Bab 4

41 17 37
                                    

Sore itu, Cliffbourne diguyur hujan deras. Seorang prajurit bernama Harvey menggerutu, "Ah ... sial." Ia berdiri di ujung naungan bangunan markas, setengah jam lagi ia akan pulang, sialnya hujan begitu deras dan ia tidak membawa payung. Harvey pun masuk kembali.

Hari mulai gelap, namun hujan belum kunjung reda. Markas tidak menjadi sepi, hanya saja jam pulang Harvey telah lewat. Tugasnya sebagai seorang informan dalam kota, telah selesai mencatat satu rangkuman informasi dalam puluhan lembar kertas.

Malam pun tiba, langit sudah gelap dan lampu-lampu jalanan sudah menyala. Mengingat putra kecilnya, Harvey merasa nekat. Tak apa lah hujan deras toh ia juga pasti sampai di rumah, putranya pasti telah menunggunya sejak tadi. Rumahnya lumayan jauh, kebetulan saat itu memang tidak ada payung yang menganggur, beberapa temannya mencegahnya, namun Harvey tetap pulang menerjang hujan.

Separuh perjalanan, Harvey berteduh di depan sebuah toko yang sudah tutup. Ia benar-benar sudah basah kuyup, mantelnya menjadi dingin ditambah angin yang menusuk. Tak ada yang terselamatkan kering, sampai topi apalagi tas yang ia gunakan untuk melindungi kepalanya.

Jalanan kota tidak sepi, seperti biasa kereta kuda pun masih banyak yang lalu lalang. Ada orang-orang yang berjalan dengan payung, ada pula yang keluar masuk toko yang masih buka seperti toko makanan. Melihat toko makanan, Harvey merasa perutnya lapar, tapi tidak mungkin ia akan masuk dengan basah kuyup, Harvey menghiraukan laparnya. Ketika ia memandang ke seberang jalan, matanya menangkap sesosok bermantel yang mencurigakan baginya.

Sosok itu berdiri di bawah hujan tak jauh dari toko makanan, Harvey tiba-tiba merasa diawasi olehnya karena sosok itu bergeming menghadapnya. Harvey tak terlalu terkejut, profesinya sebagai seorang informan bisa saja membuat hidupnya dalam bahaya, seperti prasangkanya terhadap sosok itu. Jika itu adalah bahaya, maka Harvey merogoh mantel bagian dalamnya dan meraba sebuah belati di sabuknya. Harvey menenteng tasnya dan pergi meninggalkan toko.

Harvey tidak tahu siapa itu, tapi karena ia berfirasat buruk, ia tidak menuju rumah. Ia berbelok ke distrik lain yang menjauh dari rumahnya, ia tidak akan membawa bahaya menuju keluarganya jika ia diikuti.

Hujan mulai reda, dan Harvey masih berjalan. Hingga di suatu gang yang sepi, Harvey berhenti. Sorot matanya tajam di bawah bayangan topinya yang menaungi dari hujan. Harvey berseru memanggil penguntitnya keluar, "Aku tahu kau mengikutiku. Apa yang kau inginkan dariku?"

Sosok itu pun keluar dari persembunyiannya di belakang Harvey. Saat Harvey berbalik, langsung ia sigap mencabut belati dan menangkis serangan, penguntit bertopeng itu berkelebat menerjangnya. Andai Harvey tak siaga saat berbalik, mungkin ia sudah ditikam bilah pedang musuhnya.

Tasnya pun dilemparkan kala ia diserang beruntun, Harvey terpaksa bertahan dari serangan brutal si penguntit asing. Hingga suatu kelalaian, Harvey ditembak dengan anak panah kecil di perutnya, karena Harvey cukup lincah mengimbangi kecepatan lawannya hanya dengan belati pendek, dan itu membuat lawannya kesal. Saat Harvey terhuyung karena racun anak panah yang menancap di pinggangnya, sosok itu mendekat dan mencengkram wajah Harvey. Kesadaran Harvey memudar, terakhir ia hanya melihat api merah membakar wajahnya dari tangan sosok itu, lalu jatuh ambruk.

***

Hujan akhirnya berhenti, malam itu cahaya purnama pun bersinar indah, ia muncul setelah tak ada yang mengira akan terbitnya karena hujan yang begitu deras. Suasananya begitu tenang, pertanda malam telah larut. Sementara di markas, regu Peter begadang menunggu giliran patroli.

"Hey, Jacob. Lihat itu." Tunjuk Luke pada bulan purnama melalui jendela. Jacob pun menengok keluar jendela. "Seperti wajah seorang gadis yang begitu indah." sambung Luke sambil berlagak romantis di depan jendela.

Jacob tersenyum mengejek, "memangnya siapa gadismu?"

Lalu Luke menarik napas panjang. "Dia, yang turun dari kereta dengan anggun hari itu. Senyuman indahnya begitu memabukkan hatiku," Ia mulai bersyair sambil memperagakannya. "Oh, sayang ... tatapan matamu seindah bunga mawar di musim semi-"

"Sofia?" tanya Jacob menyela syair Luke. "Kau tahu dia putri komandan Eric?"

"Lalu?! Memangnya ada yang melarang bermimpi untuk menikahinya?"

"Tidak? ... selama itu hanya mimpi."

"Sialan kau." kutuk Luke pada Jacob.

"Kau pujangga yang buruk." Tiba-tiba celetuk Aiden yang sedang membaca buku.

Luke menepuk dadanya ala hormat. "Oh terima kasih, kawan. Ku hargai pujianmu."

Tiba-tiba Peter membuka pintu dari luar, ia berseru dan mengisyaratkan dengan kepalanya, "sudah waktunya, ayo!" Mereka pun bangkit dan mengenakan mantel. Malam ini mereka akan berpatroli di wilayah barat, distrik sembilan dan deretan distrik belasan.

Malam begitu dingin, di jalanan banyak genangan air. Wilayah barat cukup padat, suasana malam di sana hening sekali, hanya serangga malam, lampu jalanan, dan beberapa jendela rumah yang menyala dari dalam.

"Ah, sial. Sepatuku akan kotor." keluh Jacob saat tak sengaja menginjak genangan air yang lumayan dalam.

Mendengarnya, Luke ingin sekali mengejek. "Come on, Noble boy? Di depan masih banyak genangan menunggu."

"Kau pikir aku melucu?" tanya Jacob serius. Luke pun menertawakannya.

Sampai di distrik sembilan, Peter membagi tugas untuk patroli dengan berpencar. "Luke, kau ke timur. Aiden, kau ke selatan. Jacob, ke barat. Dan aku akan ke utara."

"Got it!" ucap mereka serentak, lalu mereka pun berpencar dengan senter masing-masing.

Saat Jacob mulai menyusuri, ia seperti merasakan ketegangan, sekilas ia teringat pada Ivan, akan apa yang dialaminya malam itu? tanya Jacob penasaran dalam hati. Setelah berpatroli jauh, Jacob tiba di depan sebuah lapangan yang lumayan luas, ia memandang ke seluruh penjuru, tak ada apapun yang mencurigakan. Jacob bergeming di tempat, wilayah patrolinya sudah mentok.

Tiba-tiba, seekor gagak muncul begitu saja di udara di tengah-tengah lapangan. Ia terbang berputar-putar, kedua matanya di ekori api biru, karena aneh Jacob berlari mendekatinya. Namun tepat saat Jacob menginjak lapangan, tiba-tiba sekujur tubuhnya terbalut api biru, kekuatannya itu keluar sendiri, Jacob lebih terkejut saat tersadar, ia telah dikelilingi pepohonan hutan.

***

Sementara itu, di suatu tempat di hutan, Harvey telah sadar namun ia terkapar. Harvey akhirnya tahu bahwa yang dihadapinya adalah seorang Black Doctor, setelah mati-matian bertarung melawannya. Sosok itu berdiri di atasnya, "kau belum mati juga?" tanyanya mengejek kesal. Separuh wajah atas Harvey luka terbakar, tulang kakinya retak, perutnya nyeri dengan anak panah beracun, luka sayatan hampir merata di sekujur tubuhnya, meski sebelumnya ia bisa mengimbangi pertarungan, setelah ditembak racun Harvey hanya mampu bertahan, bahkan hampir tak sempat memukul balik Black Doctor.

Habis-habisan dihajar, Harvey tetap berpura-pura seolah ia tahu dimana gulungan mantra yang ditanyakan Black Doctor, dan menolak menjawabnya. Begitu pula Black Doctor, bodohnya ia tak menyadari Harvey bukan anggota klan Raven yang menggunakan api biru. Hanya karena kemampuan bela diri Harvey yang membuatnya bertahan sejauh itu, Black Doctor terkecoh.

Black Doctor mengangkat pedangnya, dengan serta merta ia menancap tangan kanan Harvey hingga tembus ke tanah. Darah mengalir, namun Harvey hanya bergetar jemarinya, rasanya ia sudah sekarat. Melihat Harvey, Black Doctor pun puas, ia mencabut pedangnya dan akan menuntaskannya.

"Sejauh ini kesetiaanmu mengagumkan." ucap Black Doctor. "Sayangnya kau tak berguna untukku." Black Doctor menghunus pedangnya di atas jantung Harvey. Setengah sadar Harvey pasrah, ia teringat pada putra dan istrinya, namun ia hanya bisa memejamkan mata. "Kan ku genapkan deritamu, prajurit." sambung Black Doctor sambil mengangkat pedangnya tinggi-tinggi

Saat detik-detik kematian, seketika dentingan dua senjata memekik telinga Harvey. Lalu ia mendengar suara seorang berteriak, "FOUND YOU, BLACK DOCTOR!"

Stone Of Prime (Versi 0.2)Where stories live. Discover now