2. Di Bawah 10 meter

46 11 3
                                    

SEMUA ORANG INGIN HIDUP. Dan mereka selalu mencari alasan untuk tetap hidup. Seakan keberadaan mereka benar-benar berpengaruh di era yang bahkan manusia bisa dengan mudah tergantikan mesin atau kecerdasan buatan. Mereka selalu berpikir; mereka akan punya peran besar. Seakan diri mereka bisa jadi sebesar Obama atau Putin. Padahal itu hanya dusta karismatik, yang sesungguhnya adalah mereka tak ingin mati, tak ingin meninggalkan segala kepuasan di dunia ini. Mereka hanya terlalu takut untuk mengakuinya.

Barangkali aku orang paling aneh, aku selalu mencari alasan untuk segera mati. Hidupku sudah terlalu membosankan, hanya diisi kegiatan repetitif yang seperti disetel otomatis. Sayangnya, aku tidak punya hutang atau musuh yang bisa mendorongku untuk segera mati. Dan sebuah bom datang lebih dulu sebelum semua alasan mati itu muncul. Bukan bom semacam cobaan atau ujian hidup berbentuk kesulitan yang akan membuatmu menangis meronta-ronta, melainkan bom secara harfiah.

Pak tua yang membawa tas merah tadi benar-benar meletakkan bom di dalam tas itu. Aku sudah curiga sejak awal. Kalau bukan sabu atau barang curian, pasti bom. Masalahnya, apa para penjaga itu benar-benar tak menyadarinya? Bagaimana dia bisa lolos dari pemindaian di pintu?

Aku sudah memperingatkan orang-orang untuk segera lari, tetapi mereka mereka malah menganggapku gila. Kurasa mereka yang gila, semoga mereka menyesal di akhir hayatnya nanti.

"Nak, apa kamu yakin isinya benar-benar bom?" Wanita paruh baya dengan anaknya tadi terus mengikuti gerakanku berlari. Dan aku tak mengizinkan sedetik pun mereka berhenti.

Aku mengangguk samar, masih dalam keterkejutan yang seperti tanpa akhir. Kakiku yang semula begitu sakit mendadak lancar sekali berlari, seolah ketakutan menajamkan insting bertahan hidupku. Seperti inilah kekuatan para pahlawan film animasi? Mendadak over power setelah terdesak, huh?

Setibanya kami di luar mal, aku mencari-cari para penjaga. Tetapi mereka tak ada di tempat. Seolah tiba-tiba ditelan bumi. Apa ini jam pergantian penjaga?

"Kakak! Lihat itu!" Aku mengikuti arah yang ditunjuk bocah kecil di sebelahku. Sekelompok anak laki-laki--sepertinya segeng--tampak sedang mendekati tas merah yang tergeletak di dekat stan makanan. Banyak orang berlalu-lalang di sekitar sana, padat, dan tak berhenti. Ratusan nyawa bisa mati, apa yang harus kulakukan?

Persetan dengan nyawa orang, tujuanku kemari cuma membeli bahan makanan. Semestinya aku pulang sekarang. Aku baru akan pergi, tetapi sebuah tarikan di baju menghentikan langkahku.

Bocah itu lagi.

"Kakak! Mau kemana?!" dia bertanya dengan mata yang tampak kecewa. Seperti anak kecil yang dirampas mainannya--tapi dia memang anak kecil, sih. "Selamatkan yang lainnya juga! Ayolah!"

"Kevin!" Ibunya mulai menegur Kevin setelah anak itu tampak berusaha keras memaksaku kembali ke dalam mal. "Jangan memaksa seseorang melakukan sesuatu, Nak. Itu tidak sopan."

"Tapi, Bu-"

Aku menghela napas, menyela Kevin sebelum dia sempat menutup mulut. "Kamu pikir aku mau mempertaruhkan hidupku hanya untuk orang-orang yang tidak kukenal? Mereka tidak percaya kata-kataku, buat apa aku menyelamatkan mereka?"

Bukannya merasa bersalah, Kevin malah mengernyit. "Hei! Aku juga orang asing, kenapa Kakak menyelamatkanku?!"

"Kasihan," jawabku asal. Tanpa kusadari ternyata jawabanku malah mengundang masalah baru.

"Terus, Kakak nggak kasihan sama para pedagang yang sudah tua itu?" Kevin kembali menarik-narik bajuku. "Ayolah, Kak ...."

Kevin terus merengek, aku hanya bisa memijit pelipis dengan kesal tanpa membentaknya sekalipun dia sudah mulai membuatku benar-benar tidak nyaman. Di antara kerumunan manusia yang sibuk bergerak tanpa henti, aku melihat sesuatu tergeletak tak bergerak di sana. Sebuah dompet warna biru tua dengan stiker buah-buahan tampak tenang dan tak tertendang orang-orang yang lewat. Aku segera merogoh kantong-kantong bajuku, lantas menyadari dompet itu benar-benar punyaku.

Sensus PendudukWhere stories live. Discover now