Bab 10 : Wabah Misterius

5K 439 35
                                    


"Yang benar pak?"tanyaku penasaran.

"Kata penduduk sini, dahulu sekolah ini ramai. Bahkan muridnya lebih dari 200an orang." ujar pak Kasno memulai ceritanya.

"Kejadiannya sekitar 10 tahun lalu, sebelum aku bertugas disini. Dahulu ada wabah penyakit yang menyerang anak-anak. Banyak anak kecil yang meninggal mendadak karena sakit misterius. Anak kecil dari bayi hingga awal remaja, meninggal tanpa sebab."

"Dalam satu minggu, bisa ada 2 hingga 4 orang yang meninggal. Bahkan, dalam satu hari pernah ada 3 orang yang meninggal sekaligus. Warga desa geger, tidak tahu kejadian apa yang terjadi di desa mereka.Petugas puskesmas juga gak tahu penyakitnya apa. Beberapa dirujuk ke rumah sakit di kota, tapi meninggal di dalam perjalanan. Tidak sedikit yang baru beberapa langkah dari gerbang desa, lansung meregang nyawa."

Pak Kasno memandang wajahku dengan tatapan datar. Asap rokok mengepul dari mulut dan hidungnya secara bergantian.

"Terus pak? tanyaku lagi ingin tahu.

"Hanya dalam beberapa bulan, ratusan anak kecil meninggal. Yang ngeri, bayi dalam kandungan juga meninggal. Banyak ibu yang keguguran. Yang melahirkan, usia bayinya hanya bertahan beberapa hari. Tidak sedikit ibu yang hamil atau melahirkan, juga turut jadi korban."

Aku duduk terpaku mendengar cerita pak Kasno. Membayangkan kematian massal di desa ini, membuat aku bergidik. Untung saja istriku sedang di belakang, jadi dia tidak tahu ada kejadian kelam di desa ini.

Pak Kasno bangkit dari duduknya, lalu menoleh ke jendela. Kepalanya celingak celinguk, lalu kembali lagi ke tempat duduknya.

"Kenapa pak?" tanyaku heran.

"Gak apa-apa. Takut ada yang nguping, kan ga enak. Nanti dikira kita menjelek-jelekan desa ini, kan bisa repot." kata pak Kasno tertawa. Aku hanya senyum-senyum saja, mengusir ketegangan.

"Kamu lihat kan, penduduk disini rata-rata udah tua. Tahu kenapa?"

"Gak tahu pak. Memang ada apa pak?" jawabku sambil menggeleng.

"Penduduknya banyak yang ngungsi. Kabur. Yang anaknya masih hidup, pergi terburu-buru meninggalkan kampung ini. Takut jadi korban."

Pak Kasno menghela nafasnya sejenak, menikmati tiap isapan rokoknya lalu kembali melanjutkan cerita.

"Kemudian pada suatu malam, banjir bandang menyapu desa ini. Banjir datang tiba-tiba, menghancurkan rumah-rumah penduduk. Banyak yang tewas seketika, sebagian besar para pemuda yang tengah berkumpul. Yang lainnya, meninggal beberapa hari kemudian."

"Setelah itu, desa ini jadi sepi. Sekolah juga sempat tutup, karena gak ada muridnya. Guru-guru banyak yang pindah. Pegawai puskesmas juga gak mau bertahan, apalagi beberapa orang rekannya turut jadi korban banjir."

"Kemudian, lima tahun lalu sekolah ini kembali dibuka atas permintaan kepala desa. Dan...beginilah nasibku sekarang, terdampar di desa terpencil, jauh dari keluarga."

Suasana hening seketika. Aku dan pak Kasno sama-sama memandang langit-langit rumah, memikirkan entah seperti apa nasib kami di desa ini kedepan.

Istriku telah selesai dengan kerjaannya. Setelah mengucapkan terima kasih, aku dan istriku lalu pamit. Masih ada beberapa hal yang harus kami bereskan di rumah dinas kami yang baru.

Senja berganti malam, tidak terdengar kumandang adzan magrib di desa ini.

***

Hari berubah jadi gelap, aku membantu pak Kasno menyalakan mesin genset yang terletak di samping rumah dinas. Karena dibuatkan ruang khusus, suara mesin yang berisik tidak terlalu terdengar.

Kuyang ( Sudah Terbit ) Where stories live. Discover now