6. PATRIOT

27 6 0
                                    

BATAVIAZARTS, 26 APRIL 2197

SEPANJANG hidupnya, Ren belum pernah berada dalam situasi sesulit ini. Dia bergerak gelisah, keringat-keringat di tangan sudah melicinkan pegangannya pada lembar halaman buku usang di pangkuan. Padahal dia sudah berusaha sejauh mungkin dari keriuhan pesta untuk menghabiskan bacaannya pada karya Zygmunt Baumant yang nyaris tak terlihat lagi tintanya.

Erangan-erangan nista dari luar bilik toilet yang semakin nyaring membuat Ren mengusap wajahnya kesal. "Yang benar saja." Dia menggumam tanpa suara, berusaha benar-benar tak terlihat. Sesungguhnya dia menyesal tetap membaca buku itu meski pada akhirnya tak menemukan apa pun.

Ren tadinya berniat melanjutkan bacaannya di dalam bilik toilet, tetapi baru saja dia membaca sepuluh kata, langkah kaki dan suara berat seseorang terdengar memenuhi toilet. Awalnya Ren tetap membaca dan mengabaikan mereka, tetapi suara yang semakin aneh dan obrolan yang vulgar memaksa nalurinya untuk tetap di sana dan menunggu waktu yang tepat keluar. Sialnya, dia justru tertahan dalam keadaan lapar selama nyaris satu jam.

"Seharusnya aku mengambil beberapa lembar roti lapis di pesta tadi," katanya penuh penyesalan, tetapi beberapa detik kemudian dia menggeleng. "Membayangkan diriku membawa roti lapis ke dalam toilet sepertinya sangat menjijikkan." Ren menghela napas setelah telinganya tak lagi mendengar suara-suara aneh.

Ketika dia membuka pintu bilik, pasangan mesum di depan wastafel terkesiap dan buru-buru merapikan pakaian mereka. Namun, Ren tak ambil pusing, dia tetap berjalan tenang keluar toilet dengan menenteng buku tuanya.

"Lanjutkan, anggap saja aku tidak pernah lewat," katanya tanpa menoleh sedikit pun.

Ren tidak mengerti bagaimana bisa di apartemen ini ada dua orang aneh yang berhubungan intim di toilet umum. Entah karena toiletnya yang terlalu sepi atau mereka yang terlalu tidak tahu malu. Dia berpikir urusannya dengan mereka berdua akan berakhir begitu saja, tetapi seseorang yang memanggilnya membuatnya menoleh terkejut.

"Bisa kita bicara sebentar?" Rahang pria tinggi berotot itu bergemeletuk tatkala memulai berkonversasi. Matanya mengintimidasi Ren yang tak setinggi dirinya.

Tetapi bukan Ren namanya kalau tidak membuat orang kesal. "Oh, maaf. Saya bukan siapa-siapa. Saya hanya rumput bergoyang."

Ren merasa tak asing dengan wajah pria itu. Dia merasa pernah melihatnya, entah bintang iklan atau aktor film, yang jelas orang ini bukan orang sembarangan. Ren tahu meski dia tidak suka menonton televisi.

"Hei, kamu pikir aku bodoh?" sahutnya mendengar respon Ren yang meremehkan. "Apa kamu sudah di bilik itu sebelum kami datang?"

Dengan sedikit melebarkan matanya dan merendahkan bahu, Ren terlihat telihat lebih lugu. "Hah? Anda siapa ya? Saya tidak tahu. Saya tadi bukan dari toilet, saya dari kolam renang, kok."

Pria bersurai segelap kecap menggeleng. "Kamu tidak pandai akting, berhenti sok polos," katanya tanpa melepaskan tatapan tajam pada Ren. "Apa yang kamu katakan, cepat katakan."

Ren kembali memjadi dirinya sendiri yang menampakkan aura sosok remaja lelaki suram. "Oh? Uang tutup mulut?" Dia menelengkan kepalanya, mengelus bukunya beberapa kali untuk meredakan gugup meski senyum miringnya terlihat lebih menyebalkan daripada akting gagalnya. "Selain berbuat begitu di tempat umum, orang seperti kalian juga suka menyuap orang ya? Ckckck."

"Kamu–"

"Oh, Anda pasti berpikir saya ini bocah SJW ya." Ren memotong sebelum tatapan mengejeknya dibalas. "Ya, silakan Anda boleh anggap saya rumput bergoyang SJW juga."

"Kamu–"

"Kan saya tadi sudah bilang kalau saya tidak lihat apa-apa, lagi pula saya langsung jalan lurus tanpa melirik kalian, kok," potongnya lagi sambil membuka-buka halaman bukunya sok santai. "Saya tahu batasan dan privasi orang lain."

Sensus PendudukWhere stories live. Discover now