4 - Ibu Tuti

393 61 3
                                    

"Bukan genderuwo, tapi buto ijo." Bisik Beni pada Dira.

Abdie melotot mendengar percakapan yang masih bisa terdengar itu. "Mana ada buto ijo cakep begini." Bergaya sombong, Abdie menegakkan badannya. Dira dan Beni langsung saling berbisik lagi, "narsis emang dia dari dulu. Malu kadang saya jadi temennya." Kata Beni.

"Jangan kebanyakan bercanda. Dira, tolong pesankan saya makan malam. Saya lapar. OB semua udah pada pulang." Perintah Abdie lengkap dengan raut wajah tidak bersahabat dan kening yang mengkerut dalam seperti kolam. Entah sedang terlalu banyak berpikir atau mood Abdie yang sedang jelek.

Dira menahan tawa karena perkataan Beni tadi. Dengan susah payah Dira menormalkan suaranya sebelum membalas perkataan Abdie. "Kalau gitu saya pesen nasi goreng aja, supaya cepet." Dira sudah mengangkat handphonenya, tapi kemudian berhenti karena interupsi Abdie. "Jangan nasi goreng. Yang lain."

"Oh kalau gitu....." Dira mengscroll handphonenya. Maklum atasannya itu masih muda, tapi agak gaptek kalau urusan pesan makanan lewat aplikasi. "Bento?. Mau?."

"Jangan juga. Saya lagi gak mau makan makanan Jepang."

Dira menghela nafasnya. "Oke, gini deh Pak Abdie maunya makan apa?." Dira bertanya dengan sabar dan terasa sangat sopan.

Abdie yang betah berdiri di ambang pintu mengangkat bahunya cepat. "Ya gak tau, terserah aja."

Biasanya perempuan yang menjawab terserah saat laki-laki menanyakan mau makan dimana atau makan apa, tapi ini malah kebalikannya. Dira jadi beristigfar dalam hati karena dulu waktu berpacaran Dira sering menggunakan kata ajaib itu. Ternyata tidak enak saat mendapatkan jawaban seperti itu.

Emosi yang tertahan di kepala Dira akibat kelabilan atasannya itu membuat nafasnya keluar dengan besar dan terdengar oleh Beni yang malah ingin tertawa. Bukan prihatin atau kasihan sedikitpun terhadap gebetannya, batin Dira. "Gak ada makanan yang namanya terserah, Pak." Beberapa kali Dira mengambil nafasnya dalam-dalam. Aplikasi yang sedang dibukanya kembali di scroll. "Nasi goreng, gak mau. Nasi bento juga gak mau. Bakmie mau?." Cicilan mobil kembali mengingatkan Dira untuk tetap tenang dan sabar walaupun hari itu sudah hampir 12 jam Dira bekerja. Kepalannya serasa mau meledak.

"Em..." Abdie berpikir dan perasaan Dira langsung tidak enak. "Enggak ah. Lagi gak pengen makan mie. Yang lain lagi coba." Jawaban yang keluar dari mulut Abdie sangat datar dan tidak memiliki perasaan tidak enak sama sekali.

Bodo amat urusan cicilan mobil. Toh ini bukan jam kerja.

Akhirnya emosi akan kembali mengalahkan akal sehat Dira untuk kedua kalinya di hari yang sama, tapi saat sedetik lagi emosi Dira akan meluap ternyata semesta tidak mendukung. Beni buka suara lebih dulu sebelum Dira meluapkan lahar panasnya. "Kebiasaan, rewel banget kalau si Kaila lagi di luar kota. Udahlah makan apa aja yang Dira pesen. Kalau lo gak mau, nanti biar gue yang makan. Paling lo kelaparan."

Fix, Beni adalah malaikat yang diutus untuk aku yang rapuh dan tertindas.

"Pesenin aja Dira. Gimana kamu. Muter-muter makanan di semua aplikasi ojol itu juga gak akan dia iyain kalau dia lagi gitu." Sambung Beni dengan santai.

Mata Dira melirik takut kepada Abdie yang masih memasang wajah datar, tapi sesungguhnya Dira tau di balik itu dua tanduk di kepala Abdie sudah tumbuh. "Sok hero." Umpat Abdie sambil berlalu pergi, masuk kembali kedalam ruangannya.

"Berani banget." Bisik Dira sambil tertawa-tawa.

"Abdie itu aslinya kalau udah deket gak segalak dan gak senyeremin tampangnya. Dia kayak gitu tuh karena orangnya kaku aja. Makanya sama Kaila dia baik banget. Apa-apa maunya Kaila pasti diturutin, kayak tuan putri. Ya tapi emang anak sultan juga sih si Kaila, udah biasa diturutin apa yang jadi maunya dia." Jelas Beni yang baru diketahui dan akhirnya membuat Dira mengerti.

Dira dan RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang