"Hai," sapa Hugo sambil tersenyum ramah. Pat merasa kelegaannya bertambah. "Hai juga. Ada apa?"

Untuk sebuah alasan yang tidak Pat ketahui, Hugo menatap tepat secara lurus ke wajahnya selama beberapa saat. Hingga dia akhirnya sadar lelaki itu pasti melihat matanya yang sembab. Cepat-cepat ia menundukkan wajah.

Beberapa menit berikutnya berselang dengan hening, lalu Hugo menanyakan hal yang lain, "Addo ada di rumah?"

"Dia belum pulang."

"Belum? Sekarang sudah sore, sebentar lagi malam," ujarnya seraya menoleh ke belakangnya, ke jalan komplek perumahan diluar sebentar, untuk mempertegas ucapannya bahwa hari memang sudah hampir gelap.

"Aku kira dia ke rumahmu lagi," aku Pat, rasa khawatir baru mulai muncul dan mengusiknya. Secara tiba-tiba, tanpa bisa ia cegah air matanya merembes keluar lagi. Rasa sesak yang masih tersisa didadanya kembali menghimpitnya, kakinya seketika terasa tidak kuat untuk menopang berat tubuhnya sendiri.

"Pat, kau kenapa?" Hugo refleks mencengkram kedua bahu Pat untuk menahan tubuhnya. Pat menghapus air matanya dan mencoba menahan isakan yang sudah berada di pangkal tenggorokan, namun semuanya benar-benar di luar kendalinya saat ini. Tangisannya justru meledak makin keras.

"Tenanglah, kumohon jangan menangis seperti ini."Jari-jari tangan Hugo ikut mengusap air mata Pat, tapi masih tak cukup membantu.

Dunia terasa begitu tak adil bagi Pat. Memang, sebelum-sebelumnya dia juga diperlakukan tak adil oleh semua orang dekatnya, termasuk keluarganya sendiri. Tapi tidakkah mereka pernah mengerti bagaimana rasanya berada diposisi Pat? Tidakkah mereka tahu kalau selama ini Pat telah terus bersabar dan memaafkan semua perlakuan mereka? Tapi nyatanya tetap saja, semuanya omong kosong. Usahanya seolah-olah tak berarti. Pat terus terpuruk dan selalu saja disalahkan. Dia ingin menyerah saat itu juga. Semuanya terlihat tak ada gunanya lagi untuk terus diperjuangkan.

Akan tetapi yang lebih menyakitkan adalah jika ia menyerah, maka semua ketidakadilan itu akan berpindah pada Addo. Ketidakadilan yang Pat masih sadari sebagai buah dari kesalahannya.

"Kenapa harus Addo yang menanggung kesalahanku? Kenapa harus dia..." suaranya tenggelam dalam isakan yang jauh lebih keras. Lututnya bergetar begitu hebat sehingga sebentar-sebentar genggaman Hugo terasa tak cukup kuat untuk menahannya.

Ketika hal itu nyaris terjadi, Pat melihat Greyson menangkapnya dan membawanya kepelukannya. Tangannya memeluk tubuh rapuh Pat erat, juga mengelus punggungnya pelan berulang-ulang untuk menenangkan. Pat membalas dengan melingkarkan kedua tangan dilehernya dan meletakkan wajah di pundaknya. Tangisannya makin keras dan sengaja ia membenamkan wajah di pundak Greyson.

"Apa yang harus kulakukan, Greyson? Aku tidak tahan jika harus terus-terusan seperti ini. Baik keluargamu maupun keluargaku, semuanya menganggapku dan Addo seperti sampah..."

Greyson tidak mengatakan apa-apa.

"Bawa aku pergi sejauh mungkin, kumohon Grey! Aku hanya tidak mau anak kita terluka lebih banyak karena kesalahan kita dulu. Aku... Aku..."

"Tenanglah, Pat. Tenangkan dirimu dulu," suara beratnya berujar disamping telinga Pat. "Semuanya akan baik-baik saja, aku yakin." Dia mempererat pelukannya, mengirimkan hawa hangat yang begitu terasa, membuat Pat nyaman bersandar padanya.

"Kuatlah. Karena aku bersamamu, Pat."

***

Dari taman anggrek, Addo berjalan kembali ke homeroom. Namun dia berhenti di sebuah mesin penjual minuman otomatis di koridor, membeli minuman soda. Saat itu juga, tak berselang lama, Matt menghampirinya dengan napas tersengal-sengal.

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)Where stories live. Discover now