Bab 07 : Desa yang Sunyi

5.2K 464 14
                                    

Usai melewati anak tangga, kami berdiri tepat di tengah gerbang desa. Gerbang itu berupa gapura dengan bahan kayu ulin sebagai penyangga di kiri dan kanan. Papan melintang di bagian atas sudah lapuk, dengan tulisan selamat datang yang sudah luntur. Beberapa hurufnya bahkan sudah hilang.

Aku dan istriku menyeret tas koper kami di jalan desa yang masih berupa tanah merah. Roda-roda kecil di bagian bawah tas mempermudah gerakan kami. Tas punggung kami panggul masing-masing. Kami terus berjalan melewati rumah-rumah penduduk yang terbuat dari kayu.

Baru beberapa langkah, ada rasa tidak nyaman memasuki desa ini.
Terlalu sepi. Aktivitas di desa ini seperti lumpuh. Bagaikan kampung mati, tidak ada satupun warga yang terlihat kecuali kesunyian.

Rumah penduduk banyak yang telah runtuh, menyisakan puing berserakan. Sebagian lagi, kosong tanpa penghuni diselimuti tanaman merambat dan rumput liar. Rumah-rumah itu seperti ditinggalkan dalam keadaan terburu-buru.

Entah apa yang terjadi dengan desa ini. Setiap kaki melangkah, serasa ada tangan tak terlihat yang menempel di bagian tengkuk. Bulu-bulu halus di tangan dan belakang leher berdiri tanpa sebab. Bayangan hitam di sudut-sudut rumah akibat tidak terkena cahaya, seperti sosok yang sedang mengawasi kami.

Aku berusaha berpikir logis, menghilangkan seluruh pikiran buruk yang bersemayam di otakku.

Lalu, samar-samar terdengar suara orang tertawa cekikikan dari salah satu rumah yang kosong. Suara itu, sesekali terdengar sangat jelas, sesekali seperti bisikan. Dengan berat hati, aku mengumpulkan keberanian untuk melihat asal suara.

Setelah mengucap bismillah, kutolehkan kepala ke asal suara, dan...
Alhamdulillah, ternyata hanyalah suara seng atap rumah yang tertiup angin. Atap seng itu melambai-lambai, seakan memberitahukan bahwa rumah itu telah ditinggalkan bertahun-tahun.

Kami terus berjalan, berharap ada seseorang yang bisa ditemui untuk tempat bertanya. Istriku tampak kelelahan, dengan sisa tenaganya ia memaksa melangkahkan kaki.

"Mas, cari warung yuk. Aku lapar." ucapnya lirih.

"Ayo..sambil jalan. Aku juga lapar."

Kami terus menapakan kaki dengan kondisi perut seperti terlilit. Kalimantan yang berada di garis khatulistiwa, membuat cuaca terasa lebih terik daripada di Jawa. Keringat sudah mulai membasahi tubuh kami. Kami meminum air mineral yang tersisa separo secara bergantian. Tiupan angin dari balik pepohonan tidak cukup mendinginkan suhu tubuh kami.

Setelah melewati beberapa rumah, akhirnya kami bertemu juga dengan penduduk desa. Seorang wanita tua terlihat sedang duduk di teras rumahnya. Dari kejauhan, ia memperhatikan kami dengan seksama tanpa bergerak. Ia mengenakan kebaya lusuh yang warnanya sudah pudar. Rambutnya yang penuh uban ia sanggul rapi di belakang. Wajahnya cekung dan tubuhnya kurus. Mulutnya komat-kamit sedang mengunyah sesuatu.

Kami melangkah pelan untuk mendekat, wanita tua itu terus memperhatikan kami dengan sorot mata kosong.
Setelah cukup dekat, aku memberanikan diri untuk bertanya pada wanita itu.

"Permisi nek...rumah pak Kasno dimana ya? "

Bukannya menjawab pertanyaanku, nenek itu malah memalingkan muka.

Cuuh...!

Nenek itu meludah ke samping. Aku dan istriku kaget, lalu terdiam. Cairan yang keluar dari mulutnya berwarna merah pekat. Perlahan, ia memalingkan wajahnya sambil tersenyum. Senyumnya sangat lebar dengan sorot mata yang tajam. Giginya berwarna merah kental kehitaman.

"Mau kemana? " tiba-tiba ada seorang lelaki paruh baya berdiri di depan pintu.
Seketika jantungku rasanya mau copot karena kaget.
Lelaki itu menatap kami dengan wajah tidak ramah. Hanya memakai celana pendek dan kaos singlet putih. Tubuhnya kurus namun berisi. Urat-urat di pergelangan tangannya terlihat menonjol.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Where stories live. Discover now