berlarian menghentikan langkah Nizwa.

Dahi perempuan itu berkerut. Ia yakin pasti ada pasien yang kondisinya memburuk. Namun, bukannya kembali melanjutkan langkah, ia justru pergi ke arah dokter dan perawat-perawat itu berlarian. Sebuah ruang ICU.

Rasa penasaran Nizwa benar-benar berbeda kali ini. Ia merasa perlu melihatnya. Diam-diam, ia mengintip dari balik jendela kaca, memperhatikan sosok yang terbaring di sana.

Tak terlihat, seorang perawat menghalangi pandangannya. Merasa terlalu lama, Nizwa kembali berniat beranjak, tetapi urung saat perawat itu sudah sepenuhnya beralih.

Selesai sudah, penglihatannya tak mungkin berbohong. Beberapa kali mengerjap pun, tak mengubah segalanya, tetap sosok itu yang dilihat.

Jantungnya serasa berhenti berdetak saat itu juga. Mencelos sudah. Gemetar tangannya pun tak bisa disembunyikan.

"Asgard."

Perempuan itu mundur beberapa langkah dengan kepala tertunduk. Hanya diam. Saat salah seorang perawat keluar, ia merangsek. "I am sorry, but may I know who he is?"

Perawat itu tak langsung menjawab, melainkan menatap Nizwa lekat. Ada kebingungan di raut wajahnya.

"Are you his family? No one knows him. Beberapa bulan lalu ada tunawisma yang membawanya ke sini dalam keadaan antara hidup dan mati, tanpa identitas sedikit pun. Kami tidak bisa menemukan apa pun dalam tas yang ikut dibawa bersamanya. Tidak dengan ponsel, paspor, tanda pengenal, dan yang lain," jelas perawat itu, "pihak rumah sakit memutuskan merawatnya, setidaknya sampai ada yang mencari."

Mata Nizwa membola. Apa yang didengarnya itu nyata?

"Beberapa bulan lalu? Kapan tepatnya?" kejar Nizwa.

"Sudah sekitar empat bulan dan sejak itu pula, lelaki itu koma."

Nizwa tak ingin menangis. Bisa saja itu bukan Asgard, ia pasti salah lihat. "Boleh aku masuk? Aku ingin memastikan apa dia orang yang aku kenal."

Perawat itu pun mempersilakannya masuk setelah dokter dan yang lain keluar ruangan. Sampai di sana, Nizwa semakin dibuat membatu. Titik demi titik air matanya jatuh membasahi pipi kemerahannya.

"Ini benar kamu, Asgard? Bukannya, seharusnya kamu sudah kembali ke Indonesia? Kenapa masih di Palermo?"

Perempuan itu mendekat ke brankar di mana Asgard berbaring. Dipandanginya lelaki itu lekat, sangat berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Dengan alat pernapasan terpasang, Asgard tampak lebih kurus dengan wajah pucatnya. Meski begitu, pemuda itu terlihat sangat damai.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Asgard?" lirih perempuan itu lagi.

Fokusnya beralih pada tangan serta jemari lelaki itu. Masih tampak banyak bekas luka di sana. Tak kuasa menahan perasaannya sendiri, Nizwa berakhir dengan membekap mulut dengan tangan, menahan isakan yang hampir saja lolos.

Dipejamkannya mata sejenak sebelum kembali melepas tangan. Jari lentiknya tanpa sadar terulur, hendak menyentuh rambut Asgard yang sudah memanjang. Namun, tepat se-centi sebelum menyentuhnya, Nizwa berhenti. "Tidak, tidak boleh."

Perempuan itu segera beranjak pergi dari sana. Ia tidak berniat meninggalkan Asgard, sama sekali tidak. Nizwa ingin mengambil koper di resepsionis serta mengurus semuanya. Ya, Asgard menemukan kembali identitasnya.

Sampai di depan ruangan lelaki itu, Nizwa tidak masuk, melainkan mengontak salah satu nomor yang ada di sana.

Setelah tersambung dan mengucapkan salam, Nizwa segera berkata, "Daisy, aku benar-benar minta maaf. Aku ... tidak bisa datang ke pernikahanmu. Ada hal yang sangat mendesak. Sekali lagi aku minta maaf dan aku tidak apa-apa. Jadi, jangan khawatir."

Selesai memberikan kabar itu, Nizwa kembali mencari salah satu nama dalam daftar kontaknya. Perempuan bergamis warna salmon itu bergerak gelisah sembari menunggu panggilannya direspons.

Tepat pada dering ketiga, seseorang di seberang mengangkatnya.

"Assalamu'alaikum, Aya."

"Wa'alaikumussalam, Mbak Nizwa. Ada apa? Tumben telepon Aya," balas Gahya.

Sekuat tenaga Nizwa menahan diri agar tetap tenang. "Ya, Mbak mau tanya, tolong jawab jujur. Ada kejadian atau kabar apa di pesantren? Ah ... tidak-tidak, bukan itu. Apa yang terjadi sama masmu? Sepertinya ada yang tidak Mbak tahu."

Di sana, Gahya membisu, tak tahu harus menjawab bagaimana. Nizwa sendiri tetap sabar menanti jawaban adik Asgard itu. Sampai, suara tangisan Gahya terdengar.

Gadis itu sesenggukan. Dengan tersendat, Gahya mulai berkata, "Ka-kami nggak ada yang tahu kabar Mas Asgard, Mbak. Udah empat bu-lan Mas Asgard nggak ada kabar. Kami nggak tahu dia di mana. Ayah ud-dah tanya ke sana-kemari, tapi nggak ada satu pun teman Mas Asgard yang tahu dia di mana."

Jika tidak ada dinding, Nizwa pasti sudah luruh ke lantai. Jadi, semua orang tidak tahu jika Asgard di sini? Bersamanya?

Jujur, Nizwa ingin marah karena mungkin, hanya dia yang tidak tahu tentang hal ini. Ia yakin bahwa alumni pondok satu angkatannya atau angkatan Asgard pasti tahu, tetapi kenapa dia tidak?

Sejak panggilan Snotra yang ditanggapi seorang perempuan itu, Nizwa benar-benar bertekat tidak memikirkan apa pun selain tesis sampai sekarang sudah wisuda. Namun, malah begini jadinya, ia tidak bisa menyalahkan siapa pun.

Baru akan mengatakan kabar mengejutkan itu, mata Nizwa membulat saat samar-samar dilihatnya Asgard kembali kejang hebat dari jendela kaca. Tanpa salam, ia memutus panggilan sepihak dan berlari memanggil dokter. Ah ... pincangnya pun seakan hilang begitu saja.

Dalam penanganan itu, tak henti Nizwa berdoa, "Aku serahkan semuanya pada-Mu. Allah ...."

-o0o-

I don't know what to say.

Catatan sang Musafir (Completed)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang