15. E k u i t a s

31K 3.6K 35
                                    

Hilangin dia dari pikiran lo, Zelina!

Sedari tadi, Zelina mencoba untuk tidur, tapi tidak membuahkan hasil sama sekali. Pikirannya dipenuhi dengan apa yang terjadi tadi sore di rumah sakit.

Zelina memeluk Damian.

Berkali-kali Zelina ingatkan dirinya sendiri bahwa itu hanyalah sebatas rasa iba. Namun, ia tidak dapat berbohong mengenai betapa nyamannya pelukan Damian. Zelina masih bisa membayangkan rasanya ketika lengan Damian yang besar dan sedikit berotot melingkar di tubuhnya dengan pas dan sopan. Tidak terlalu bawah hingga menyentuh bokongnya dan tidak terlalu atas hingga menyentuh bagian sisi dari buah dadanya.

Otak Zelina kuat-kuat menolak perasaan yang timbul di perutnya. Aneh, rasanya Zelina ingin roll depan tiba-tiba. Namun, ia terlalu malas dibalik selimutnya.

Buru-buru Zelina maki dirinya sendiri agar mengingat bahwa ia tidak akan pernah jatuh ke pelukan laki-laki mana pun. Ia tidak akan menikah. Ia tidak akan memiliki hubungan romantis. Lelaki itu semua saja.

Apa yang terjadi sama gue?

****

"Kenapa, lo? Ngelamun mulu kerjaannya. Tuh, sheet excel gak akan beres dengan sendirinya."

Arin menatap Zelina heran. Belakangan ini Zelina sering sekali melamun. Apakah ini karena Nina akan menikah seminggu lagi? Yang jelas, Zelina seolah tidak fokus pada pekerjaannya dan itu membuat Arin kesal.

Beban pikiran Arin sudah banyak. Mulai dari jenis kelamin anaknya yang masih malu-malu meskipun kehamilan Arin sudah menginjak 25 minggu, pekerjaan yang belum selesai, belum lagi masalah lain yang Arin pikirkan saat ini. Rasanya Arin ingin meledak.

Tak kunjung mendapat respon dari Zelina, Arin pun melempar sebuah pulpen ke kepalanya. Zelina langsung saja menatap Arin tajam sambil meringis. "Apaan, sih, lo?! Sakit, tau!"

"Dari tadi gue panggilin lagian.... Ngelamun mulu. Gak takut kesambet setan, lo?"

"Iya, setannya lo. Sakit banget, nih, kepala gue kesambet pulpen." Zelina cemberut sembari mengusap pinggir dahinya yang tadi terkena pulpen. "Sukurin! Mulut lo jahat banget manggil gue setan. Mana ada setan kayak malaikat gini."

"Malaikat pencabut nyawa?" sahut Arya yang dihadiahi pelototan oleh Arin. "Mau gue cabut insentif lo, hah?!"

"Eh, ampun, Nyi Ratu. Jangan potong, gue harus bayar cicilan apartemen."

"Bodo amat! Zel, ayo temenin gue keluar!"

Zelina terkejut ketika Arin menyeret tangannya ke luar ruangan. Untung saja Zelina masih sempat mengambil tasnya. Arin jika sudah kesal seperti ini jarang berpikir rasional. Pernah sekali Arin menyeretnya ke food court sebuah mall tanpa membawa uang sepeser pun. Arin makan banyak sekali. Bisa dibayangkan bagaimana kalang kabutnya Zelina di hari itu. Dia sampai harus meminjam ponsel pegawai restoran untuk menelepon Rafa supaya datang.

Kenapa tiba-tiba Arin yang jadi lebih sensitif belakangan ini? Apa karena ada masalah dengan Rafa? Zelina tidak banyak bertanya karena dia tidak mau kena semprot Arin.

She can be very irritating.

Tak lama, Arin sudah membawa Zelina ke sebuah kafe yang tenang. Mereka duduk di pojok ruangan yang dapat menyediakan privasi bagi mereka berdua. Arin pun menghela napas sambil memijit keningnya. Sebagai ketua tim, ia sudah sangat tidak profesional karena keluar sebelum jam istirahat. Namun, ada hal penting yang harus Arin bicarakan dengan Zelina.

"Lo kenapa, Rin?" tanya Zelina yang terlihat gugup. Dia merasa posisinya serba salah di sini. Satu saja kesalahan bisa membuat Arin meledak kapan saja. Zelina tidak mau mengetes keberuntungannya hari ini.

ZelianWhere stories live. Discover now