10. K a i n K a s s a

35.3K 4.2K 48
                                    

Sedikit rekap mengenai bab sebelumnya.

Zelina terjatuh hari Jumat, dioperasi hari Sabtu, dijenguk Arin di hari Minggu dan diperbolehkan pulang hari Senin siang. Dia akan kembali bekerja di hari Senin minggu depan.

*****

"Jadi, sudah berapa lama kalian saling mengenal? "

Sekarang sudah 3 hari semenjak dia keluar dari rumah sakit. Nina dan Zelina belum banyak berbicara mengenai hubungan Nina dan Dokter Ali. Namun, malam ini berbeda karena dokter Ali sendiri datang menjenguk Zelina.

Di sinilah mereka sekarang. Di ruang tamu rumahnya, di mana Zelina bertingkah layaknya detektif yang sedang mengintrogasi tersangka-tersangka kriminal. Dia sangat menghormati orang tua, tetapi ada kalanya dia bertingkah sedikit kurang ajar untuk melindungi orang-orang yang ia sayang.

"Sudah lama sekali. Sejak kami berada di bangku perkuliahan tepatnya," jawab Ali jujur. Fakta itu sangat mengejutkan bagi Zelina. Mulutnya membentuk huruf 'o' karena dia sempat kehilangan kata-kata. Bagaimana bisa Nina mengenal pria selama itu tanpa pernah bercerita apa pun kepada Zelina?

Zelina pun mencoba untuk tetap fokus dan menatap Ali dan Nina tajam. "Apa hubungan kalian berdua sekarang? Apa kalian berdua sering bertemu tanpa saya ketahui?"

Nina yang merasa ini sudah keterlaluan pun mendengus. "Zelin, cukup! Kamu udah gak sopan. Ceritanya pun terlalu panjang untuk didengar."

"Nggak, Ma! Zelin perlu tahu. Ini sangat berpengaruh pada keluarga kita. Zelin punya banyak waktu luang sekarang. Jadi, kalian bisa mulai bercerita," balas Zelina keras kepala. Ali yang mendeteksi akan adanya perdebatan antara anak dan ibu pun segera melerai. "Sudah. Tidak apa-apa, Nina. Anakmu perlu tahu supaya semuanya jelas. Kita tidak bisa sembunyi-sembunyi selamanya."

Zelina menaikkan sebelah alisnya saat mendengar respon Ali. Were they seriously just having an affair all this time? Behind her? Zelina menjadi sedikit emosi pada Nina yang menyimpan rahasia seperti ini.

Ali menarik napas panjang sebelum ia mulai bercerita, "Saya bertemu Nina saat kami berkuliah. Seperti yang kamu tahu, mamamu mengambil program Teknik Mesin dan saya Kedokteran. Kami mengenal satu sama lain dari pelatihan lomba sains dan matematika.

"Dari sana, kami mulai dekat. Muncul ketertarikan, rasa suka..., rasa cinta. Hampir setiap hari kami mengandalkan ekspedisi kampus untuk saling surat menyurat. Tak lama, kami pun menjadi sepasang kekasih."

Zelina bisa melihat bagaimana Ali tersenyum lembut sambil bernostalgia dengan ingatannya sementara pipi Nina memerah layaknya anak remaja yang baru merasakan cinta. Nina tidak pernah terlihat sekasmaran itu saat bersama papanya dulu.

"Saya yang setahun lebih tua dari Nina lulus pendidikan terlebih dahulu dan melanjutkan co-ass di rumah sakit yang agak jauh dari kampus. Waktu itu hubungan kami sedang kuat-kuatnya. Bahkan, saya sempat berencana akan melamar Nina ketika ia lulus, lalu menikah saat saya sudah mendapat izin praktik kedokteran."

Senyum yang berada di wajah Nina perlahan memudar. "Tapi, Ali tiba-tiba mendapat tawaran beasiswa pendidikan spesialis di luar provinsi saat masa co-ass," lanjut Nina yang menjadi murung.

"Zaman kami tidak secanggih sekarang. Tidak ada video call atau interface canggih lainnya. Kami sama-sama anak rantau yang jauh dari rumah dan hanya mengandal wartel untuk berkomunikasi. Jumlahnya pun masih sedikit. Ponsel jadul adalah sebuah kemewahan yang tidak dapat kami rasakan dulu. "Ali menambahkan.

"Mama ingat. Waktu itu tahun 1989. Mama baru saja berusia 23 tahun saat Ali pergi meninggalkan Mama untuk melanjutkan pendidikan spesialisnya. Dari sana, Mama tidak pernah mendapat kabar apa pun dan memutuskan pulang ke rumah orang tua Mama untuk bekerja di salah satu pabrik di dekat desa.

"Di sana, Mama bertemu Adi, papamu. Dia memang supel dan sering sekali berkunjung ke rumah orang tua Mama hingga akhirnya, kami didesak untuk menikah karena takut terjadi fitnah. Karena tidak kunjung mendapat kabar dari Ali, Mama pun terpaksa setuju." Nina tersenyum getir and menghembuskan napas lelah. Ali mengusap punggung Nina dengan lembut, sorot matanya memancarkan penyesalan yang amat mendalam.

"Maaf, " bisiknya yang dibalas gelengan kepala oleh Nina.

"Pertengahan tahun 1990, Mama menikah dengan Papamu. Mama mulai bisa menerima takdir dan mencoba bahagia. Tahun 1991 akhir, kamu lahir ke dunia. Percaya sama Mama, Zelin. Kalau ada sesuatu yang Mama tidak pernah sesali dari keputusan itu adalah kehadiran kamu. Mama memiliki malaikat kecil yang menjadi penyemangat hidup Mama. Yang mengajari banyak hal yang bahkan kamu sendiri pun belum mengerti. Kamu anugerah terindah dalam hidup Mama. Bahkan, ketika dulu orang tua Mama meninggal, cuma kamu yang bisa buat Mama bahagia lagi." Nina tersenyum pada Zelina yang matanya mulai memerah, membendung air mata.

"Mama.... " lirih Zelina.

Kemana saja ia selama ini? Mengapa ia baru melihat sisi rapuh wanita kuat itu sekarang? Selama ini Nina tidak sepenuhnya bahagia dengan papanya. Hati Zelina sangat teriris rasanya.

"Tahun 1996, saya kembali. Keadaan saya sudah mapan dan saya berniat melamar Nina. Tetapi, harapan saya pupus ketika melihat dia sudah bahagia dengan seorang suami dan putri kecilnya. Saya terlambat. Sangat terlambat. Saya lelaki brengsek dan saya mundur dengan penyesalan yang tidak dapat saya hilangkan. Setiap hari saya berharap waktu dapat berputar mundur supaya saya dapat memperbaiki kesalahan saya yang sudah meninggalkan Nina tanpa kabar.

"Lambat laun, saya mulai ikhlas karena saya tidak mau merusak kebahagiaan Nina. Bertahun-tahun berlalu, saya tidak pernah berpikir untuk mencari pengganti Nina. Saya memfokuskan diri saya untuk mengabdi kepada masyarakat sebagai dokter hingga suatu saat, kami menemukan satu sama lain kembali. Tepatnya, di media sosial grup alumni kampus kami dulu. Tadinya, saya hanya ingin sekadar menanyakan kabar Nina. Tapi, semua malah berlanjut hingga sekarang." Ali tersenyum simpul ketika ia selesai bercerita.

"Kamu tidak perlu khawatir. Mama dulu tetap setia pada papamu sampai kami berpisah. Mama dan Ali baru mulai berbicara lagi tiga bulan yang lalu. Pesta peresmian gedung itu pertama kalinya kami bertemu secara langsung. Maaf, Mama sudah memaksa ikut. Padahal, kamu pasti malu sekali didampingi Mama di saat yang lain sudah didampingi pasangannya," tambah Nina, membuat semuanya masuk akal sekarang.

Kepala Zelina tiba-tiba pusing lagi. Efek gegar otak ringan itu masih ia rasakan sampai sekarang. Zelina pun meringis pelan sambil memegangi keningnya. "Kepala kamu sakit lagi, Zel?" tanya Nina khawatir sambil beralih untuk duduk di samping Zelina.

"Gak apa-apa, Ma. Cuma pusing sedikit. Mama jangan khawatir. Zelin cuma butuh istirahat. Mama baik-baik di sini sama Dokter Ali. Zelin ke kamar dulu." Zelina pun bangkit dan berjalan sedikit pincang ke kamarnya. Kaki kanannya yang terkilir perlahan-lahan sembuh.

Nina tidak tahu jika ia harus bernapas lega atau menahannya karena rasa khawatir akan Zelina. Namun, di satu sisi, respon Zelina terhadap penjelasan mereka cukup positif dan ia tidak memberontak sama sekali. Ia pun memijit batang hidungnya sebelum menatap Ali.

"Ali, kamu dokter dan aku orang awam tentang masalah cedera. Apa Zelin akan baik-baik saja? Apa dia butuh obatnya? Apa dokter Damian salah diagnosis tentang kepala Zelina? Aku gak mau anakku kesakitan."

"Zelina hanya shock mendengar penjelasan kita berdua dan otaknya butuh waktu untuk memproses informasi yang baru dia dapat. Gegar otak ringan memang membuatnya lebih cepat pusing ketika berpikir terlalu berat. Kamu tidak perlu khawatir, aku mempercayai Damian. Zelina akan baik-baik saja. Damian adalah orang yang dapat diandalkan."

****

History emaknya Zelina terungkap. Wow.

16 Februari 2021.

ZelianWhere stories live. Discover now