XIV - Somewhat to Get Closer

137 26 14
                                    

Selesai dari ruangan Hange, Levi dan Petra berjalan ke lorong kampus yang dipenuhi dengan tatapan dan bisikan mahasiswi-mahasiswi. Lihatlah pakaian Levi yang formal dengan setelan jas berwarna hitam, kemeja abu dan cravat berwarna putih yang menjadi ciri khasnya, memasang wajah dingin misterius membuat kaum hawa makin penasaran, dan badan yang tegap, berotot proprosional. Meski tinggi badannya itu pengecualian. Petra menjaga jarak dari Levi agar dirinya tidak ikut diperbincangkan.

Salah satu wanita nekat menghalangi jalan Levi dengan menunjukkan kemolekan tubuhnya dibalik pakaian yang ketat dan membuka kancing bagian atas, menggoda Levi ajak berkencan.

Levi hanya mendesis "Tch" dan berlalu pergi membuat teriakan wanita itu dan sekitarnya semakin histeris. 

'Oh Tuhan, sungguh mulia laki-laki dihadapanku ini' Petra membatin senang melihat Levi menolak ajakan wanita barusan. 'Or maybe he's gay?'

Seakan bisa mendengar pikiran Petra atau memang Petra bicara tanpa sadar, Levi menoleh ke belakang menatap tajam, "I'm not gay. Tidak tertarik wanita seperti itu bukan berarti aku tidak menyukai wanita". Seketika Petra mengangguk kepalanya kencang agar terlihat meyakinkan kalau dirinya takkan mengulangi ucapan lancangnya tadi.

Petra pamit untuk pulang ke rumah namun ditahan oleh Levi, "Mungkin sudah waktunya kau perlu mengetahui Paradis". Petra mengangguk setuju dan Levi membawa mobilnya menuju rumahnya di Coldwater Canyon, masih satu kawasan Beverly Hills, daerah perbukitan Los Angeles yang terkenal dengan hunian para artis dan orang ternama.

Kesan pertama rumah Levi ialah semi industrial-modern yang ditampilkan, lantai marmer abu atau kayu sebagai pembeda ruangan, dindingnya berwarna putih bercampur sebagian menampakkan warna semen dan jendela-jendela di sisi kiri yang lebar membuat ruangan memiliki pencahayaan alami dari matahari senja berwarna jingga.

Tak banyak perabotan yang diisi, semua perabotannya berbahan kayu dan berwarna monochrome. Petra memasuki ruangan yang lapang tanpa sekat antara ruang tamu dan ruang keluarga, mungkin, karena Petra tak bisa melihat fungsi ruang keluarga bagi seseorang yang tinggal sendirian di rumah yang sangat besar. Levi menyuruh duduk Petra di sofa dekat perapian yang dinyalakan. Kesan kedua ialah ruangan ini atau mungkin seluruh rumahnya sangat sangat bersih. Petra ditinggal sendirian di ruangan.

Sambil menunggu, Petra berjalan mengamati ruangan. Dekat perapian terpajang pigura foto berukuran sedang menampilkan Levi yang berusia sekitar lima tahun yang digendong bersama kedua orangtuanya. Lucu, dari kecil ternyata Levi memang bukan tipe orang yang suka tersenyum. Ibunya Levi tersenyum sangat cantik dengan rambut hitam panjang melebihi bahu, jelas wajah yang Levi punya menurun dari ibunya. Sedangkan ayahnya, tinggi badan setara dengan ibunya, ekspresi wajahnya yang tak banyak senyum ternyata dari ayahnya, dan memiliki wajah rupawan khas orang Perancis.

Petra cepat-cepat kembali duduk, takut si empu marah kalau ketahuan. Di depan sofa ada meja rendah terdapat vas bunga kecil berisi bunga lavender segar. Hanya bunga lavender yang memiliki warna lain di ruangan. Levi kembali dengan beberapa buku di kedua tangannya dan meletakkan diatas meja. Ada sepuluh buku yang judulnya ada kata Paradis. Petra membaca salah satunya secara acak, tertulis disana kalau Paradis adalah sebuah pulau yang letaknya dekat dengan pulau Afrika, namun dari peninggalan reruntuhannya ditemukan banyak bukti kalau orang yang mendiami pulau itu dominan ras Eropa. Aneh, Petra terhanyut dalam buku itu membaca beberapa lembar.

Kemudian mengambil sebuah buku lagi dan membacanya, hampir separuh dunia melawan Paradis karena mereka memiliki persenjataan berupa sihir dengan kekuatan raksasa. Petra jadi bingung sendiri membaca beberapa kalimat disana, karena di dalam mimpinya dirinyalah yang dikejar oleh raksasa kenapa malah dunia yang merasa ketakutan

Rata-rata semua buku yang Levi miliki tidak ada ilustrasi gambar atau foto. Menganggap Paradis adalah pulau yang hilang dan pantas untuk dilupakan. Petra menutup buku, melihat jam di tangannya yang sudah menunjukkan pukul 6 malam. 'Sudah sesore ini?'

Petra buru-buru mengemasi buku pinjaman Levi untuk segera pulang, tapi Levi tidak ada di ruangan keluarga. Terdengar bebunyian dari arah dapur yang sedang memasak, Petra berjalan mendekat ke arah suara. Levi dengan celemek berwarna abu dan menggunakan bandana untuk menutupi sebagian rambutnya, pemandangan yang membuat Petra geli namun ia tahan.

Petra mengamati cara Levi dalam memasak. Levi termasuk cekatan dan telaten dalam memasak bagi ukuran laki-laki bujang yang tinggal sendirian. Terpikir betapa beruntungnya wanita yang akan bersanding dengan Levi atau mungkin akan kerepotan menyeimbangkan levelnya. But nobody is perfect.

Petra membuka suara, "Kau memasak untuk dirimu sendiri kah? By the way, aku pamit harus pulang sekarang, mau memasak makan malam. Ayahku pasti sedang menunggu di rumah"

Levi menghentikan memotong sayuran, "Kau tidak lihat HPmu?"

Petra segera merogoh sakunya mengeluarkan HP, tanpa ia sadari sudah menerima pesan dari ayahnya sejam yang lalu.

Nak, kau sedang di rumah Levi bukan? Temani dia makan malam ya, mendadak ayah ada acara pesta dari rekan kerja ayah. Have fun ya, salam buat Levi

Mungkin karena terlalu fokus dengan buku barusan membuatnya tak mendengar ada notifikasi masuk, "Ah iya maaf. Ayahku pasti merepotkanmu dan sering mengganggumu ya. Lain kali aku akan bilang-"

"Hentikan ocehanmu dan bantulah memasak" Levi menyela.

Petra hanya tersenyum, baru menyadari kekurangan Levi, ngeri juga mendengar perkataan dan tatapannya. Tanpa berlama-lama, Petra berjalan ke dekat kompor melihat apa yang Levi masak dan membantunya.

Sebagai permohonan maaf, Petra membuat hidangan penutup mulut yang sederhana dan cepat, molten chocolate cake setelah mengetahui ada coklat bubuk dan tepung di drawer saat mencari-cari alat. Untungnya Petra sedia coklat batang di tasnya agar bisa membuat lumeran kue yang menggiurkam.

Levi mengamati bahan yang tak biasa di atas meja setelah Levi mengeluarkan daging panggang dari oven, Levi jadi bertanya "Kau membuat apa?"

"Bukan apa-apa. Duduklah, nanti aku menyusul" jawab Petra sambil mengocok putih telur dengan cepat.

"Di mataku ini apa-apa. Ada yang bisa aku bantu?"

"Ah, kau siapkan meja makan saja. Ini sebentar kok"

Levi pun meninggalkan dapur. Cukup cepat Petra mempersiapkan semua hingga adonannya siap masuk ke oven. Petra kembali ke ruang makan dan makan malam bersamanya selagi menunggu molten cake-nya matang. Petra memuji masakan Levi yang lezat, percakapannya terhenti saat bunyi oven berbunyi dan Petra lekas ke dapur.

Levi menunggu di meja makan, merenung apakah momen memasak bersama membuat Petra bisa mengingat masa lalu. Bila tidak, Levi jadi mengingat dan mengurutkan semua momen kebersamaan Petra dari terakhir hingga awal, sesuai saran Eren dan Mikasa.

Petra datang baki berisi dua ramekin molten cake, dua cangkir teh beserta teko yang sama hangatnya dengan senyumannya, "Maaf menunggu. Mari lanjut makan".

Makan malam dan minum teh berdua sambil mendengarkan Petra bercerita. Hingga makan malam pun usai dan mengantar Petra pulang, rupanya bukan ini momen yang dimaksud seperti Eren dan Mikasa.

MetronomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang