63

1.2K 109 108
                                        

Zean menunduk, membiarkan keran di wastafel toilet di depannya mengalir begitu saja.

Bego, batinnya.

Kenapa gue nangis coba? lanjutnya sembari mengusap sisa-sisa air mata.

Kenapa gue nangis cuma gara-gara hal sepele kaya gitu? Kenapa gue malah nggak terima kalo Elang jadiin gue taruhan? Padahal gue juga nerima dia cuma buat menuhin syarat dari Dipta, kan?

Tapi gue nggak tau, kenapa hati gue sakit banget? Kenapa gue nggak bisa maafin dia? Tapi kenapa di sisi lain, gue nggak mau hubungan gue sama dia berakhir gitu aja?

Arrrgh, bangsat! Gue kenapa?!

Lagi dan lagi, entah mengapa air matanya berdesakan ingin keluar. Matanya terpejam, ia menggigit bibir bawahnya pelan.

Zean berusaha menenangkan pikirannya. Setelah dirasa cukup tenang, ia membuka mata. Zean yang merasa seperti diperhatikan, mendongak menatap pantulan kaca. Benar saja, tanpa ia sadari, dua siswi di sebelahnya diam-diam menatapnya. Ia tak menggubris, Zean mematikan keran air lalu melangkah pergi.


"Gue yakin, rumor kalo dia diputusin Elang emang bener," kekeh salah satu dari mereka setelah Zean berada di ambang pintu.

"Sst, jangan keras-keras ntar dia denger."

"Bodo am--"

Ehemm

Deheman Zean seketika membuat mereka diam. Ia berdecih mereka membuatnya jengkel, beraninya cuma di belakang!

______

Angin sepoi ditambah cuaca yang sedikit mendung membuat Elang tenggelam dalam lamunannya. Setelah Zean meninggalkannya, ia kembali ke rooftop. Baru kali ini ia merasakan sesuatu yang tak bisa ia jabarkan. Intinya, seperti ada sesuatu yang mengikat paru-parunya hingga napasnya terasa berat. Rasanya hari-harinya tak berisi, tak seperti biasanya. Candaan teman-temannya tak mampu untuk menerbitkan senyuman seperti biasanya.

"Ahh, pusing gue," kata seseorang yang baru saja keluar dari pintu rooftop.

Lamunan Elang terbuyar dengan suara yang familiar. Suara yang hampir setiap hari selalu menganggunya. Elang menoleh, lalu berdecih. Vana, gadis itu selalu saja muncul di hadapannya. Tapi, entah mengapa akhir-akhir ini gadis itu sudah tak lagi menempelinya. Vana hanya sekadar menyapa saat berpapasan dengannya, tentu saja dengan raut centilnya. Tapi entah mengapa sekarang Vana tak seagresif dulu.

Vana mendongak, raut wajahnya berubah hangat saat matanya bertemu dengan mata Elang. "Hai."

"Gue lagi nggak mood," sahutnya tanpa menatap Vana.

Vana menaikkan satu alisnya bingung, lalu tertawa, "Gue nggak mau ganggu lo. Silakan kalo lo lagi mau sendiri. Gue bisa cari tempat lain."

Jawaban Vana membuatnya menoleh. Tak biasanya Vana bersikap acuh seperti itu. Saat melihatnya sendiri, Vana akan menggunakan waktu itu untuk menganggunya.

"Tunggu," kata Elang yang membuat Vana mengurungkan niat untuk pergi.

"Lo tau kan, kalau gue putus sama Zeandra?"

Baru pertama kali ini Elang membuka obrolan dengannya. Biasanya Elang hanya menjawab, dan dirinya yang selalu membuka topik obrolan. Vana tersenyum miring, ia tau pasti Elang mencurigainya.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Mar 10, 2022 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

ZeandraWhere stories live. Discover now