4. Isi yang Tak Terpahami

31 8 0
                                    

BATAVIAZARTS, 11 APRIL 2197

"AKU AKAN DIBUNUH," katanya buru-buru. "Jadi cepatlah datang."

Kulihat sekali lagi ponselku dengan panik. Kupikir Maura bisa menunggu sebentar sampai aku membuat izin dengan guru kelas seni rupa. Minggu lalu aku tidak masuk kelas seni rupa karena masih di rumah sakit, sekarang akan sangat memalukan kalau lagi-lagi tidak hadir kelas. Dan guru kelas seni rupa terlampau lugu sampai memaklumi alasanku dan mengira aku benar-benar akan pergi pemeriksaan ke dokter.

"Sayang sekali, minggu ini kamu akan melewatkan menggambar Raja Caligula." Guru Seni Rupa, Pak Rudolf, menunjukkan profil seseorang di tabletnya. "Kamu pasti tertarik mengomentari kisah hidupnya."

Sebenarnya aku sudah pernah membacanya, daripada tertarik, aku lebih kebingungan harus berkomentar apa. Terutama ketika dia berperang dengan lautan. Aku tidak habis pikir, memangnya tombak akan meninggalkan bekas luka di air, ya?

Deru mesin bersahut-sahutan di udara, debu-debu beriak halus merambah penglihatan ketika aku mulai terbang dengan papanku. Musim kemarau tahun ini lebih buruk daripada tahun lalu, bahkan matahari terasa lebih panas dari oven kue ibuku. Aku tidak yakin Maura masih sabar menungguku di tempatnya, dia terancam dibunuh. Aku sempat mengira dia bercanda agar aku segera menyusulnya, tetapi irama napas yang tak beraturan dan suara yang sangat pelan membuatku yakin seseorang sedang mengawasi Maura.

Bidang datar kehijauan mulai terlihat di ujung pandangku. Lapangan baru lebih sepi dari biasanya, padahal ini sudah jam anak-anak SD atau SMP pulang sekolah dan bermain. Seingatku, tiap Selasa anak-anak futsal SMP sudah melangsungkan pertandingan babak keduab di jam ini. Meski begitu, mal di samping lapangan tetap ramai seperti biasa.

Seorang gadis dengan seragam sekolah yang sama denganku melambaikan tangan sebelum papanku mendarat. Aku menambah kecepatan papanku dengan semangat, setelah bertemu dengannya, aku bisa pulang dan segera tidur. Namun, kurang dari 200 meter ekspresinya yang ketakutan terlihat jelas, dan gerakan tangannya ternyata menyuruhku putar balik dan menjauh.

"Apa-apaan kamu? Kamu yang menyuruhku cepat datang, kenapa sekarang mengusirku?" Aku melipat papan terbangku dan memasukkannya ke dalam tas, lantas beralih menatap Maura yang semakin gelisah. Kulitnya lebih pucat dari saat kami bertemu kemarin.

Pada akhirnya Maura menghela napas dan menyuruhku lebih mendekat. Aku bisa mendengar deru napasnya dan dengusan yang terasa hangat berlesatan dari hidung kecilnya yang memerah, tampaknya Maura sedang tidak enak badan.

"Dengar baik-baik." Ketika mengatakan itu, matanya terlihat berkaca-kaca dan terbuka sedikit lebih lebar. Suara Maura serak, dan dia berusaha berbisik sepelan mungkin. "Di negara ini setiap pukul 00.00 semua ingatan sensitif akan dihapus, seolah ada suatu kejadian yang tidak pernah terjadi."

Aku tersentak di tempat, teringat bagaimana semua orang berpikir aku gila karena bersikeras ada bom di pusat perbelanjaan dan puluhan mayat busuk terpaku di ruang bawah tanah mal.

Maura menyadari reaksiku, tetapi aku memberinya isyarat untuk melanjutkan kata-katanya yang menggantung di udara senyap.

"Seperti saat kamu terkena ledakan bom udara di mal." Maura berhenti, menunggu reaksiku yang hanya manggut-manggut lugu. "Chip di dalam otak semua orang yang selain berfungsi sebagai kartu identitas itu juga adalah alat pengontrol saraf ingatan orang-orang. Sebelum tim SAR datang, tim kami lebih dulu menolongmu dan berhasil meretas chip otakmu lalu mengelabui sistem keaman negara, jadi ingatanmu tidak akan terhapus lagi sejak hari itu."

"Jadi, ledakan itu benar-benar ada, kan?" Aku menyela untuk memastikan kalau aku tidak gila.

Maura mengangguk. "Kamu tidak perlu meragukan ingatanmu. Tapi-" ucapannya terhenti, bola matanya tiba-tiba bergerak cepat ke arah lain.

Sensus PendudukTahanan ng mga kuwento. Tumuklas ngayon