Bab 27

14 8 3
                                    

Pasukan Serpent berpacu menyerbu, mereka tidak akan membiarkan musuh di depan mata loos dengan selamat. Yel-yel pun menggaung, diteriakkan mereka bersama-sama. Mengacungkan sabit terselubung api, dengan gagang, ke depan. Ketika itulah, Warren pun mencabut pedangnya ke langit. Sementara hampir seluruh pasukannya telah berbaris di hutan tandus, dan Jacob satu-satunya yang menerjang paling depan. Brody melihat pemuda itu dengan tatap sengit, dia melihatnya begitu nekat sendirian. Kemudian, Warren pun berteriak lantang mengomando, “Jangan mundur. Kita akan menghadapi mereka di sini saja! PASUKAN, TERJANG!” 

Matahari semakin rendah di ufuk barat, sementara pegunungan timur menjadi gelap. Tak kalah sengit, seruan pasukan Warren pun menandingi gaung yel-yel musuh. Mereka maju dengan mengeluarkan pedang-pedang panjang, mengkilat seperti perak. Masing-masingnya disulut dengan api biru yang berkobar di sekujur bilah. Hanya sebagian pasukan saja, yang merupakan para prajurit klan Raven. Sementara pasukan kerajaan, beberapa membawa panah, dan yang lain dipersenjatai tombak. 

Derap puluhan kuda seolah menggetarkan kota mati. Beberapa kerikil bekas reruntuhan bangunan pun sampai menggelinding, terkena getaran yang begitu kuat. Tatkala semakin dekat, dari langit mereka bagikan dua ombak bintang, berpendar berbeda warna; saling menggempur, bertabrakan dahsyat.

Ringkikan kuda pun melengking, mengiringi dentingan ratusan senjata tajam yang beradu. Lecut serangan api mendesing di udara, lalu meledak menghantam targetnya. Perisai-perisai yang dihantam, berdengung tak kalah ramai, kala adu serangan kekuatan api semakin gencar. Kota mati itu menjadi medan pertempuran, seolah kembali hidup dengan suara perang di permukaannya, dan nyala kobaran-kobaran api yang menembak di sana-sini. 

Perang telah berkecamuk, seiring hari mulai malam. Medan itu terang benderang, kala api merah hampir merata. Menyala bersama pemiliknya yang tewas, terkapar. Sebagian lagi dibawa kuda yang terbakar, berlarian panik, hingga apinya merambat, membakar beberapa sisa reruntuhan yang masih ada.

Sementara itu, gumpalan awan hitam di atas langit semakin melebar. Seiring langit menjadi gelap, awan itu semakin tebal, seolah hujan deras sebentar lagi akan menggempur. Sengitnya pertempuran, sesaat membuat mereka lupa, akan makhluk yang bersembunyi di dalamnya. Terlalu sibuk terbenak dengannya, sementara bilah musuh teracung tajam, mengancam nyawa. Kecuali, Balthazar. 

Ia meladeni prajurit Warren hanya dengan satu sigil di tangannya. Dengan kekuatan besarnya, ia telah berhasil menjatuhkan beberapa prajurit Raven dari kuda mereka. Namun hanya berhasil melumpuhkan, dan gagal dari membunuh. Mereka cukup sulit dikalahkan, terlebih saat menyerang secara bersamaan, membuat Balthazar sengit kewalahan.

Lantas, ia menciptakan pusaran api, terpaksa menghilang demi menghindar dari kepungan mereka. Ia mencari titik yang cukup jauh dari ricuhnya pertempuran, untuk melakukan sesuatu. Lalu, ia menengadah ke langit, matanya melirik-lirik tajam, menyisir permukaan awan gelap di atas sana. Sementara itu, ia bersiap-siap, turun dari kuda hitam tunggangannya. Ia mencabut batu merah dari ujung tongkatnya. lalu tongkat itu ia hempaskan sebab tak lagi berguna. Batu merah itu berpendar di genggamannya, setelah menggumamkan sebuah mantra, seketika lingkaran sigil besar tercipta di bawah kakinya. Melebar, dan bersinar merah. Balthazar puas, menyeringai dengan ngeri. 

Sementara itu, di sisi lain medan pertempuran, seorang pemuda Raven merunduk di atas kudanya, berpacu dengan sangat kencang. Di tangan kanannya bilah pedang panjang bersinar biru, disulut api yang berkobar-kobar. Menerjang musuh satu persatu dengan ganas. Kelebatnya diiringi erangan musuh yang mengorok sekarat. Iris matanya menatap para musuhnya seperti kelaparan, Jacob menebas mereka dengan ganas. 

Dia terus menerjang barisan musuh, bersama kudanya yang tak gentar. 'Tak ada yang akan menghentikanku!' teriaknya dalam hati, ia sedang mencari pentolan musuh di antara mereka. Namun tiba-tiba, sebuah serangan api menghujamnya dari atas. Jacob terkejut, sehingga perisainya pun terlambat menangkis, ia terjungkal dari kudanya, dan jatuh. Terbanting beberapa kali, menghantam tanah yang kering dan keras. 

Dahi kanannya berdarah, mengalir perlahan sampai ke kelopak mata. Ia segera bangkit berdiri, dan meraih pedangnya. Kepalanya sedikit nyeri, membuatnya terhuyung. Namun, kala debam menyentak tepat di hadapannya, Jacob segera fokus. Serta merta, ia menyilangkan pedangnya, menangkis keleat serangan bilah sabit api merah yang langsung mengayun dari bawah, ke lehernya. Sesosok prajurit Serpent berdesis, menatap tajam di bawahnya, sementara senjata mereka bergetar saling mendorong dengan kekuatan penuh.

Rambutnya gimbal, telinganya lancip. Kelopak mata hitam dengan sisik di sekitarnya, Jacob langsung tahu, lawannya adalah anggota Black Serpent. Tubuhnya besar, jika tegak berdiri pasti akan lebih tinggi dari padanya. Maka, Jacob pun meledakkan sebuah serangan api biru, melalui bilah pedangnya yang beradu dengan sabit musuh. Ia mundur mengambil jarak, supaya bisa menghadapi satu musuh itu lebih singkat.

Jacob melirik lehernya yang jangkung. Tubuhnya yang besar, pasti akan bergerak lebih lambat dari pada dirinya. Tanpa menunggu lebih lama, ia melesat sebelum musuh sempat berkutik. Dengan bilah tajam disulut api biru, Jacob mengecohnya dengan serangan depan, membuat ia menyiapkan sabitnya untuk bertameng, namun Jacob meliukkan ayunan pedangnya, menyerang dari samping. 

Darah hitam muncrat, seketika pedang Jacob menancap di lehernya. Menodai kilat warna perak, dan mulutnya menganga. Belum selesai, Jacob menatapnya miris, irisnya biru menyala-nyala, membuat musuh itu terbelalak, terpaku menatapnya. Dengan kekuatan penuh di tangannya, Jacob menekan pedangnya lebih keras, diiringi erangan sekarat, ia menambahkan sebuah kata, “Mathius.” ucap Jacob dengan tatapan tajam, namun tenang dan bersuara lirih. 

Seketika, api biru berkobar membakar kepalanya. Teriakan sekaratnya mengerang semakin menjadi. Seolah kepala itu dikoyak, akan hancur. Ia kejang meregang nyawa, hingga Jacob menuntaskan tebasannya. Kepala itu pun jatuh, menggelinding dengan ekspresi wajah yang ngeri. Tubuhnya pun berdebam, tumbang di atas tanah.

Anggota Black Serpent itu dibunuhnya dengan mudah. Di balik ketenangannya, amarah besar telah bangkit, membuat kekuatannya menjadi begitu mematikan. Ia menyembunyikannya, menunggu momen yang tepat, mencari musuh besarnya, Balthazar. 

Setelah itu, musuh lain menghampiri. Seekor kuda menerjang kencang ke arahnya. Jacob pun mempersiapkan kuda-kuda, dengan pedang yang siap menebas. Ketika kuda itu menerjang di atasnya, dengan cepat ia menebas kedua kaki depannya, lantas kuda itu tersungkur bersama sang penunggang. 

Si penunggang bangkit di belakangnya. Namun, belum sempat berkutik, Jacob berkelebat, dan menebas kepalanya menjadi dua. Tubuh Serpent itu pun terbakar, saking cepatnya, erangan sekaratnya hanya terdengar beberapa detik saja. 

Satu persatu, musuh lain diterjangnya. Berjalan menyusuri medan tempur, sebab kudanya tak kembali. Tanpa kenal lelah, ia membabi buta membantai musuh. Tiba-tiba, tatapnya menangkap sosok dalam lingkaran sigil di ujung sana. Maka, ia pun segera berlari, menyebaring pertempuran, dan menerjang ke arahnya. Ia tahu, bahwa sosok penyihir itu adalah, Balthazar.

Tatkala semakin dekat, Balthazar pun menyadari keberadaannya. Berputar-putar bertarung di antara musuh, menuju kepadanya. Sebelum terlambat, ia pun menghalaunya. Balthazar menghujamnya dengan serangan jarak jauh. Tombak-tombak api merah datang dari atas, menghujam Jacob dengan dahsyat.

Balthazar tak lagi menganggapnya remeh, ia bisa merasakan aura kekuatan pemuda itu, semakin kuat, dan pasti akan menjadi lawan yang berat. Dugaannya pun terbukti, kala tiba-tiba api biru meledak, berkobar, membumbung tinggi. Seluruh hujan tombak apinya seketika sirna, lebur dihempas serangan besar itu. 

Ia berdiri di sana, di tengah-tengah pusaran api biru, bekas ledakan serangannya. Tatapannya menyorot tajam, menantang tanding bertaruh kematian. Iris matanya terlihat jelas, menyala terang. Amarah itu tersulut di dalam sana. Balthazar pun tahu, bahwa waktunya telah tiba. Ia menurunkan perisainya, dan meleburkan sigil di bawah kakinya. Ia senang, menyeringai tajam.

“BALTHAZAR!”

Stone Of Prime (Versi 0.2)Donde viven las historias. Descúbrelo ahora