49. Prancis manis

37 14 0
                                    

"Kalimatku akan menghangatkanmu, meski ragaku tidak benar-benar memelukmu. Sungguh, kalimatku dibubuhi hati yang hangat menyayangimu."

***

Minggu pagi di rumah Pak Candra adalah sebuah orkestra. Gue selalu nyaman dengan tempat tidur gue yang dibilang empuk sih enggak--tapi selalu bisa bikin gue betah berlama-lama untuk tidur. Rasanya, ada lem korea yang melengket membanjiri tempat tidur gue--membuat gue sulit untuk bangun. 

"Lanang! Bangun! Turun kesini!" Tiga kata penuh amarah keluar dari mulut ibunda tercinta. Untuk panggilan pertama, gue mengabaikannya. Masih pengen bobo cantik

"Lanang! Bangun! Turun kesini!" Tiga kata penuh amarah keluar dari mulut ibunda tercinta. Untuk panggilan kedua, gue masih mengabaikannya. Masih pengen bobo cantik part dua.

"Lanang! Bangun! Turun kesini!" Tiga kata penuh amarah keluar dari mulut ibunda tercinta. Untuk yang ketiga, gue udah gak bisa mengabaikannya. Tiga kata perintah itu dibarengi dengan siram air dingin yang mengguyur badan dan kasur gue. "Mau bangun atau mau dibikin tidur selama-lamanya?" ibu gue udah marah banget ini. 

"Iya, Lanang mau bangun," ucap gue sembari memeras baju yang basah kuyup disiram gelombang hujan lokal. "Mandi sana, terus ke pasar beliin ini-" ibu gue menyodorkan list belanjaan yang mesti dibeli. "Ini kan udah mandi," ucap gue sembari mengoleskan air yang gue peras dari baju ke pipi ibu. 

"Jorok! Cepet mandi dulu sana!" Ibu emang selalu bersemangat tiap minggu pagi. 

***

Jam lima. Gue udah selesai belanja apa semua yang disuruh sama ibu. Setelah itu, gue buru-buru menuju kafe yang ada dideket sekolah. Ini adalah pertemuan pertama gue sama kak Zahra. Sebuah pertemuan yang sekarang enggak terlalu gue tunggu-tunggu karena semalaman gue mikirin masalah Aksara. 

Yaudahlahya, sekarang have fun dulu aja sama kak Zahra

Beberapa saat kemudian, gue tiba di depan kafe. Pukul enam pagi itu dingin banget--sedingin sikap doi sama gue. Toko-toko di seberang jalan belum ada yang buka, gerbang sekolah juga masih tertutup. Sementara, lampu depan kafe Zara masih menyala. Ada aroma roti yang baru dipanggang tercium dari balik pintu klasik itu.

Bunyi lonceng terdengar sayup-sayup. "Lanang?" suara itu menyapa dari arah belakang. "Eh, kak." Kak Zara udah siap dengan setelan trainingnya. Dugaan gue bener, dia mau ajak gue jogging bareng. 

"Kamu pake baju training juga?" Zara mengenakan kupluk merah muda bertuliskan Cool. 

"Iya, untung aja tebakan aku bener." Gue menatap cewek indo didepan gue malu-malu. "Tebakan apa emang?" tanya Zara. 

"Tebakan kalo kak Zara mau ajak jogging bareng." 

Kak Zara tersenyum. "Yuk." 

***

Satu jam sudah kami jogging sama-sama. Kesannya? Sangat mengasyikkan. Kak Zara adalah sosok cewek yang pemarah tapi ngegemesin. Sepanjang jalan dia sering ngoceh tentang satu dan banyak hal. Gue hanya mengikuti alur aja. 

"Maaf ya, aku orangnya emang nyablak," ucap kak Zara dengan gaya bicara yang tidak mencerminkan umurnya. Imut-imut gimana gitu. "Ih gapapa, aku kalo baru pertama ketemu juga suka gabisa nyari topik, jadi maaf juga kalo diem mulu." 

Semester Genap (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang