Kilas#1: Sudut Pandang Anyelir

Начните с самого начала
                                    

Ya, Anyelir masih ingat apa yang ia lihat ketika bayi.

Saat ia beranjak TK, Anyelir pernah mengalami kejadian ganjil. Ia kemudian diberi tahu mudahnya: jin, layaknya manusia, juga memiliki sifat. Ada muslim baik yang taat, mereka tidak akan mengganggu manusia. Ada yang iseng. Ada yang jahat. Penjelasan yang cukup dimengerti anak kecil.

Bertahun kemudian, ketika ia kelas 4 SD, ada desas-desus soal penampakan seorang guru yang belum lama meninggal. Para bocah tak tahu diri itu sepakat uji nyali pada sore-malam hari. Perkataan mereka yang menyulut Anyelir adalah soal memanggil hantu.

"Kalau enggak ada, kita panggil aja pake jelangkung!"

Kalimat yang membuat Anyelir langsung melompat dan protes ke yang bersangkutan. "Jangan! Nanti yang kepanggil yang jahat!"

"Kenapa kamu ikutan?" Anak laki-laki itu memelotot. "Kalo takut, diam aja!"

"Aku enggak takut! Kamu yang bakal takut kalau lihat langsung!"

Anak itu tak terima. Ia mulai meledek Anyelir penakut, diikuti teman-temannya.

Bukan, bukan itu yang membuat Anyelir marah. Namun, ia terus menguping pembicaraan mereka, meski makin lama ia tak tahan.

"Kenapa? Kamu mau ajak si penakut itu? Jangan! Nanti kalau dia ngompol gimana?"

Siapa yang bakal ngompol? Anyelir mulai emosi.

"Coba aja, dia sok ngelarang gitu."

Anyelir tahu, salah satu dari mereka menoleh hendak memanggilnya. "Heh, penakut! Coba kamu--"

Ucapan itu terpotong. Anya menoleh heran, dan mendapati anak itu tertegun melihat ke arahnya. Ralat, ke sesuatu yang ada di belakang-atasnya. Muka anak itu ketakutan.

Anyelir baru sadar, kelas mendadak senyap. Bisa dikatakan, semuanya menoleh ke arahnya, atau arah yang sama seperti anak tadi.

Anyelir berbalik dan mendapati sosok hitam itu mewujud dengan jelas. Begitu nyata sampai semua orang bisa melihatnya.

Satu-dua jeritan terdengar, beberapa menangis, satu orang pingsan, dan satu orang yang berkata bahwa si penakut akan mengompol termakan omongan sendiri. Penampakan hitam besar itu dengan cepat menyebar ke satu sekolah, menimbulkan kepanikan hingga guru-guru, meski kepala sekolah tak percaya.

Namun, tampaknya, hal itu malah membuat beberapa orang makin semangat--juga makin ketakutan. Mereka masih membuat rencana. Besok sore, katanya. Tadi ada penampakan, berarti besok juga harus ada! Kalau enggak, kita panggil.

Itulah yang menyebabkan Anya melakukan kebodohan lainnya.

Ia tahu, di lantai tiga, memang ada penunggu yang sesungguhnya. Sosok yang hobi berganti rupa dan senang membuat kegemparan. Rumor soal penampakan guru yang sudah meninggal itu pun benar adanya. Ceritanya, seorang murid tertidur di kelas sampai jam pulang dan tinggal sendirian di lantai tiga. Saat bangun, ia ada di atas lemari. Tentu saja ia panik dan menjerit-jerit. Datanglah seorang guru yang menolongnya turun. Anak itu tak sadar sampai besoknya saat ia mencari guru itu, guru-guru lain menatapnya heran sekaligus sedih. Barulah ia ingat dan anak itu langsung histeris. Ia pindah sekolah tak lama kemudian.

Guru-guru mulai membicarakan keangkeran sekolah, layaknya para murid. Namun, mereka lebih memilih cara mudah: pergi secepatnya dari tempat sepi dan mencari keramaian. Sekolah pun ditutup di atas pukul lima sore. Makanya, anak-anak yang hendak uji nyali itu sepakat untuk sembunyi di dalam sekolah sampai kawasan kosong.

Masih ada sehari sebelum rencana dilakukan. Di sinilah Anyelir sekarang, lantai tiga yang sepi, berhadapan langsung dengan sosok gaib yang bergonta-ganti wajah seenaknya. Tiap melihatnya, Anyelir merasa ia hampir pingsan. Bukan hanya rasa takut yang aneh, melainkan juga energinya yang seperti terserap. Ia memohon pada sosok itu supaya menampakkan diri andai ada anak-anak uji nyali supaya mereka ketakutan dan tak membuat ritual aneh-aneh.

"Apa yang kamu janjikan untukku?"

Anya terhenyak. Ia harus sadar: bukan seharusnya ia meminta tolong pada jin. Ia hanya sanggup menggeleng.

"Dasar bocah bau kencur! Seenaknya minta, tapi tidak bisa memberi apa-apa? Kalau begitu, aku yang tentukan. Aku mau tubuhmu."

Anyelir mundur beberapa langkah. Ia memeluk dirinya sendiri. Salah. Ini salah. Ia melakukan kesalahan fatal. Bukankah ia tahu kalau jin suka berbohong? Bukankah ia tahu, percuma saja meminta kesepakatan?

Namun, ekspresi sosok itu berubah ketakutan tiba-tiba. Sesuatu di belakang Anyelir membuatnya mengkeret dan akhirnya menghilang. Bersamaan dengan itu, Anyelir merasakan kelegaan luar biasa, seolah atmosfer sejak tadi mengimpitnya.

Malam itu, Anyelir tak bisa tidur. Berkali-kali ia menatap sosok hitam yang hampir selalu ada di sisinya. Ada rasa tenang yang aneh tiap melihatnya. Tiba-tiba, udara menjadi dingin. Angin bertiup entah dari mana. Sekujur tubuh Anyelir menggigil.

"Aku sudah menampakkan diri dan mereka semua lari ketakutan, sesuai permintaanmu. Sekarang, aku ambil bagianku."

Tiba-tiba saja Anyelir sudah ada di balkon lantai tiga sekolahnya. Entah ini siang atau malam, suasananya begitu aneh. Yang lebih ganjil, Anyelir bisa merasakan semua indranya berfungsi. Rasa sakit ketika mencubit kulitnya sendiri. Anyelir berpikir, mungkin ia bisa turun dan jalan kaki ke rumah. Nihil. Tangga yang ia lihat tampak begitu abstrak, seperti lukisan yang dihancurkan. Ia tak bisa turun.

Ketakutan, Anyelir mulai berseru-seru meminta tolong. Apa mungkin ia dibawa ke sekolah, malam-malam saat hendak tidur tadi, lalu dijebak di dimensi lain? Ia berharap ini mimpi. Ia gigit tangannya sampai berdarah, rasa sakitnya nyata. Frustrasi, Anya mencoba memanjat pagar. Kalaupun ia mati di sini, ia berharap ada yang menemukan jasadnya.

Tiba-tiba ada yang menahan gerakannya. Ia melihat perempuan berparas ayu di belakangnya, menatapnya sedih sambil bergumam.

"Anyelir yang aku tahu bukanlah orang yang berpikiran pendek untuk menghabisi hidupnya. Ia adalah anak pemberani yang ingin menyelamatkan semua temannya."

Sosok itu berubah menjadi sosok hitam penjaganya tiba-tiba. Ia meraih Anyelir, menggendongnya, entahlah, lalu membawanya melompat ke ujung lorong.

Anyelir terbangun di kasurnya, bersimbah keringat, dengan orang tua dan kakeknya yang melantunkan zikir bernada sedih di sisinya. Ia tak sadarkan diri sepekan.

Pengalaman yang mengerikan. Anyelir tak mau melakukan hal bodoh lagi.

****

Namun, kali ini, bukan ia yang melakukannya. Itu Leana, tanpa tahu kalau ia melakukan kesalahan. Leana tak tahu apa-apa. Anyelir sangat ragu ada orang lain yang paham dan berniat membantu Leana.

Apa aku terlalu baik?

Anyelir tak bisa memikirkan kemungkinan lain. Sekian bulan dekat dengan Leana, ia menilai anak itu benar-benar polos. Ia hanya ingin uang. Ia ingin bisa melanjutkan sekolah tanpa tekanan orang tuanya.

Yah, tidak semua orang bisa merasakan, bukan?

Bukan hanya soal sosok yang mengikuti Leana sama persis dengan gambarnya, padahal Leana tak bisa melihat; soal pencarian Fuma juga terasa begitu ganjil. Mengapa hal-hal horor sering terjadi kebetulan? Mau sejauh apa pun ia pergi, teror itu akan terus mengikutinya.

Mengapa Leana mendapat tawaran dari Fuma tepat saat ia merasa terpuruk dan butuh pengalihan pikiran?

Mengapa vila yang ditemukan--dan sesuai dengan bujet mereka--harus bekas rumahnya Fuma?

Anyelir ... tak bisa membiarkan hal itu. Kejadian buruk mungkin akan menimpanya, tetapi, kalau ia tak ikut, mereka tetap akan tertimpa sesuatu. Dan Anyelir tahu, tak ada satu pun anak di angkatan mereka yang paham selain dirinya.

Anyelir ... harus menyelamatkan mereka, Leana terutama.

****
****
****
.
.
.
.
.
.
.
.
.
1662 words

Author note!

Kenapa saya bikin ekstra bab?

Karena saya mau //iya

Karena saya mau menggenapkan jumlah kata, ga enak euy ganjil begitu. Mungkin ada satu lagi sebelum MWM berakhir, who knows?

Semoga cerita ini bisa direvisi kapan-kapan.

JKT, 22/5/21
AL. TARE

The WIPМесто, где живут истории. Откройте их для себя