P R O L O G

137 21 2
                                    

SEWAKTU TINGGIKU masih sepinggang orang dewasa, aku sering kali diam-diam melarikan diri dari rumah, bersama anak tetanggaku yang setahun lebih tua dariku; Mahen. Kami menelusupkan badan di antara koper-koper yang dibawa mobil barang, menuju sisi barat Kota Bataviazarts yang dipenuhi lalu lalang kendaraan terbang melintas pada jalur khusus yang diatur polisi langit. Aku tidak mengerti bagaimana aturan lalu lintas langit dan bagaimana mereka bisa terbang dengan tertib. Itu sesuatu yang selalu kupertanyakan hingga aku masuk SMP dan mendapat penjelasan langsung dari polisi langit yang sedang mensosialisasikan lalu lintas udara.

Mahen mengajakku melompat begitu mobil barang akan melalui lintasan vertikal yang memiliki perubahan jalur sembilan puluh derajat. Selain karena takut aku tiba-tiba muntah, kami memang selalu melompat pada jarak seratus meter sebelum tanjakan. Setiap kali melompat dari mobil barang yang bergerak cepat, aku merasakan sensasi terbang yang tidak nyaman; seakan perutku mengerut lalu tertiup angin kencang dan berakhir kram selama sepersekian detik.

Kupikir hanya sampai di situ, tetapi rimbunan semak lebat dan kakiku yang tak mendarat sempurna terkadang malah membuatku bisa lari terpincang-pincang setelah terpeleset dan terbentur dahan runcing. Tetapi rasa sakit itu akan hilang begitu kami tiba di tanah lapang pinggir kota yang belum dikembangkan menjadi gedung atau semacamnya. Teriakan, makian, dan kokok ayam yang diadu berdengung di kepalaku bagai seruan ibu yang memintaku meminum susu cokelat. Aku senang bukan main ketika ayam koci jagoanku berhasil mendorong si hitam ayam kedu ke pinggir lapangan tanding.

Sorak sorai dari pendukung ayam koci--termasuk aku--lantas memecah angin hingga membuat suporter lawan geleng-geleng kesal kepanasan, tak terkecuali Mahen. Meskipun begitu, dia tak pernah membenciku meski kami berada di tim pendukung yang berbeda yang berbeda, karena terkadang ayam koci jagoanku juga kalah. Kami biasanya menonton adu ayam setiap hari sabtu pukul empat sore.

"Hei! Bangun pecundang!"

Pemilik ayam kedu bersungut marah pada ayam tua yang jenggernya sudah sobek itu. Aku agak kasihan ketika ayam itu dipukul beberapa kali supaya mau berdiri lagi. Untungnya itu tak berlangsung lama karena entah dari mana, muncul buldoser yang tiba-tiba menggerakkan mulut sekopnya secara asal, seakan mengusir kami semua dari peraduan ayam ilegal itu. Bersamaan dengan datangnya kamera-kamera berbentuk mata terbang yang digerakkan dari jarak jauh, bermacam-macam corak sesuai stasiun televisi wartawan yang mengendalikannya. Mahen dan aku langsung pulang meninggalkan kekacauan itu, takut-takut ibu kami menonton berita dan melihat kami muncul di televisi sebagai bocah-bocah badung kurang kerjaan yang masih saja melakukan aktivitas kuno ketika anak seusia kami login ke dalam game VR yang membuat kesadaran kami seolah bisa bergerak dalam dunia game. Ya, kami juga main, sih. Masalahnya, game VR kami terbatas, hanya untuk warga Negara Bagian Javanica. Tentu saja game itu sepi. Kami tak bisa main dengan anak-anak Borneozora, Celebesis, atau negara bagian lain.

"Kak Mahen, minggu depan kita akan ke sana lagi apa enggak ya?"

Mahen membatalkan niat membuka pintu pagar rumahnya dan menatapku dengan alisnya yang naik tinggi-tinggi sampai kukira dahinya bakal sobek. "Kurang tahu, Ren. Kata temanku areanya mau dibangun mal." Mahen menghela napas lesu. "Kamu lihat sendiri kan tadi? Pekerja konstruksi udah mulai bersih-bersih."

Aku tak bodoh untuk mengerti maksud Mahen. Hari ini mungkin adalah hari terakhirku menyaksikan si koci menghajar kedu habis-habisan. Memang tidak normal masih melihat adu ayam masih ada di tahun 2192. Yang lebih tidak normal lagi, ayamnya hasil rekayasa genetik ilmuwan yang dibeli dengan harga fantastis. Aku menghela napas dan pulang dengan langkah lemas. Tak lagi bisa menyaksikan sisa-sisa peradaban masa lalu secara langsung hanya karena sebuah bangunan aneh yang punya banyak toko di dalamnya akan meratakan tempat wisata favoritku.

Sensus PendudukWhere stories live. Discover now