Yara kehilangan kata-kata, Risa terlalu menyudutkannya sampai ke lapisan dinding paling akhir.

Bisa Risa rasakan Kinan menarik-narik seragamnya, memberi kode untuk segera pergi dari kantin yang kini hampir mirip panggung drama yang jika ingin menonton tidak perlu mengeluarkan biaya tersebut.

Bahkan Mang U'u, penjual bakso yang tadi sempat membereskan mangkuk yang pecah, turut menonton tanpa berkata apa-apa, apalagi mencoba mencegah Risa yang mulutnya lebih pedas dari sambal yang biasa ia buat untuk siswa-siswi yang memesan bakso super pedas sampai membuat sakit perut.

"Nggak bisa jawab kan lo? Makannya nggak usah songong." Risa berkata sambil menatap remeh pada Yara. Detik selanjutnya ia membawa Kinan pergi, berencana untuk mengobati tangan sahabatnya yang terkena kuah bakso itu.

"Risa sialan!" desisnya ketika ia melihat punggung dua orang itu keluar dari kantin.

--

"Heran gue heran, tiap hari ada aja tingkahnya tuh si Malam." Haikal duduk dibangkunya sambil memakan roti, disusul Azka yang juga tengah memakan roti duduk disamping Rafael.

Rafael mengambil roti yang dibawa Azka untuknya. Setelah memakan mie ayam di kantin lantai dua, Rafael memutuskan untuk menyuruh Haikal membelikannya roti untuk memenuhi perutnya, ia malas jika harus menuruni tangga. Haikal nurut-nurut saja, apalagi saat Azka ikut dengannya, ingin melihat gebetan katanya.

"Malam? Siapa tuh?" Azka bertanya pada Haikal. Memangnya disekolah mereka ada yang bernama Malam?

"Itu loh si Nayara."

"Kenapa namanya jadi malam?" Ini Rafael yang juga penasaran.

Haikal nyengir kuda,
"Mak Lampir."

Sontak keduanya mendaratkan buku masing-masing pada kepala Haikal.
"Adoy sakit bego!"

Rafael dan Azka tak peduli, tetap melanjutkan acara makan rotinya.

"Emang kenapa lagi si Yara?" Rafael bertanya, jiwa-jiwa penasarannya terlalu tinggi untuk dilewatkan.

"Biasa, ngebully Kinan lagi." Azka yang menjawab, diikuti anggukan Haikal.

Rafael hanya menghela nafas. Rasanya ia ingin sekali memberi pelajaran pada Yara. Tapi, apa yang harus ia lakukan? Ia terlalu malas beradu mulut dengan orang macam Yara, terlalu batu. Lagipula, jika ia mengatakan yang sebenarnya ia takut, takut nanti Yara akan semakin menyakiti Kinan karena tau ada yang menyukainya.

"Lo ada rencana buat nembak Kinan ngga sih?" Haikal bertanya pada Rafael setelah ia menghabiskan rotinya dan meneguk minuman yang juga ia beli dari kantin.

"Ada ... mungkin," jawabnya ragu-ragu.

Jujur saja, ia menaruh rasa pada gadis tunawicara itu tanpa ada alasan khusus. Saat kelas sepuluh, ia sering melihat Kinan saat istirahat atau pagi-pagi sebelum bel berbunyi dengan wajah yang selalu ceria tanpa beban. Padahal Rafael tau, Kinan menanggung beban yang berat karena setiap hari ia harus menelan semua ocehan-ocehan orang yang mengatai kekurangannya, belum lagi masalah bully yang menimpanya.

Atau saat Rafael melihat gadis itu sedang di perpustakaan kemudian tertawa sendiri saat membaca novel. Ia sangat menyukai bagaimana raut bahagia terlihat jelas diwajah cantik itu. Oh, dan yang paling membuat Rafel jatuh semakin dalam adalah, tawa tanpa suaranya.

"Jangan ragu-ragu gini dong, kalo suka tembak, kalo nggak suka, lupain." Azka yang juga sudah selesai menghabiskan rotinya, memberi saran.

"Gue bukannya ragu, cuma ngerasa kaya ... takut. Takut kalo misalnya nanti Kinan ternyata nggak suka dan nolak perasaan gue, gimana?"

Haikal sontak tertawa,
"Kok lo jadi cemen gini sih? Jangan gitu lah Bro. Lo harus berjuang dulu, berusaha bikin dia nyaman sama lo. Urusan hasil mah belakangan, lo tau kan usaha nggak akan mengkhianati hasil," katanya setelah tawa lelaki itu mereda.

Rafael mengangguk. Ia meraih botol berisi minuman yang tinggal setengah kemudian meneguknya sampai habis, membasahi kerongkongannya yang terasa kering.

"Bener tuh. Emangnya lu mau diem aja sampe Kinan diambil cowo lain terus lu jadi sadboy? Jangan jadi kaya si siapa itu di drama Korea yang jadi sadboy gara-gara saingannya temen sendiri." Azka terlihat berpikir, mencoba mengingat-ingat nama yang sedang ia bicarakan.

Haikal mengernyit, "Suho?"

"Nah, nah! Itu yang jadi sadboy siapa namanya gua lupa."

"Sujun?" Rafael menyahut, merasa familiar dengan drama yang dimaksud.

"Seojun! Ah iya Seojun, bukan Sujun! Jangan jadi kaya dia dah, kasian. Nggak ngungkapin perasaannya cepet-cepet jadinya Jukyung malah jadian sama si Suho."

Haikal menggebrak meja dengan pelan, "Bener tuh, gue nih sebagai tim Seojun jadi gregetan sendiri liatnya, kenapa nggak langsung bilang aja kalo dia tuh suka sama Jukyung."

"Heh ini kenapa malah pada ngomongin drama sih? Kan gue lagi pusing masalah Kinan." Rafael menelungkupkan wajahnya pada kedua tangannya, lelah mendengar teman-temannya membicarakan tentang drama yang bahkan Rafael sendiri tak tau pemainnya seperti apa.

"Ya ini kan juga pelajaran buat lo, biar nantinya lo nggak nyesel terus jadi sadboy. Kalo lo mau tau selengkapnya nonton dramanya aja deh." Azka menepuk pelan bahu Rafael.

"Setuju gue, rekomendasi banget dramanya."

Rafael mendongak, menatap kedua temannya secara bergantian, menimang-nimang apakah nanti ia memang harus menonton kisah antara Jukyung, Suho dan Seojun atau tidak.

"Boleh juga."













Tbc

BLESSUREOnde histórias criam vida. Descubra agora