32. I n k u b a t o r

Start from the beginning
                                    

"Iya, Zel. Mobil gue juga nganggur. Lo keras banget malah beli motor tiba-tiba." Arin menimpali. Memang benar, minggu lalu Zelina memutuskan membeli sebuah unit sepeda motor untuk memudahkan transportasinya. Ia tidak mungkin selamanya bergantung pada taksi online. Selain itu, rumah Ali juga tidak dilewati bis atau angkutan umum--tipe perumahan elit.

Zelina hanya menaikkan bahu seraya memakai helm-nya. Ia sudah pernah menjelaskan jawabannya minggu lalu bahwa ia malas berduel dengan kemacetan di jalur kendaraan beroda empat. Lagi pula, meskipun dulu sempat tidak memiliki kendaraan, ia tetap membuat SIM A dan C.

*****

Zelina mengusap peluh yang bercucuran di wajah. Cuaca menjelang sore ini lumayan terik, tapi nanti malam pasti hujan. Aneh sekali bulan Desember ini. Panasnya minta ampun saat siang dan dingin lembab pada malam. Zelina lebih menyukai cuaca mendung atau berawan. Setidaknya, ia tidak kepanasan oleh cahaya matahari langsung.

Tapi, sekarang?

Suhu kota yang memang alami lebih panas dari kota tempat Zelina tinggal terasa sedikit membakar. Sunblock sudah menjadi teman setia yang selalu berada di sakunya dua minggu terakhir, menemani ia berkeliling dari satu perusahaan ke perusahaan lain.

Sedikit lagi. Ia hanya perlu memeriksa gudang terakhir hari ini dan ia akan selesai. Barulah nanti di rumah ia akan mulai membuat berbagai penyesuaian dan memeriksa akun lainnya.

Dua jam tidak terasa berlalu. Zelina melihat bagaimana para pegawai berganti, berlalu lalang. Shift selanjutnya akan dimulai dari pukul 5 sore dan langit sudah mulai gelap serta mendung. Setelah tadi berpamitan dengan pihak pabrik, ia pun memastikan bahwa laptop dan kertas-kertas catatannya aman di bagasi motor yang dilapisi dengan tas anti air.

Lantas, Zelina melajukan motornya untuk pulang. Jarak pabrik dan rumahnya lumayan jauh. Sekitar satu jam dengan motor, itu pun kalau tidak macet. Bayangkan jika ia harus menaiki mobil di tengah kemacetan sore hari. Bisa-bisa molor sampai 3 jam waktunya habis dipakai menggerutu.

Baru sekitar 20 menit Zelina melajukan motornya, tetesan air mulai berjatuhan, mengeroyoki bumi. Zelina menepi sebentar untuk memakai jas hujan tipe jubah, bukan setelan. Setelah memastikan bahwa semua barangnya aman, ia kembali mengendarai motor, menembus kepadatan jalan raya dan air hujan yang lumayan deras. Angin kuat beberapa kali membuatnya bergidik kedinginan, tetapi ia tidak peduli. Ia ingin cepat-cepat pulang.

Tangannya yang memegang setir sudah basah dan kebas karena mengemudi tanpa henti sekitar setengah jam. Langit sudah gelap sekali, pertanda malam datang. Setidaknya, 20 menit lagi ia bisa sampai di rumah. Namun, baru saja Zelina berhasil berbelok dari perempatan padat ke jalan sepi, ia melihat sebuah mobil yang ia kenali berdiam diri di sisi kiri jalan.

Aneh sekali, pintunya terbuka sedikit. Tidakkah ia takut jika air hujan membasahi bagian dalam mobilnya? Atau mungkin mobil itu habis dicuri?! Ya ampun....

Mungkin karena kedinginan, Zelina jadi agak tidak waras dan melupakan tujuan utamanya untuk pulang ke rumah. Ia pun memelankan laju motornya dan berhenti tepat di samping kanan pintu terbuka tersebut. "Hei! Ada orang?!" teriaknya, menembus suara berisik air hujan.

Damian yang sedang bersandar di kursinya terperanjat. Mata lelahnya mengerjap kaget ketika ia melihat pengemudi motor tersebut menaikkan kaca helmnya sedikit. Zelina! Dia baru tahu kalau Zelina bisa mengendarai motor sekarang.

"Tutup pintu lo! Hujan!"

Damian nyengir. Separuh baju dan celananya memang sudah terciprat air hujan sejak tadi, tapi ia tidak punya pilihan lain. "Tidak bisa! Aki mobil saya habis!"

Mobilnya mogok karena kehabisan aki. Jangankan menyalakan mobil, menyalakan AC pun sudah tidak bisa. Itu kenapa Damian membuka pintu mobilnya sedikit untuk menjaga sirkulasi udara.

"Pesen taksi online!"

"Baterai ponsel saya juga habis!"

"Power bank?" Zelina bertanya dengan jeli. Damian menggelengkan kepalanya dan meringis. "Saya tinggal di rumah sakit."

Zelina mendengus dan terdiam sebentar, menimbang-nimbang sebelum akhirnya ia mengusap wajahnya yang kecipratan air. "Rumah lo jauh dari sini?"

"15 menit lagi."

"Ayo, naik!"

"Eh--Saya tidak punya helm dan jas hujan."

Zelina menepuk dahi frustrasi dengan tangannya yang basah. Yah, sekalian sajalah semuanya basah. Toh, hujan juga belum puas mengeroyoki tubuhnya yang hanya dilindungi jas hujan ponco. Celananya juga sudah basah sekarang. Lain kali, Zelina akan membeli jas hujan setelan.

Masalah utamanya sekarang adalah ... entah sengaja atau tidak, kepolosan Damian benar-benar terasa menyebalkan saat ini. "Kalau gitu gue tinggal, ya?"

"Jangan!" Damian refleks berseru. Telinganya memerah malu. "M-maksud saya.... Maks--"

"Buruan naik! Kunci mobil lo! Hujannya gak akan reda dalam waktu dekat!" Zelina menyibakkan jas hujan di bagian punggungnya, memperbolehkan Damian --yang semoga saja cukup-- bersembuyi di sana.

Oh, here we go..

*****

Basah.

Hampir semua basah.

Punggu, celana, dan sepatu Damian basah. Hanya kepala dan bagian depannya saja yang aman. Zelina juga tidak kalah mengenaskan. Wajah, kerah depan, celana, dan sepatunya pun ikut basah terkena cipratan hujan.

Motornya memasuki halaman depan rumah keluarga Damian yang megah, jauh lebih megah daripada rumah Ali. Ketika Zelina parkir di depan teras rumah yang dinaungi atap, Damian hampir saja lupa turun karena terlalu asik menikmati harum tubuh Zelina di balik jas hujan. Ia masih manusia biasa yang bisa khilaf.

"Damian, udah sampe!" Zelina menaikkan kaca helm-nya.

Seruan Zelina memecahkan kesenangannya. Damian pun terperanjat dan turun dari motor. Jas hujan tadi hanya mampu menutupi kepala sampai punggung bagian atas Damian karena dia lebih tinggi daripada Zelina.

"Terima kasih atas tumpangannya."

"Gue balik dulu!"

"Jangan!"

Refleks Damian yang kedua hari ini. Wajahnya memerah sekarang. "Masuk dulu.."

"Eh-gak usah. Udah malem--"

"Karena itu!" Damian menelan ludah. "Ini sudah malam dan masih hujan besar, Zelina. Kamu basah kuyup sama seperti saya. Lihat! Bibir kamu gemetar kedinginan, tangan kamu sudah pias dan keriput. Tidak mungkin saya membiarkan kamu pergi sekarang. Rumah dokter Ali 30 menit dari sini."

"Eh?" Zelina tidak menyadari sama sekali bibirnya yang gemetar. Ia menatap kaca spionnya dan menghela napas berat. Jari-jarinya kebas. Damian benar. Rumah Damian dan Ali memang berlawanan arah dari persimpangan tadi. Zelina menantang maut jika berusaha menembus hujan besar ini sekali lagi. Gemuruh dan petir pun mulai bersahutan sejak tadi.

"Ayo, masuk ke dalam. Kamu tidak mungkin menembus hujan sekarang. Bahaya."

Yah, apa boleh buat? Ia masih mau hidup.

"Oke, gue mampir."

*****

Acieeeeee. Mengunjungi rumah Damian.

28 Maret 2021

ZelianWhere stories live. Discover now