3. Kotak-Kotak Kayu

34 10 3
                                    

BATAVIAZARTS, 10 APRIL 2197

SISA-SISA JAM PELAJARAN Sejarah berubah menjadi ajang pamer kecerdasan anak-anak ambisius yang penuh gairah mencapai nilai tertinggi serta perhatian guru tercinta kami, Pak Botak. Aku tidak bermaksud menghinanya, nama panggilannya benar-benar Botak, akronim dari Bondan Takashi. Setelah menjelaskan perang asia pasifik dan nasib para jugun ianfu, kelas menjadi sunyi sesaat sebelum kericuhan terjadi selepas Pak Botak mengumumkan acara debat perspektif sejarah dadakan.

Aku satu kelompok dengan Maura dan Danis--dua anak paling cerdas di kelasku. Berada satu kelompok dengan orang seperti mereka bukanlah hal yang menyenangkan, aku merasa seperti orang asing ketika keduanya asik saling menyahut dan berdebat. Sementara aku menjadi patung lumutan dan terabaikan, mereka benar-benar seperti tak melihatku.

"Jika Pilecki dari Polandia mengambil kesempatannya untuk melarikan diri ke Italia setelah gerakannya di dalam kamp Auschwitz ketahuan, apa yang akan terjadi selanjutnya?" Kali ini topik yang dilempar Pak Botak membutuhkan waktu lama bagi kedua tim untuk menjawab, aku tak terlalu tertarik dengan topiknya tetapi aku sudah menyiapkan jawaban.

Danis dan Maura saling bertukar pandangan, seolah keduanya sudah sepakat dengan sebuah jawaban yang dikirim melalui telepati di antara mereka. "Dia akan memberitahukan semua yang terjadi pada dunia, tetapi tentunya dia akan diam-diam pergi dari Italia dulu," Maura mengambil kesempatan menjawab. "Pada Tahun 1943, suasana peperangan masih memanas, dan Italia bukan tempat yang tepat untuk melarikan diri."

Tim kontra masih berusaha mencari jawaban. Mereka tak berkutik ketika Pak Botak bertanya, "Bagaimana dengan tim kontra? Apa sanggahan kalian?"

Detik-detik mulai berlalu, berganti menjadi menit maut yang akan terpotong bel pulang sekolah, tetapi tim kontra belum juga angkat bicara. Tatapan anak-anak kelas kami mulai kesal, begitu juga denganku.

"Pilecki tidak akan melakulannya. Dia sangat mencintai tanah airnya, Polandia. Jika tidak mencintai Polandia, dia tidak mungkin bertahan dan menderita bertahun-tahun di dalam Auschwitz sambil tetap melaporkan keadaan, dia tidak mungkin menunggu selama itu jika bukan untuk masa depan tanah airnya." Semua orang lantas menatapku begitu aku mulai bersuara. Yeah, aku yang menjawabnya, aku tidak ingin ada jam tambahan Pak Botak jika sesi debat ini belum juga selesai. "Kalaupun dia melarikan diri, Pilecki akan mati dalam penyesalan."

Bel berbunyi tepat setelah aku menyelesaikan ucapanku. Danis menoleh dengan kesal padaku. "Kamu ini tim mana, sih?" cibirnya sebelum pergi dengan entakan kaki dan pelototan tajam padaku. Dia menghampiri pacarnya yang sudah menunggu di ambang pintu, membuatku heran. Danis yang tak pernah tersenyum itu bisa punya pacar rupanya.

"Jawaban yang bagus, Ren. Bapak akan memasukkannya sebagai nilai keaktifan." Setelah berterima kasih pada Pak Botak aku keluar dari kelas dan berjalan dengan tenang melewati anak-anak yang sibuk sendiri dengan persiapan jam pelajaran tambahan mereka.

Loker yang sudah dua tahun menjadi milikku di sekolah menengah atas tampak mulai menua dengan titik-titik kemerahan tanda karat menyerang. Aku membukanya dengan hati-hati, takut tiba-tiba pintu lokerku benar-benar ambruk. Aku menghela napas begitu melihat isinya. Lagi-lagi kotak kayu yang sama. Sekali dalam sebulan, selama enam bulan muncul kotak aneh itu di lokerku. Intesitasnya menjadi setiap hari setelah kejadian ledakan di mal minggu lalu.

Ledakan aneh yang tak diingat siapa pun, kecuali aku. Aku terbangun di rumah sakit dan diberitahu kalau aku baru saja mengalami kecelakaan, bukan ledakan bom. Ibu sempat berinisiatif mengirimku ke rumah sakit jiwa karena aku terus meracau tentang bom angin, lantai jebol, dan mayat-mayat yang dipaku di tembok. Awalnya aku meragukan ingatanku, tetapi butiran semen yang tersisa di bawah sol sepatuku membuatku yakin kalau itu benar-benar pernah terjadi.  Untuk sekarang, aku memutuskan untuk berpura-pura hal itu tidak pernah terjadi sambil berusaha mencari tahu hubungannya dengan kotak kayu ini.

Satu hal yang janggal, bersama dengan kemunculan kotak kayu itu, Maura selalu ada di lokernya juga, padahal seingatku dia tipe manusia yang malas berdiri di tempat ramai, apa lagi sambil membaca buku. Dulu kukira ini cuma kebetulan, tetapi lama-lama aneh juga. Mana ada kebetulan yang terjadi 12 belas kali.

"Kamu terlihat aneh belakangan ini." Maura terkesiap mendengar suaraku, dia menurunkan bukunya dan menutup loker.

"Oh, Kamu belum pulang, Ren?" Maura menyungingkan senyum canggung yang lebih terlihat seperti seringai gagal. Aku memggeleng dan membuatnya kembali gugup. "Oh, begitu, memangnya kamu masih ada kegiatan?"

"Tidak ada, Ra. Aku hanya ingin bertanya karena kamu terlihat aneh belakangan ini." Wajah Maura tampak memucat seiring langkahku yang mendekat. "Kamu tahu? Akhir-akhir ini ada orang iseng yang suka menaruh kotak kayu aneh di lokerku." Aku menunjukkan kotak kayunya pada Maura. "Memuakkan."

Maura melebarkan matanya terkejut, bibirnya mengatup paksa, seperti orang menahan boker. "Apa yang kamu lakukan pada kotak-kotak itu?"

"Tentu saja aku membakarnya," kataku memalingkan wajah dan bergegas merapikan loker yang entah bagaimana bisa berantakan, padahal sewaktu jam istirahat aku menaruh buku, loker ini masih rapi.

"Apa?! Kenapa kamu melakukannya?!" Maura membentakku, nadanya meninggi dengan cepat, membuat kami jadi pusat perhatian anak-anak yang lewat. "Maksudku, kenapa kamu tidak lihat dulu isinya?" kali ini dia memelankan suaranya sambil tak peduli dengan lirikan-lirikan sinis yang ditujukan padanya.

"Buat apa? Bagaimana kalau isinya sabu? Lebih baik aku bakar saja langsung," jawabku padanya sambil mengingat-ingat berat masing-masing kotak yang berbeda. Salah satu yang sangat berat kira-kira sekitar dua kilogram, aku yakin isinya semacam besi. Aku menutup loker yang sudah rapi dan menegakkan badan, menggerakkan pinggangku yang mulai berat. "Untung saja bukan bom seperti tas merah minggu lalu," gumamku dengan sangat pelan setelah kata 'seperti'.

Maura membelalakkan matanya terkejut, jarak yang hanya dua loker di antara kami cukup dekat hingga dia sudah di depan mataku dalam waktu sekejap tanpa kutahu kapan dia bergerak. "Kamu masih ingat kejadian di mal?" dia berbisik begitu lirih sampai aku nyaris tak mendengarnya.

"Kamu sendiri, bagaimana kamu bisa tahu soal kejadian itu?"

Bukannya menjawabku, Maura malah menelepon seseorang dan mengatakan hal yang sangat aneh. "Durian ikan abon martabak abon semangka ikan hangat ikan nanas garam abon tempe."

Ikan abon, ikan hangat, ikan nanas? Apa sih maksudnya?

"Kamu ngomong apa, sih?"

Maura mematikan panggilannya tanpa mengucap salam atau apa pun. "Kamu pasti penasaran kenapa hanya kamu yang ingat, kan?" Aku mengangguk ragu, masih agak tidak percaya kalau Maura juga tahu soal kejadian itu.

"Dengar, besok sepulang sekolah temui aku di dekat lapangan baru. Aku akan menjelaskan semuanya padamu. Dan bawa semua kotak-kotakmu yang tersisa." Maura langsung pergi begitu saja setelah membuat janji temu sepihak. Padahal besok aku ada kelas tambahan seni. Astaga! Dia mengacaukan jadwalku!

Namun, yang lebih penting dari itu, Maura ada hubungannya dengan semua ini, dan aku akan mendapatkan jawaban atas keanehan-keanehan di negara ini.

"Ren!"

Aku menoleh pada sumber suara yang berjalan mendekatiku. Wajah rupawannya yang tertimpa sinar matahari sore dari jendela-jendala kaca tampak lebih bersinar bak primadona sekolah di film-film kartun. Bibir merah Felisia tersenyum padaku dengan anggun begitu dia tiba di hadapanku.

"Kamu akan pergi ke pesta musim kemarau Juno dengan siapa?"

*****

1130 words.

Sensus PendudukWhere stories live. Discover now