5. Isi yang Tak Terpahami (2)

35 6 0
                                    

BATAVIAZARTS, 15 APRIL 2197

TUBUH MAURA HANCUR, aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri.

Setelah ledakan terjadi, asap-asap hitam pekat serupa bayangan menutup api yang bekelebat di sekeliling Maura berdiri. Aku baru menyadari tubuhnya terbelah setelah mendengar teriakan dari mal. Orang-orang yang baru keluar dari pintu itu melihat potongan tangan gosong dengan cairan merah kering yang terlempar sampai depan pintu. Aku tak tahu bagaimana bagian tubuh Maura lainnya, dan aku tidak ingin mencari tahu. Itu jelas sesuatu yang sangat mengerikan. Kalau ada yang berpikir aku bisa tidur tenang setelah hari itu, aku ingin sekali memukul kepalanya.

Bayang-bayang kematian Maura terekam jelas dalam ingatanku, berulang-ulang muncul, mengoyak kewarasanku. Sialnya, aku satu-satunya orang yang akan tetap ingat tragedi itu. Seperti kata Maura, keesokan harinya semua kembali normal seperti biasa; lapangan ditutup dengan alasan perbaikan jalan; mal dibersihkan seperti tak pernah ada goresan material ledakan atau tangan gosong yang mendarat di sana.

Bahkan, ketika aku memeriksa data siswa tak ada nama Maura di sana meski ada namanya di meja. Aku yakin orang-orang yang membersihkan Maura lupa dengan jejak-jejaknya yang tersisa di sekolah.

"Sudahlah, Ren." Laras menggeser meja guru. "Yang namanya Maura memang tidak ada. Mungkin itu hanya salah tulis saja."

Seharian aku mencari Maura di sekolah, tetapi benar-benar tak ada yang tahu siapa dia meski banyak barang yang tertulis dengan namanya. "Kalau salah tulis, kenapa tempat ini kosong? Bukankah berarti seharusnya ada yang duduk di sini?"

"Ini buang-buang waktu." Berjalan menjauh, Juno mengecek ponselnya.

Aku menatap nanar pada nama yang tertulis di meja dengan spidol permanen itu.

MAURA ARYANA
KELAS 11-A

Andai mereka tahu bagaimana dia mati, aku yakin jenazahnya akan diperlakukan lebih layak. Aku tak tahu apa yang terjadi atau siapa yang mengurus tubuhnya setelah aku pergi hari itu.

Juno mendecak di ambang pintu. Dia menatapku lurus-lurus. "Kalau kamu benar-benar ingin tahu, kenapa tidak mencarinya di pusat informasi saja?"

Pusat informasi? Tidak buruk juga sarannya. Sayangnya aku sempat bermasalah dengan salah satu penjaga loket antrian komputernya, malas sekali kalau harus ke sana. Terlebih lagi lokasinya tepat di tengah kota. Dari selatan kota ke sana akan memakan waktu cukup lama meski dengan papan terbang.

"Kami akan menemanimu."

Kupikir aku akan mendapatkan sesuatu, ternyata sama saja. Nama Maura Aryana benar-benar tidak ada di mana-mana, bahkan di profil keluarga Aryana hanya tertera informasi kedua orang tuanya dan tiga saudara laki-lakinya.

Alamat di sudut layar monitor membawaku menemui keluarganya, demi memastikan dia benar-benar tak lagi diingat. Jika itu terjadi, bagaimana dengan orang-orang mati lainnya yang juga dihapus dari ingatan semua orang? Apa ayahku juga mengalami hal yang sama? Tetapi kenapa dia masih hidup?

"Tidak ada yang namanya Maura di sini, kami hanya punya tiga putra." Nyonya rumah bersanggul cucuk itu melihatku dengan ekspresi kebingungan, tangannya mengusap-usap apron kotor yang masih dia pakai. "Sepertinya kamu tersesat, Nak. Aku akan panggilkan suamiku untuk mengantarmu ke rumah temanmu si Maura itu."

Saat itu, aku hanya bisa terus mengumpat dalam hati. Menyumpah serapah kedua orangtua yang tak bisa mengingat anaknya lagi. Eksistensi Maura benar-benar telah lenyap, bahkan dari orangtuanya. Sistem penghapusan ingatan ini benar-benar mengerikan, tak ada yang tahu, tak ada yang memberitahu, semuanya saling diam dan saling melupakan.

Sensus PendudukWhere stories live. Discover now