Bab 01 : Kalimantan

12.4K 759 71
                                    

2018.
Akhirnya, aku dan istriku menginjakan kaki di Kalimantan. Tanah harapan dan impian, setelah bertahun-tahun hidup dalam kemiskinan di tanah kelahiranku, di Gunung Kidul, Yogyakarta.

"Amplop ini serahkan dengan Pak Kasno ya. Dia akan mengurus segala keperluan di sana. Ingat.. enam bulan lagi prajabatan di provinsi.
Nanti akan ada surat pemanggilan. Kamu akan berangkat bersama-sama CPNS lainnya. Nanti akan dilepas langsung oleh Pak Bupati"

"Inggih pak, Terima kasih banyak. Akan saya sampaikan salam bapak buat Pak Kasno".

Aku kemudian menyimpan amplop dari lelaki setengah baya tersebut ke dalam tas punggung yang kubawa. Aku sisipkan diantara berkas-berkas lainnya, yang disatukan dalam wadah plastik khusus untuk menyimpan berkas.

Setelah keluar ruangan, beberapa orang lainnya kemudian masuk ke ruangan tersebut. Sama seperti diriku, mereka adalah CPNS yang akan ditugaskan ke sekolah masing-masing, sebelum nantinya secara resmi dikukuhkan sebagai abdi negara.

Aku kemudian segera pergi dari gedung dinas Pendidikan Barito Utara, menggunakan tukang ojek menuju penginapan dimana istriku telah menunggu.

***

Setiba di penginapan, aku segera bergegas menuju kamar kami yang ada di lantai dua. Istriku masih tertidur pulas setelah menempuh perjalanan darat selama 10 jam dari Banjarmasin.
Wajahnya teduh, khas wajah wanita Jawa yang hitam manis.
Sebenarnya aku ingin dia tinggal dulu bersama mertuaku di Jawa, menanti hingga aku resmi dilantik sebagai PNS. Namun ia bersikeras, takut aku kepincut gadis Dayak dan menghilang tanpa kabar katanya. Apalagi omongan tetangga yang mengatakan bahwa tanah Kalimantan penuh hal mistis, dibumbui cerita tentang banyaknya orang Jawa yang tidak bisa pulang setelah menikah dengan orang Dayak, membuat istriku semakin memaksa untuk ikut.

Orang tuaku juga sempat melarang, takut peristiwa yang menimpa mas Tarno, tetangga kami, juga terjadi padaku.
Aku masih teringat peristiwa beberapa tahun lalu. Saat mas Tarno baru sampai di halaman rumah, ibunya langsung teriak histeris dan memeluknya dengan isakan tangis. Saudaranya yang lain juga berhamburan menyambut mas Tarno, karena mengira ia telah meninggal dunia di tanah perantauan.

Sehari setelah kedatangannya, keluarga mas Tarno langsung mengadakan malam syukuran atas kepulangannya. Setelah Isya, Aku dan para tetangga lainnya turut hadir, sekaligus penasaran dengan cerita mas Tarno selama bekerja di Kalimantan. Rumah orang tua mas Tarno yang kecil, penuh warga yang duduk berdesakan. Kami ingin mendengar langsung tentang pengalamannya selama di Kalimantan. Apalagi, baru sehari tiba di kampung halaman, sudah beredar kabar bahwa mas Tarno seharusnya sudah mati, tapi dihidupkan lagi oleh orang Dayak.

Aku dan Herman, sengaja memilih duduk agak dekat dengan mas Tarno. Siapa tahu, ada informasi menarik yang bisa kami dapatkan, misalnya informasi tentang lowongan pekerjaaan.

"Bim, kamu lihat gak? Di leher mas Tarno ada bekas luka tebasan. Pasti dia bikin ulah dengan orang Dayak" tanya Herman yang duduk di sampingku.
Aku yang sedari tadi sibuk mainan Hp, segera mengalihkan perhatian dan memandang bagian leher mas Tarno. Benar juga, di bagian lehernya terdapat bekas luka memanjang.

"Sstt... Jangan keras-keras, nanti didengar mas Tarno atau keluarganya ga enak.." kataku sambil berbisik pada Herman.

Mas Tarno memang dikenal sebagai pemuda yang pemberani di kampungku. Meski tidak pernah bersikap sok preman, namun ia tak takut untuk menghajar apabila ada pemuda atau warga yang berlagak sok jagoan. Ditambah lagi, ia salah seorang pelatih silat sebuah perguruan yang berasal dari Madiun, sehingga ia memiliki banyak murid yang siap membantunya bila terlibat perkelahian. Bahkan, banyak murid perguruannya yang berasal dari beberapa kampung sebelah, sehingga namanya semakin disegani.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Where stories live. Discover now