Bab 03 : Perjalanan di Tengah Belantara

6.2K 519 30
                                    


"Owalah...Kalian kok bisa nyasar ke Kalimantan sih?" mas Tarno juga tak kalah kaget begitu mengetahui bahwa orang yang dari ditunggunya adalah aku dan istri.

"Loh...kalian kok saling kenal?" Bang Junai mengernyitkan dahinya pada mas Tarno.

"Mereka ini tetanggaku satu kampung." ujar mas Tarno sembari menyurungkan tangan padaku dan istri bergantian.

"Ini istrimu Bim ? Wah cantik ternyata. Namamu siapa nduk?" mas Tarno bertanya pada istriku.

"Sriatun mas... Dulu satu kampus sama mas Bimo. Cuman beda jurusan." Istriku memperkenalkan diri sambil tersenyum, berusaha untuk ramah.

Mas Tarno memang tak mengenal istriku, karena pada saat pernikahan kami dia telah pergi entah kemana bersama anak dan istrinya. Setahun kepulangannya, mas Tarno menikah dengan mbak Ajeng, masih satu kampung dengan kami. Seingatku, mereka hanya pulang setahun sekali saat lebaran.

"Asal darimana ?"

"Magelang mas. Kaliangkrik." Jawab istriku.

"Oh iya..iya.. yaudah masukin barang kalian ke dalam mobil. Perjalanan kita masih panjang. Nanti masalah ongkos gampanglah...bisa di diskon. Iyakan Jun?" mas Tarno menoleh pada Bang Junai, meminta penegasan.

"Gampang lah, bisa diatur." Ujar bang Junai.

Mereka lalu membantu kami memasukan barang bawaan kami ke dalam mobil. Aku dan istri duduk di kursi belakang. Bang Junai bertindak sebagi sopir, sedangkan mas Tarno bertugas sebagai kernet.

Ada perasaan tenang dan bahagia, bertemu orang satu kampung di tanah perantauan. Perasaan yang tidak bisa dilukiskan, hanya orang-orang yang merantau yang bisa merasakannya.

Perlahan, mobil kami dengan bak belakang penuh muatan bergerak kearah luar kota.

Di samping jok kiri kanan mobil bagian depan, terselip masing-masing satu buah Mandau. Bagian gagangnya yang berhiaskan rambut, terlihat jelas olehku yang duduk di jok belakang.
Selain itu, juga ada sebuah senapan angin kaliber besar, cukup untuk membunuh seekor babi hutan.

"Buat jaga-jaga, soalnya kita lewat hutan." ucap Bang Junai, seolah tahu pertanyaan di kepalaku.

"Kalian kok bisa nyasar ke Kalimantan ini gimana ceritanya?" tanya mas Tarno.

Aku lalu menceritakan awal mula perjalananku dan istri hingga sampai ke sini. Berawal dari ikut tes CPNS akhir tahun lalu di Palangkaraya, ketidak setujuan ibuku, hingga akhirnya tiba di sini.

Kulihat istriku sudah tertidur. Kepalanya menyender pada jendela, sedangkan jaketnya iya jadikan selimut.

"Mbak Ajeng dan anak-anak juga di sini mas?"

"Iya Bim...kami masih tinggal di kontrakan. Kapan-kapan kalian main lah. Sesama satu kampung harus sering-sering silaturrahmi"

Malam semakin sepi, tidak ada satu kendaraan yang lewat. Obrolan semakin panjang, sesekali bang Junai juga ikut terlibat. Mobil kami mulai memasuki jembatan sungai Barito. Di plank jembatan bagian atas, tertulis ucapan Selamat Jalan dari Kota Muara Teweh.

"Setelah menikah, aku sempat buka warung bakso di Sleman. Namun tidak sampai setahun sudah bangkrut. Setelah itu aku merantau Surabaya dan Bandung, lalu kembali lagi ke sini. Istri dan anak-anakku juga kuboyong sekalian."

Mas Tarno lantas mulai menceritakan perjalanan hidupnya, sejak awal mula ia merantau hingga kembali lagi ke tanah perantauan. Ternyata Bang Junai adalah kawannya ketika masih bekerja di perusahaan dulu. Bang Junai lah orang yang dulu mendadak sakit, sewaktu mereka ditugaskan untuk memeriksa kebun karet milik perusahaan.
Setelah berhenti dari pekerjaannya, Bang Junai membeli mobil dengan uang pesangon yang ia dapat dari perusahaan. Mobil itu ia gunakan untuk membuka usaha jasa antar angkut muatan ke daerah pedalaman. Muatannya sebagian besar sembako, kadang juga BBM, sesekali ia juga membawa penumpang. Pelanggannya adalah para pedagang besar di pedalaman, namun lebih sering mengangkut pesanan perusahaan.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Where stories live. Discover now