🍇 42

279 58 7
                                    

Kinta membuka gerbang dari komplek pusara keluarganya. Ia lalu berjalan sambil menggenggam setangkai bunga matahari di tangan kanan.

"Assalamualaikum," ucap Kinta dengan suara kecil.

Semakin berjalan, Erkan dan Kinta kemudian sampai di sebuah pusara yang terlihat lebih kecil daripada yang ada di sekitarnya.

"Halo, El," sapa Kinta dengan diakhiri senyum manis.

Erkan diam, hanya memperhatikan tulisan di papan kayu yang ada di atas gundukan.

El
Lahir: 12 Desember 2002
Wafat: 12 Desember 2007

Kinta kemudian berangsur jongkok sembari menyimpan bunga matahari di atas makam El. Lalu, ia memejamkan matanya sembari memanjatkan doa.

Erkan ikut berjongkok, kemudian mengikuti apa yang Kinta lakukan. Setelahnya, lelaki itu kembali melihat papan.

"Bukan cuma Erkan kok yang bingung, Kinta juga. Selama ini Kinta bingung kenapa nama El gak ditulis lengkap, kenapa gak ditambah bin nya? Dan lagi Kinta gak tau nama aslinya El. Dari kecil manggilnya cuma itu."

"Abis mobil Kinta kena kecelakaan di taun 2007, mamanya El meninggal di tempat, Kinta liat Bunda sempet bangunin mamanya El, tapi abis itu nangis keras."

"Terus, pas Kinta liat El yang lagi dipangku di bangku depan sama mamanya juga, El lagi lemes dan badannya udah penuh banget sama darah ...." Kinta menahan sesak, apalagi saat ingatannya tentang Kak Juan yang berteriak kesakitan kembali terngiang. "Waktu itu yang duduknya di sebelah kiri parah banget ..."

"Lo pasti trauma," kata Erkan.

"Makanya Kinta agak takut sama luka, apalagi luka robek. Karena bayangan kecelakaan itu balik lagi." Kinta mengeratkan genggamannya pada tangannya sendiri.

"Di rumah sakit, Kinta gak dapet kabar lagi tentang El. Terus tiba-tiba aja pas Kinta udah bisa pulang ... papanya El ternyata udah pindah rumah. Jadi rumah itu kosong."

Erkan menyimak penuturan Kinta.

"Kinta pikir gak akan ada lagi yang bakal nempatin rumah itu, taunya Erkan dan Tante Nova dateng." Kinta bisa sedikit tersenyum, kemudian saat sesuatu terlintas di kepalanya, ia segera bertanya. "Oh iya Erkan, kalo Erkan bisa tinggal di rumah itu, berarti Erkan ngurus berkas sama pemilik sebelumnya kan(?) Berarti Erkan kenal ..."

"Gue gak tau apa-apa tentang rumah itu," tandas Erkan. "Mama yang urus."

Kinta mengangguk paham.

***

Leo bermain pistol permen yang gabut ia beli dari online store di ruang tamu Kinta. Ya, dirinya memang lebih betah tinggal di sana daripada di rumahnya sendiri. Mungkin karena di rumah Leo memang anak tunggal dan tak memiliki siapapun yang bisa diajak bicara kecuali saat orang tuanya pulang bekerja.

Mulutnya kemudian terbuka untuk memasukkan permen tersebut, menjilatinya dan merasakan permen yang sebenarnya rasanya sama saja sejak dulu.

Saat Juan datang, Leo berhenti mengemut dan melapor sesuatu. "Juan, ayo mendekat!" suruh Leo memakai nada Dora saat mengusir Swiper.

Juan menurut saja dengan teman sengkleknya satu ini, dan duduk persis di sebelah Leo. "Gue liat ibunya Dariel tadi, tapi gak kenal."

"Bukan Tante Rea?"

Leo mengangguk. "Bukan." Ia lalu berdecak. "Identitas bapaknya masih ga gue temuin. Tiap-tiap gue ngawasin rumahnya Dariel, gak ada bapaknya keliatan. Padahal gue udah niat beli ini anjir!" Leo mengangkat sebuah teropong. "Ga guna!" Lelaki itu kemudian melempar teropong ke sofa yang jaraknya cukup jauh dari mereka.

Blackcurrant ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang