Bab 08 : Sosok di Tengah Hutan.

5.1K 459 11
                                    

Kakek itu terus mengamati kami yang berdiri ketakutan. Ia mengenakan pakaian serba hitam tanpa alas kaki. Garis keriput menyembul di wajahnya yang pucat.

Istriku menggeser badannya, bersembunyi di balik punggungku. Wajahnya ia rapatkan di belakang leherku, sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasnya di bawah telingaku.

Andaikan aku sendiri, pasti aku sudah kabur dari tadi. Tapi, dibelakangku ada seorang wanita yang harus kulindungi. Apapun resikonya, aku harus selalu menjaganya.

Aku mundur dua langkah. Istriku kaget kerena wajahnya terantuk bagian belakang kepalaku. Namun, ia tetap mengikuti gerakanku, mundur dua langkah. Aku harus hati-hati dan tidak boleh gegabah. Bisa-bisa, nyawa kami melayang. Aku mengambil posisi bersiap apabila kakek itu menyerang tiba-tiba.

Kakek itu mengambil gerakan, memasukan mandau ke sarungnya di sebelah kiri pinggangnya.

"Kalian mau kemana?" Kakek itu tiba-tiba bertanya sambil matanya mendelik. Mandau di pinggangnya sudah tersarung sempurna.

Aku dan istri masih terdiam.

"Mau ke tempat Pak Kasno? Biar kuantar." ucap kakek itu tegas.

"I-iya kek." ucapku terbata-bata.

Melihat kami masih kebingungan, ia lalu mengambil wadah bambu yang tergantung dari pinggangnya, dan menyerahkan padaku.

"Minum dulu, kalian pasti haus."

Aku menuruti perintahnya, meminum air dari wadah bambu itu lalu menyerahkannya pada istriku. Kami meminum air itu bergantian hingga dahaga di tenggorakan kami mulai hilang.

"Bagaimana rasanya ? Enak? " Kakek kembali bertanya dengan gurat senyum di bibirnya yang keriput. Aku dan istri lega,ternyata lelaki tua di depan kami tidak ada niat jahat. Istriku mengembalikan wadah bambu tadi kepada kakek.

"Rasanya aneh kek, ada pait campur manis. Juga ada rasa tawar. Beda dengan air putih biasa" jawab istriku.

"Itu air dari akar pohon yang bergelantungan di hutan. Bagus buat obat."

Istriku lalu mencium tangan keriput kakek itu. Aku juga melakukan hal yang sama, mencium tangan kakek yang ada di hadapan kami ini.

"Aku Sriatun kek. Kami dari Jawa."
"Aku Bimo kek. Tugas ngajar di desa ini."

Kakek kembali tersenyum, berusaha menghilangkan sisa-sisa ketakutan di wajah kami.

"Namaku Alang Linggau. Kalian boleh memanggilku bue Alang. Atau cukup bue saja." ujarnya dengan suara datar.

"Biar kuantar saja ke tempak pak Kasno. Kasian kalian, nanti bisa tersesat."

Tanpa diminta, bue Alang langsung berjalan di depan. Tas di tangan istriku diraihnya lalu diseret menyusuri tanah merah yang penuh batu-batu kecil dan kerikil.

Aku dan istri segera mengiringi langkah kaki bue Alang. Sesekali, bue Alang mengangkat tas di tangannya bila ada batu cukup besar di tengah jalan. Tas itu kadang ia dorong di depan, kadang ia seret di belakang. Walau sudah tua, bue Alang masih terlihat kuat.

Jujur saja, ada perasaan lega dan tenang berjalan bersama bue Alang. Setidaknya, ada orang kampung yang menemani kami ke tempat tujuan. Rupanya bue Alang baru pulang setelah memeriksa jebakan babi hutan, namun hasilnya nihil.

Sepanjang jalan, bue Alang juga bercerita bahwa dahulu ia adalah pejuang. Melawan Jepang dan Belanda pada perang Barito.

"Kawan-kawanku banyak yang mati kena peluru. Sebagian lagi tewas disiksa Belanda. Jepang lebih kejam lagi. Mereka tidak segan-segan membantai penduduk satu kampung bila ada yang melawan. Kepala semua laki-laki dipenggal, lalu mayatnya dibuang ke sungai. Rumah-rumah dibakar. Banyak penduduk yang sembunyi ke hutan untuk menyelamatkan diri." Bue Alang menghentikan langkahnya, seperti mengingat masa lalu. Sejurus kemudian, ia kembali melangkahkan kakinya.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Where stories live. Discover now