Bab 33 : Tersesat di Hutan

4.1K 303 16
                                    

"Nak Bimo, jangan bergerak !"

Di atas tebing, pak Kasno berteriak memanggilku. Cahaya senter ia sorotkan ke wajah, membuat mataku silau. Aku terjatuh lumayam curam, sekitar 8 meter. Kegelapan membuat jurang ini seakan sangat dalam.

Kemudian terdengar suara berisik. Mahluk tadi melompat, melesat dalam hutan. Anak sumpit menancap di punggungnya, terbakar dan menyala bagai kembang api. Suara gong yang ditabuh sudah tak terdengar.

"A-apa itu ?" teriak pak Kasno dari atas tebing.

"Tunggu sebentar nak Bimo, aku turun "

Pak Kasno bergegas turun,berpegangan pada batang kayu dan akar pohon. Saat di tengah, pak Kasno menendang-nendang batang kayu tempat senterku tersangkut. Senter jatuh dan hampir saja mengenai kepalaku.

Setelah beberapa saat, kaki pak Kasno akhirnya menapak di dasar jurang. Diraihnya senterku lalu diserahkan. Tubuhku ia sandarkan pada sisi jurang yang miring.

"Minum dulu." ujar pak Kasno.

Diserahkannya sebotol air dari dalam tas punggungnya. Segera kubasahi tenggorokanku yang terasa kering, tak kupedulikan airnya yang tumpah membasahi baju dan jaketku.

"Kenapa lukamu ? Kok berlendir kayak ada ingus ?" tanya pak Kasno sambil menyoroti luka di lututku.

Pak Kasno mencondongkan wajah, mengintip lukaku, lalu bergegas bangkit mencari tempat berpegangan tangan. Sambil memegang perut, pak Kasno muntah.

" Bau bangkai !, "sungut pak Kasno, "kakimu mulai membusuk, harus segera dibersihkan."

Setelah semua isi perutnya dikeluarkan, pak Kasno bergegas mengobati lukaku. Sambil menahan nafas, pak Kasno memotong bagian celanaku yang robek dengan gunting dari kotak P3K yang ia bawa dalam tas. Kini celana kananku berubah jadi celana pendek, sedangkan bagian kiri tetap panjang seperti semula.

Dengan cekatan pak Kasno menyiram lukaku dengan alkohol lalu membersihkannya. Aku meringis saat kapas menyentuh bagian lututku yang terkoyak.

"Tahan saja." katak pak Kasno.

Aku mengangguk, "terima kasih pak, "kataku lirih menahan perih.

Pak Kasno tersenyum.

"Gini-gini, aku dulu anak PMR. Pernah juga jadi pembina waktu masih tugas di kota." ujarnya masih sibuk dengan kapas dan alkohol di tangan.

Pak Kasno kemudian mengeluarkan perban dan mulai membalut lututku.

"Tadi, nak Bimo saya panggil-panggil kok gak nyahut. Saya sampai khawatir, takut nak Bimo kenapa-kenapa."

Aku menarik nafas pelan, merasakan dingin alkohol di lututku.

"Saya juga tadi teriak-teriak minta tolong manggil pak Kasno, juga ga ada balasan."

"Aneh..." Pak Kasno terdiam, balutan perban di lututku sudah terikat rapi. Ia kemudian membersihkan luka di sikut dan tanganku.

"Sebaiknya kita terus bergerak, menyusul rombongan pak Kades. Mungkin belum jauh." kata pak Kasno sambil membantuku berdiri.

"Saya tidak hafal hutan sini, bisa-bisa kita tersesat. Bisa juga, mereka sedang mencari kita sekarang." lanjut pak Kasno.

Aku sudah berhasil berdiri, berpijak pada dua kaki.

"Bisa digerakkan ?"

Kucoba menggerakkan kaki, masih terasa sakit di lutut. Tapi tetap kupaksakan. Aku tak mau merepotkan pak Kasno, bagaimanapun juga, jari kaki kirinya belum sembuh total.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Where stories live. Discover now