III - Peruggia

4 1 1
                                    

Lev yang selalu bingung mendengar nama yang disebut oleh siapa pun otomatis menoleh ke arah Reva dan bertanya, "Siapa?"

"Orang yang tadi mengantar kita ke sini!" Reva segera menunjuk-nunjuk jendela di kamar apartemen Ryo, bermaksud menunjuk ke arah tempat parkir yang bahkan belum tentu ada di luar jendela tersebut. Bisa saja di sisi lain bangunan. "Peruggia, namanya Peruggia! Apa mungkin dia ada hubungannya...?"

"Aku tidak tahu apakah dia ada hubungannya atau tidak," sahut Ryo sambil menunjuk beberapa baris pada kertas profil Vincenzio Peruggia yang ditunjukkannya tadi. "Tapi, aku tidak akan bilang tidak mungkin kalau Peruggia yang ini sama dengan Peruggia yang kalian sebut-sebut tadi. Selalu ada kemungkinan bahwa idealisme seni seperti yang tadi kukatakan diturunkan kepada anak dan cucu, dan mungkin saja Peruggia yang ini sudah tertular oleh kakek buyutnya sehingga berencana untuk mengembalikan Mona Lisa ke Italia juga."

"Masuk akal." Lev manggut-manggut, diam-diam merasa kagum terhadap analisis pemuda di hadapannya yang belum ia ketahui setua apa—mungkin hanya satu atau dua tahun lebih tua daripada Izanami? "Tapi, kenapa mereka memaksakan diri untuk mengembalikan lukisan itu ke Italia? Apa motifnya selain 'nasionalisme akan seni' seperti yang tadi kamu bilang?"

"Menurutku itulah satu-satunya motif mereka," balas Ryo tegas. "Tidak jarang aku melihat orang seperti itu meski aku belum sepenuhnya masuk ke dalam dunia seni. Banyak yang merasa bahwa seseorang yang berasal dari suatu negara tidak akan cocok dengan seni dari negara lain yang dianggap 'wah' di negara tersebut karena perbedaan budaya. Kurang lebih begitulah, mereka berpikir bahwa tempat terbaik untuk memajang lukisan adalah negara tempatnya 'lahir'."

"Apa mungkin karena uang juga?" Reva berusaha berteori, merasa bahwa sekadar nasionalisme seni terlalu dangkal untuk jadi alasan utama pencurian lukisan berharga. "Siapa tahu mereka dibayar untuk mencuri lukisan itu dengan dalih nasionalisme."

Menjawab omongan Reva, Ryo menggelengkan kepalanya.

Ruangan kembali hening setelah teori kapitalis yang Reva kemukakan itu tidak menerima respons baik dari Lev maupun dari Ryo. Ketiganya sibuk tenggelam di dalam pikiran masing-masing, mencari cara terbaik yang mungkin dapat dilakukan untuk menemukan lukisan yang hilang itu secepat mungkin.

"Menurutku," Lev berdeham, "kalau kita memang tidak yakin dengan keberadaan penolong kita tadi—"

"Sapiente Peruggia," tambah Reva cepat.

"—terima kasih atas koreksinya, Reva." Lev mendecih pelan. "Intinya, kalau kita memang tidak yakin keberadaannya akan membantu kita dalam melaksanakan kasus, mungkin akan lebih baik kalau kita ... tidak menggunakannya di dalam kasus ini."

Reva mengernyitkan dahi. "Maksudnya?"

"Kita bisa menelepon Dilan untuk bilang bahwa kita ingin dia menarik temannya itu dari kasus," jelas Lev dengan wajah kesal. Wajar, mengingat tidak biasanya Reva mempertanyakan maksud Lev karena mereka sudah satu frekuensi dalam hal menganalisis. "Masalahnya, dia bukan orang agensi jadi dia masih abu-abu bagi kita. Oke, dia mungkin orang kepercayaan Dilan, tetapi orang yang ia percaya tidak selamanya bersih, bukan? Apalagi kalau ia hanya teman lama yang asal-usul dan kegiatan sehari-harinya tidak selalu direkam oleh Dilan."

"Kalau aku boleh berpendapat," Ryo mengangkat tangan kanannya, "sepertinya memang lebih baik tidak melibatkan orang yang mencurigakan untuk membantu kalian menyelesaikan kasus ini."

"Oke...." Reva dengan ragu merogoh ponselnya di saku. "Kita telepon Dilan sekarang, atau bagaimana?"

"Lebih cepat lebih baik," sahut Ryo lagi.

Lev mengangguk sambil mengambil alih ponsel Reva dari tangan si wanita. Reva otomatis mengembuskan napas lega, sangat merasa tertolong dengan fakta bahwa Lev yang akan menelepon bos mereka dan bukan dirinya sendiri. Bukan apa-apa, melainkan Reva masih merasa tidak enak kalau harus menarik seseorang dari kasus padahal ia sudah cukup membantu selama prosesnya.

The Bated NakamuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang