I - Misi yang Diganti

6 1 1
                                    

Roma, April 2016.

"Bonjour."

"... itu bahasa Prancis, gak sih?"

Pria bersurai hitam yang jadi pembicara pertama tergelak mendengar respons sang wanita di sampingnya. Dahi wanita itu dikernyitkan, tampak tidak terima dengan satu kata sang pria yang tentu saja ditujukan untuk bercanda.

"Yah." Si pria mengangkat kedua tangannya lalu mendaratkan salah satunya di pundak sang wanita. "Yang penting orang paham."

Si wanita mendengus, tetapi rangkulan sang pria tidak ia tepis. "Mau paham gimana? Bahasanya aja nggak sesuai daerah."

Lagi-lagi si pria tergelak. "Serius amat sih, Rev."

"Serius?" Si wanita yang dipanggil "Rev" itu melayangkan tatapan protes kepada si pria. "Kita ke sini buat ngerjain misi, Lev, bukan liburan. Kalaupun liburan juga aku bakal tetap bilang kamu ngaco, sih."

Pria dan wanita itu, Lev dan Reva, baru saja tiba di Bandar Udara Internasional Leonardo da Vinci di Roma, Italia. Keduanya telah melakukan perjalanan jauh, terbang dari Negeri Matahari Terbit sampai ke area tempat mereka menginjakkan kaki saat itu. Dengan perbedaan waktu tujuh jam antara Roma dengan Tokyo, dan perbedaan lima jam antara Roma dengan Bandung, mau tidak mau Lev dan Reva harus kembali menyesuaikan diri.

Seperti yang tadi Reva katakan, keduanya datang ke negeri yang terkenal akan keseniannya ini untuk mengerjakan misi. Sebelum berangkat ke Roma, keduanya sempat menjadi "saksi"―jika indra pendengaran dianggap―ditangkapnya seorang mahasiswa asal Jepang, Nakamura Ryo, yang berkuliah di Roma oleh polisi lokal. Alasannya tidak jelas karena telepon diputus oleh Ryo setelah ia menyampaikan bahwa ia ditangkap polisi. Lebih parahnya lagi, tidak ada informasi lebih lanjut mengenai kondisi terkini Ryo ketika Lev dan Reva berada di pesawat. Padahal, ponsel mereka sudah mereka hubungkan dengan koneksi internet nirkabel yang disediakan pesawat, tetapi tetap saja, tidak ada kabar berita!

"Iya deh, iyaaa, Yang Muliaaa." Lev memindahkan tangannya yang tadi merangkul Reva untuk merogoh ponsel di saku jaket. Diperiksanya benda canggih itu untuk melihat apakah ada pesan baru terkait misi yang akan mereka jalani di kota baru itu. "Wah, HP-ku juga sepi, nih."

"Mungkin baiknya kita cari makan dulu," ujar Reva sambil menunjukkan layar ponselnya kepada Lev. Ada empat angka pada layarnya itu: 18:28. Jam, waktu Roma. Meski langit di luar masih terang, tetapi Reva tahu kalau waktu makan malam sudah tiba. "Ambil koper dulu, cari makan, terus kita coba kontak Dilan buat instruksi selanjutnya."

Lev tidak melihat adanya pilihan lain yang lebih baik di dalam otaknya, jadi ia hanya mengangguk. Keduanya kemudian berjalan menyusuri koridor yang mengarahkan para penumpang pesawat dari terminal kedatangan internasional ke loket imigrasi.

Sejujurnya, Reva sudah mulai terbiasa menghadapi berbagai jenis manusia ajaib yang akan muncul di hadapannya sebagai petugas imigrasi. Tidak semua petugas yang ia jumpai akan bersikap ramah dan baik. Ada pula yang menyebalkan, ada pula yang datar-datar saja, dan sudah pasti ada pula yang bersikap terlalu detail padahal itu tidak diperlukan. Beda negara, beda kepribadian. Bahkan petugas imigrasi di dalam satu negara pun bisa beragam cara menghadapi turisnya.

Paspor dicap jadi bukti bahwa Reva secara legal sudah melewati proses administrasi Italia. Ia menunggu Lev yang masih tertahan karena obrolan petugas imigrasi yang agak lama—benar kan, petugas imigrasi dalam satu negara bisa berbeda-beda cara menghadapi turisnya? Begitu pria itu menerima cap di paspornya, barulah keduanya kembali berjalan cepat menuju area pengambilan bagasi.

The Bated NakamuraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang