XI - Under The Moonlight

158 26 16
                                    

Tepat jam tujuh, Zeke sudah berdiri di depan pintu rumah Petra menekan bel. Petra membukakan pintu menyapa Zeke. Zeke mengenakan tuksedo putih dan sepatu putih yang cocok dengan warna kulitnya. Petra dan Zeke segera melangkah masuk ke mobil dan melaju menuju Taglyan Complex, tempat acara itu berlangsung.

Di depan lobby sudah berjejer mobil yang mengantre masuk. Dari kaca jendela mobil, Petra bisa melihat beberapa pasangan orang penting dan artis yang melangkah masuk dengan pakaian yang mewah dengan paras yang menawan. Petra merasa kikuk karena dirinya memakai make-up sebisanya dan seadanya.

Bangunan kuno bercat broken white tetap terlihat kokoh dengan ukiran-ukiran menyambut, kanan kiri bunga yang berjejer rapi, pencahayaan yang temaram menambah kesan romantisme di acara pernikahan. Saat memasuki aula utama, sudah ramai tamu yang duduk berkelompok dengan meja bundar dan berbincang. Petra diarahkan duduk bersama satu meja dengan kolega-koleganya Zeke dan menyapa hingga acara pun berlangsung.

Pada acara inti, semua tamu berpindah ke ballroom yang lebih besar yang disediakan sebagai lantai dansa. Dindingnya dipenuhi dekorasi bunga. Meja berisi champagne, wine dan kudapan ditata dekat dinding. Langit-langitnya kaca berornamen dan dihiasi banyak chandelier. Dari sudut musik dari gabungan string quartet dan piano mengalun indah mengiringi irama dansa. Bayangan Petra jadi teringat pada lantai dansa dari beberapa film favorit Petra, tapi dia bukan lakon utamanya.

Zeke menunduk di hadapan Petra, "Tuan Putri, maukah kau berdansa denganku?"
Petra menggeleng menahan tawa, "Harusnya kau ajak dia saja. Daritadi dia memperhatikanmu" Petra menunjuk pada cewek bertubuh sangat tinggi ramping dengan wajah yang cantik khas kebangsaan Rusia.

"Tidak, dia terlalu tinggi untukku. Kau saja"

"Hey, aku mulai tersinggung. Kalau aku berdansa denganmu disangka om-om berdansa dengan anak kecil". Petra dengan beda tinggi 25cm dari Zeke dan tidak memakai heels, membuatnya jadi terlihat mungil.

"Sudahlah, mana ada yang peduli" Zeke menarik tangan Petra menuju tengah aula, lantai dansa.

Saat berjalan, Petra menangkap sosok Levi di seberang. Levi terlihat keluar dari aula. Benar kata ayahnya, dia pasti hadir di acara ini. 'Sayangnya belum sempat berbincang'.

Karena sibuk melihat Levi, Petra baru sadar kalau Zeke sudah melepaskan genggamannya. Ternyata Zeke habis menabrak seorang pria. Tuksedo putihnya kini memiliki bercak warna merah bekas tumpahan wine.

Pria yang menumpahkan itu meminta maaf. Zeke kesal dengan pria itu sambil menatap tajam, "Kau!! Balas dendam rupanya" Petra jadi heran kenapa Zeke bisa semarah itu dengan perkara hal sepele. Petra mengamati tingkah unik pria yang menabrak Zeke dan pergi begitu saja.

Zeke mendekati Petra, "Kau tunggu disini dulu ya. Aku akan bersihkan tuksedoku, kalau bercaknya tidak bisa hilang kita pulang ya". Petra hanya mengangguk dan Zeke melesat pergi ke arah toilet.

Petra kini merasa asing, dia tak mengenali siapapun di ruangan ini. Petra keluar ballroom, berjalan di sebuah lorong ke arah balkon menjauhi kerumunan. Tak disangka, Petra bertemu Levi yang menyendiri. Pikir Petra dia keluar aula karena hendak pulang. Levi pun menoleh.

Petra jadi merasa kikuk, akhir-akhir ini sering bertemu dengan Levi tapi tak banyak berbicara padanya, sekedar percakapan pelayan dengan tamu. Hanya kejadian di rumah sakit sebagai pengecualian.

Petra terkesan dengan pakaian yang dikenakan Levi, tuksedo putih dengan cravat berwarna senada. Cravat itu cocok dengannya, seperti ciri khasnya. Kemeja dan sepatu berwarna hitam memberi kesan bold di dalam dirinya. Secara keseluruhan, sempurna.

"Ku pikir kau sudah pulang" Petra membuka suara memberanikan diri.

Levi menggeleng. "Kau tak jadi berdansa?" pertanyaan Levi membuat Petra terkejut. Rupanya Levi tadi melihatnya.

Petra menggeleng, "Tadi Zeke menabrak pria sedang memegang wine alhasil tumpah mengenai tuksedonya Zeke. Uniknya pria yang menabrak Zeke itu mengendus-endus kemudian tersenyum lalu pergi". Petra menghentikan ceritanya karena Levi menatapnya tajam.
'Ah salahku yang sok akrab dengannya sampai bicara panjang lebar' pikir Petra. Bagi Levi, sepertinya ia tau siapa pria yang dimaksud itu.

Terdengar alunan Salut d'Amour dimainkan dariballroom. Lagu klasik yang syahdu nan romantis, memiliki not yang sederhana, namun bisa menyihir siapapun untuk merasakan kelembutan dan kemurnian cinta di balik lagu ini.

Lagu yang berkisah tentang seorang wanita yang memberikan puisi untuk kekasihnya, Edward Elgar sang maestro. Untuk membalas puisi itu Elgar dengan memainkan irama biola dihadapan wanita tersebut sebagai tanda ia melamarnya.

Petra tersadar dari lamunan karena dihadapannya kini Levi membungkuk dan mengulurkan tangan mengajak Petra berdansa "Mau mencoba berdansa disini?"

Petra menatap mata biru gelap milik Levi. Sangat langka. Bak langit malam yang memiliki rahasia di dalamnya. Petra baru kali ini memandang lekat mata Levi yang ia pikir Levi memiliki bola mata berwarna hitam atau kelabu.

Petra menjelaskan sesuatu, "Tapi aku tidak bisa berdansa, terakhir saat aku masih kecil ber-"

"Bersama ayahmu. Aku tau, ini kali kedua bagiku. Ikuti saja" Levi menyela menyambung kalimat Petra.
Petra menurut, menyambut tangan Levi dan mengikuti langkahnya. Tubuh mereka mendekat. Mereka berdansa di bawah sinar bulan yang menembus dari kaca jendela balkon.

Petra jadi membayangkan dirinya sebagai lakon utama dalam cerita yang berdansa dengan seorang pangeran, meski bukan di sebuah aula yang luas dan ditonton oleh banyak orang melainkan lorong yang cukup sempit dan sepi hanya mereka berdua.

Langit biru malam ini terlihat indah bagi Petra begitu pula dengan mata Levi yang menatapnya. Terasa tidak ada halangan di sekeliling Petra. Ada perasaan hangat di dalam dadanya yang membuat senyum Petra mengembang.

Begitu pula Levi. Bila dulu adalah mentari yang hangat dengan angin musim semi, kini cahaya bulan temaram yang bersinar di musim dingin. Meski di kedua keadaan yang berbeda, namun Petra tetaplah sama, menyambut tangannya dan berdansa dengannya.

Dan lagi, di ujung musik Salut d'Amour yang segera berakhir, lihatlah Petra masih menitikkan air mata di senyumannya. Levi menghapus air mata itu dengan sebelah tangannya lembut, "Kau masih saja cengeng, bahkan di saat seperti ini"

Petra tau lagu ini hanya sebentar namun seperti arti dari judul lagunya, dengan singkat ketukan cinta telah menyambutnya.

MetronomeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang