[ 05 ] ― ❛ Tercerai-berai ❜

Comincia dall'inizio
                                    

"Ya ... tapi kenapa? Oh, aku tahu. Kamu mau nge-prank aku, ya? Soalnya bentar lagi 'kan anniv kita yang kedua," terka Langit sembari terkekeh dan mengangguk-anggukkan kepalanya, seolah sudah paham maksud Sea.

"Enggak, Lang. Ini serius!" tegas Sea sedikit kesal.

Langit memperbaiki posisi duduknya, lagi-lagi ia menghela napas panjang, ia menyandarkan kepalanya di head rest, mencoba menenangkan dirinya sendiri. "Oke ... kita bicarain ini baik-baik, ya." Ia meraih salah satu telapak Sea yang dingin, hangatnya hilang. Dengan cekat Sea kembali menarik tangannya, seolah Langit adalah sosok paling menjijikkan sejagat raya.

"Sekarang aku tanya, kenapa tiba-tiba mau putus?" Langit kembali bertanya dengan pertanyaan yang sama.

"Aku 'kan udah jawab, Lang!"

"Tapi kenapa, Sea?!" Langit ikut terbakar, udara di dalam mobil seketika terasa sangat panas, walaupun ada pendingin mobil yang menengahi.

"Jawab, Sea. Kalau aku tanya tuh dijawab, kamu punya mulut, 'kan?" tanya Langit lagi dengan berapi-api.

"Kamu jangan egois kayak gitu dong. Kamu jangan mikirin diri kamu sendiri, yang ada di otak kamu itu semuanya cuma tentang diri kamu!" Langit terus berbicara, seolah Sea adalah daun kering dan Langit adalah api, maka jadilah mereka seperti asap yang mengepul.

Sea enggan menjawab, pandangannya terus ia lempar pada jalanan yang masih setia dimandikan air hujan. Seolah saban rintik-rintik hujan yang jatuh itu sangat menarik perhatiannya.

Langit terkekeh tanpa suara. "Jadi, kamu anggap selama dua tahun ini nggak ada apa-apanya?" Kali ini Langit bertanya dengan suara lirih.

"Kamu nggak akan bisa ngerti, Lang," jawab Sea sembari meremas rok plisket sebatas betis yang ia gunakan.

"Gimana caranya aku mau ngerti kalau kamu aja nggak pernah ngomong masalahnya apa?"

"Aku nggak bisa ngomong, Lang. Lagi pula, kamu tuh nggak bakal ngerti dan nggak bisa dikasih tahu!"

"Aku? Yang nggak bisa dikasih tahu itu kamu, Sea! Kamu yang nggak bisa ngerti, dari tadi aku nanya tapi kamu nggak mau jawab."

"Aku 'kan udah jawab, Lang!"

"Ya, tapi jawaban kamu itu ambigu, Sea! Singkat, padat, dan nggak jelas!"

"Terus aku harus kayak gimana, hah?!" teriak Sea sembari menunjuk-nunjuk dada bidang Langit dengan jari telunjuknya. "Kalau aku bilang udah nggak cinta, berarti aku udah nggak cinta lagi sama kamu. Terus, apa yang mau diperjelas?"

Sea mengepalkan tangannya. "Lagi pula, buat apa pertahanin hal yang udah mati dari lama?"

"Makanya kasih tahu aku apa alasannya, kita nggak bisa lari gitu aja dong dari permasalahannya. C'mon, Sea! Kita udah mau nikah, lho? Emangnya kamu nggak mikir?"

"Justru karena itu, Lang. Itu yang aku pikirin, aku nggak mau kita saling nyakitin lebih dalam lagi. Jadi, lebih baik kita selesai sampai di sini," jelas Sea, ia menggigit bibir bawahnya. Menahan air matanya untuk jatuh, Ia tidak boleh terlihat lemah.

"Kamu tuh egois banget, ya?" Langit memegangi setir mobil, lalu meremasnya kuat-kuat.

"Kamu nggak bakal ngerti gimana rasanya di posisi aku! Nggak bakal, Lang. Nggak bakal bisa," seru Sea seolah memancing Langit untuk kembali terbakar.

"Kamu yang egois, Sea! Kamu 'kan yang nggak bisa diajak kompromi?" Seakan-akan tak selesai sampai di situ, mereka terus beradu hingga serupa menjadi abu; yang dilahap waktu dan menjelma menjadi debu.

"Aku nggak bisa ngomong karena kamu juga nggak bakal bisa ngerti, Lang." Sea terus mempertahankan dirinya untuk tidak mengatakan apa pun pada Langit.

"Terus gimana? Apa aku harus pecahin isi kepala kamu?!" Langit tak tahu apa yang ia rasakan, semuanya seperti berkecamuk di dalam kepalanya. Seolah seluruh serapah yang berada di ujung lidah harus ia muntahkan di depan gadisnya.

Langit dan Sea terus beradu mulut, bahkan suara mereka mengalahkan bunyi hujan dan lagu yang teralun, Langit tak berhenti berbicara dan Sea pun tak ingin diam. Mereka memakan satu sama lain, seolah lupa bahwa mereka saling mencintai. Bodoh.

Setelah lelah mengumpat satu sama lain, Langit sudah muak dan menurutnya itu sudah cukup. "Oke, oke. Fine! Kita putus. Itu 'kan yang kamu mau? Sekarang kamu turun dari mobil aku!" simpul Langit.

Sea bungkam, apinya tak kunjung padam. Ia ingin sekali menetap, menetap lebih lama dari waktu-waktu yang mereka miliki. Tapi, tidak mungkin. Ia tidak ingin pergi, pergi meninggalkan semestanya. Tapi, ia harus.

"Turun, Sea!" Langit menatap Sea tajam, Sea pun berbalik menatapnya. Sorot netranya tak lagi sama, tidak akan pernah sama. Sea seperti ingin menarik ucapannya tempo hari perihal sorot netra Langit yang lebih indah dari konstelasi bintang.

Sea kembali menatap keluar kaca jendela mobil, berusaha menahan urgensinya untuk tidak menangis, bukannya ini yang ia mau? Ia ingin berpisah dengan Langit, bukan? Sebab ia yakin, Langit dapat diterima dan dicintai dengan baik oleh rumah yang lain, yang bukan dia tentunya.

Akhirnya, Sea membuka pintu penumpang dengan langkah yang sangat berat, ia tak yakin mau pun ragu. Untungnya, ia menggunakan tas ransel anti air saat pergi ke kampus tadi. Sebelum benar-benar pergi, Sea menatap Langit sejenak. "Hati-hati di jalan," pesannya sebelum kakinya menapaki tanah.

Setelah Sea menutup pintu, semuanya menjadi hening. Bahkan hening lebih berisik dari pada lantunan nada-nada jatuh hati yang bergeming, pun dari pada desau angin sebab hujan yang menggoyangkan ranting-ranting. Deru napas Langit terlihat begitu kencang, layaknya seorang pencuri yang dikejar oleh kawanan anjing.

Langit memukul setir mobilnya dengan sangat keras. Langit marah, sangat marah. Bukan pada Sea, namun pada dirinya sendiri. Ia marah pada dirinya sebab tak mampu menahan Sea pergi, ia marah sebab tak mampu menghindari perpisahan, ia marah sebab ia tak bisa meredamkan egonya barang sedikit saja.

Bahkan, untuk mengejar Sea dan menyuruhnya untuk kembali naik ke dalam mobil pun rasanya sangat tidak mungkin. Langit terus merutuki dirinya sendiri, mengapa ia menjadi seegois ini? Dasar bodoh!

Sedangkan di seberang sana, Sea masih berdiri di depan halte dengan tubuh yang semakin kaku, bibirnya menjadi kelu, dan kedua manik netranya semakin sayu. Ia tak berhenti menyalahkan dirinya sendiri, pasti saban perkataan yang keluar dari mulutnya menyakiti perasaan Langit. Dasar payah!

Namun pada akhirnya tak perlu ada yang marah, tak perlu lagi memuntahkan serapah yang berada di ujung lidah, sebab saban insan pasti mendambakan rumah yang ramah. Dan sudah, tujuan Langit dan Sea sudah jelas berbeda arah.

Usai, terburai, dan tercerai-berai.

Bagian ini sepintas terinspirasi dari lagu yang tertera di multimedia, live session-nya keren, hewhew

Oops! Questa immagine non segue le nostre linee guida sui contenuti. Per continuare la pubblicazione, provare a rimuoverlo o caricare un altro.

Bagian ini sepintas terinspirasi dari lagu yang tertera di multimedia, live session-nya keren, hewhew. Tinggal lima babak lagi, letsgooo!

Langit & LautDove le storie prendono vita. Scoprilo ora