Bab 13

17 12 18
                                    

Sudah genap dua pekan berlalu, keadaan Jacob berangsur membaik. Kini ia dirawat bibi Syarla, tangan kirinya masih belum sepenuhnya pulih. Ia jarang sekali bicara, hanya senyum tipis dan tatapan sendu, setiap kali teman-temannya mengunjunginya. Tak ada yang menuntutnya untuk segera sembuh, luka fisik secara alami berangsur pulih, tetapi berbeda dengan luka pada hatinya, seiring waktu pun keperihan itu akan sulit dilupakan begitu saja.  

Jacob duduk bersandar di dipan, menghadap ke jendela yang terbuka, memandang langit yang seiring waktu mulai menguning keemasan. Sementara tangannya digendong dalam balutan, ia menghela napas panjang, pikirannya masih dipenuhi kenangan Irene. Belum lama berlalu, rasanya begitu berat menghadapi kenyataan.

***

Empat tahun yang lalu. Di ibukota kerajaan, Capitol.

Hari itu sudah memasuki musim dingin. Capitol diselimuti salju tebal, jalanan rata dengan lapisan putih setinggi mata kaki. Jalur transportasi menjadi sedikit terhambat. 

Seorang pemuda berdiri menggigil di pinggir sebuah toko. Ia sedang mengambil rehat, dari berjalan kaki hendak menuju ke alun-alun kota. Kepingan salju yang begitu lembut masih turun menghujani, bertabur di udara, sekaligus menjadi hiasan indah. Napasnya berembun dingin, sampai terlihat jelas kepulannya. “Huwh, this is so cold.” ucapnya bergetar. Kedua tangannya ia masukkan ke dalam kantong mantel, dan topinya ia pakai sampai membenamkan separuh dahi. Rambut ikalnya panjang sepundak. Ia tidak mengenakan syal. Seorang pemuda Raven, iris mata birunya adalah ciri khas langka klan itu. Ia mengenakan bot setinggi lutut, menunjukkan identitasnya sebagai seorang prajurit. 

Ketika menyadari sebuah bar di seberangnya, ia langsung tersenyum lebar. “Ah, keberuntungan.” Bergegas ia pergi ke sana. Bel di atas pintu bergerincing kala ia memasuki bar itu.

Sepoi sepoi angin di luar berhembus lembut, tapi dinginnya malah begitu menusuk. Sesosok bermantel panjang sampai mata kaki, berdiri tegak. Ia sedang mengamati targetnya yang baru saja masuk bar. Tudungnya menaungi separuh wajah, membuat kedua matanya tak nampak jelas tertutup bayang-bayang. Lalu ia mengikutinya ke bar itu.

Sebuah bar yang sudah cukup tua. Kebanyakan pengunjungnya lelaki, beberapa bermain kartu, dan mengobrol sembari menghangatkan diri dengan minuman. Pemuda itu duduk di meja paling pojok, ia memilih yang sepi. Mantelnya ia gantungkan di kursi, setelan kemeja putihnya dilapisi rompi kulit berwarna coklat kehitaman. Dia hanya memesan segelas bir biasa, dan menikmatinya sedikit demi sedikit.

Ketika melamuni banyak hal tentang tugas di pikirannya, ia sampai tidak sadar ada seorang wanita yang sedang menarik kursi untuk duduk di seberangnya. “Can i join you?” Rambutnya coklat kemerahan, senyumnya ramah dan begitu menawan.

At your pleasure.” sahut sang pemuda yang terkagum pada parasnya.

Ketika telah duduk, ia memperkenalkan diri. “My name is Irene. Irene Alexander.” Wanita itu menyodorkan tangan kanan.

“Jacob Hayden.”

“Wow, nama yang gagah. Apa kau orang sini? Aku jarang melihat yang sepertimu.”

“Aku berasal dari Cliffbourne.”

Ah, i see!” Irene nampak begitu senang. “Your eyes is beautiful.”

Jacob pun tersenyum. Dia tak ingin percaya begitu saja, bahwa ada seorang wanita jelita yang sedang menggodanya? Tetapi Jacob tahu, bahwa hatinya tak pernah menolak Irene sejak pertama kali mereka bertemu.

Irene bercerita tentang asalnya dari kota Tevilla, lalu itu membuat Jacob tertawa, karena mereka sama-sama dari luar kota; Irene menanyai Jacob seolah ia penduduk asli Capitol.

“Aku sudah cukup lama tingal di sini.” jelas Irene. “Dan itu jujur aku pertama kali melihat orang sepertimu.”

Jacob tersenyum. “Apa yang membuatku berbeda?”

“Wajahmu. Aksen, sepatu dan pakaianmu, apa kau juga seorang prajurit?”

Exactly.” Jacob mengangguk.

“Wow. Kau memang cocok.” Tepat sekali. Dalam hati, Irene puas bahwa ia tak salah mengincar targetnya. 

“Dan bagaimana denganmu? Apa kebanyakan wanita Tevilla berambut merah sepertimu?”

“Tidak. Hanya saja, ibuku berasal dari Mistbrook. Kau tahu kebanyakan suku penduduk di sana, kan?”

“Ya. Sungguh, desa yang cukup jauh.”

Hari itu, adalah awal kisah pertemuan mereka. Hanyut bersama obrolan, tak ada kecanggungan, sampai mereka menjadi dekat, lebih dari seorang teman. Hari itu lah Irene menunda misinya sampai empat tahun, mengurungkan niatnya kuat-kuat, berpikir akan lebih baik jika bisa menggali informasi dari pemuda itu lebih banyak; tetapi, ia didahului jatuh cinta.

*** 

Jacob bangkit, ia pergi membersihkan diri, lalu berdandan mengenakan setelan rapi. Rambutnya diikat, dan tangannya digendong dengan hati-hati. Lalu mantelnya ia selimutkan ke punggung, dan mengenakan topinya dengan elegan.

Ini pertama kalinya ia keluar rumah lagi, setelah sekian lama dalam pemulihan. Bibi Syarla merasa bahagia kala melihat Jacob seperti ceria sore itu, ia senang jika ponakannya telah kembali merasa hidup. Ia tak pernah tahu alasan Jacob begitu terpuruk setelah kembali dari pertarungan itu. Dia akan berpikir, pasti musuhnya begitu mengerikan, dan ia tak diberi tahu tentang tragedi Irene bagi Jacob. 

Ketika Jacob menyusuri trotoar, memorinya tak bisa menolak untuk mengingat malam itu, terakhir kali ia berjalan menggandeng Irene. Tersenyum getir, sore ini ia hendak menuju ke pemakaman. Ingin berhenti terpuruk dengan kenyataan, dan mencoba merelakan.

Dari sekian barisan makam, Jacob langsung menuju nisan Irene. Ia sudah tahu, karena hari itu ia turut datang menghadiri pemakamannya, sekaligus sebagai perjumpaan terakhir. Tak banyak orang yang mengiringi, hanya para prajurit yang diberi tugas untuk melakukannya, serta Jacob yang didampingi ketiga sahabatnya.

Jacob membawa seikat bunga putih, lalu ia berlutut di dekat makam untuk meletakkannya. Menatap nisan yang terukir nama Irene padanya, seraya tersenyum lembut. Jika ia tak memberanikan diri lagi, matanya yang berkaca-kaca pasti sudah berlinang air mata. Hari ini, ia ingin menunjukkan, bahwa setidaknya ia telah berusaha merelakan kepergiannya.

Untuk beberapa saat, Jacob ingin tetap di sana, menunggu hingga matahari terbenam, untuk mengingat kenangan sore itu bersama Irene.  

“Senang melihatmu kembali berdiri, Jacob.” Suara itu sedikit mengejutkannya, Peter telah berdiri di sebelah kanan.

Jacob pun tersenyum, lebih baik dari hari-hari sebelumnya, tapi tatapannya masih sendu.

Luke berjalan dan berlutut di makam Irene, untuk meletakkan seikat bunga. “It’s been a while, dan kau mengambil keputusan yang bagus, Jacob.” katanya menyemangati.

“Semoga ia beristirahat dalam damai.” Aiden berdiri di sebelah kiri, dan menepuk pundak Jacob. “Wish you’ll get better, brother.”

Thank you, Aiden.”

Angin sepoi berhembus menentramkan rasa. Seluas mata memandang, adalah  padang hijau yang dipadati barisan nisan yang rapi. Keempat sahabat itu berbaris memandang langit barat, sebentar lagi matahari merah di sana akan tenggelam sepenuhnya. 

"Waktu pasti berlalu, hari demi hari akan menjadi memori; indah atau tidak, perlahan semua akan menjadi kenangan. Lebih baik tetap melanjutkan hidup, sepahit apapun derita yang menguji, tak ada yang bisa menaklukkannya kecuali kita sendiri yang bangkit untuk menghadapi. 

Teruntuk wanita hebat yang pernah kujumpai, Irene, aku punya sesuatu yang belum sempat ku sampaikan padamu. Sejak pertama kali aku bertemu denganmu, aku tak bisa berbohong jika aku menyukaimu. Dari rambutmu yang indah, terutama senyummu yang begitu hangat, bahkan mengalahkan dingin salju. Bahwa sesungguhnya, aku mencintaimu. Jika kau masih bersamaku, maukah kau memaafkanku? Jika mungkin waktu dapat kuulang, aku bersumpah untuk melindungimu, tak kan membiarkanmu pergi. Semoga Tuhan menjadi tempat terbaik bagimu. Beristirahatlah dalam damai, kasih."

-Jacob Hayden.
Cliffbourne.

Stone Of Prime (Versi 0.2)Waar verhalen tot leven komen. Ontdek het nu