7. BERLAYAR

22 6 0
                                    

LEBIH DARI setengah jam Ren berada dalam kuncian Naelo, wajahnya menempel di meja sementara kedua tangannya tertahan di belakang tubuhnya, Naelo mengikatnya dengan kuat. Posisi yang sangat tidak menguntungkan bagi Ren, karena dia bahkan kesulitan bernapas dengan normal. Ren tak menyangka Naelo sekuat ini, anehnya lagi semua orang di dalam restoran ini tampak biasa saja dan tak merasa terganggu, seolah mereka sudah tahu itu tempat interogasi maut.

"Siapa kau sebenarnya?" Suara Naelo lebih berat dari sebelumnya, sorot keramahan tak terlihat lagi di netra hitamnya.

Ren terbatuk ketika berusaha mengeluarkan suaranya. "Apa maksudmu?! Aku sudah bilang kalau aku ini Ren!" Ren meraup udara sebanyak mungkin seraya berteriak. "Namaku Ren!"

"Masalahnya, kau itu biasa-biasa saja. Kau bahkan tidak bisa menghindari pukulanku barusan," kata Naelo mengingat setengah jam yang lalu ketika gadis asing berpenampilan ala gothic itu tiba-tiba menyerang Ren. "Maura tidak akan merekrut orang sembarangan. Jadi, walaupun biasa-biasa saja kau pasti orang yang sangat penting," asumsinya, tangan Naelo menekan kepala Ren ke meja lebih dalam, membuat lelaki itu semakin meringis lebar.

"Apa tujuanmu tujuanmu bergabung dengan kami? Apa Maura mengatakan sesuatu sebelum dia meninggal?"

Gerakan perlawanan Ren terhenti, dia sedang memgingat-ingat sesuatu yang sepertinya dia lupakan. Dia kemudian mengangguk tidak nyaman meski kini kaki Naelo berganti menekan kepalanya di meja.

"Dia hanya menyuruhku menemui ayahku."

Naelo tampak mengernyit dan sedikit membebaskan kepala Ren dari kakinya. "Siapa ayahmu? Tidak mungkin kalau dia cuma anggota biasa."

"Alex Wijaya." Ren mengatakannya dengan sangat lirih, bahkan Naelo tak nyaris tak mendengarnya kalau saja dia tak mendekatkan telinga.

"Dia benar-benar ayahmu?" Naelo kembali bertanya, masih agak tak yakin meski beberapa saat lalu dia sempat tersentak mendengar nama itu.

Ren mengangguk dalam tekanan kaki Naelo. Gadis tinggi semampai itu segera menurunkan kakinya dan mendudukkan Ren di tempatnya kembali. Ren sendiri bingung kenapa Naelo secepat itu melepaskannya setelah mendengar nama ayahnya.

"Masalahnya, dia sudah lama mati. Aku tidak tahu kenapa Maura menyuruhku menemui orang mati," ujar Ren seperti tanpa beban.

Belum lama dia terbebas dari heels Naelo yang berat, pipinya sekarang ditampar tangannya yang begitu kuat. "Dia belum mati bodoh."

Ren mendecih, entah apa yang ada di benaknya saat ini tetapi dia tampak benar-benar kesal. "Kenapa semua orang bilang dia belum mati?! Kalau masih belum mati dan ingin menemuiku kenapa menyuruh orang lain?! Kenapa tidak langsung saja muncul di hadapanku?!"

Ren mengatur napasnya setelah mengeluarkan seluruh perasaan tidak nyaman yang telah dia tahan selama berhari-hari. Dadanya masih naik turun dipenuhi amarah, tatapannya yang berkeliling dengan tajam tak kalah menyebalkan bagi Naelo. "Maura mati setelah menemuiku, kamu pasti apa maksudku."

Rasa bersalah, Naelo tahu itu yang sedang dirasakan Ren saat ini. Mengakar di hatinya dan mulai menggerogoti kewarasannya. Ren tidak terbiasa dengan semua ini, semua kekacauan dan mayat-mayat yang pada akhirnya hanya diingat oleh dirinya sendiri, seolah sebuah kutukan agar dia tetap melihat semua hal menyakitkan itu berputar dalam pikirannya.

"Apa kau menyesal chip otakmu diretas?"

Tak ada jawaban yang keluar dari bibir mungil Ren, dia tetap tak acuh dan melanjutkan acara berkeliling pandangnya. Naelo hanya bisa menghela napas, tak tahu lagi bagaimana jalan pikiran anak-anak seusia Ren.

"Aku tidak bilang aku menyesal." Ren menoleh pada Naelo lagi. "Hanya saja aku merasa semua ini sesuatu yang terlalu baru dan sangat asing. Seakan aku baru saja terjun ke balik panggung sebuah sandiwara."

Sensus PendudukWhere stories live. Discover now