Wisnu dan Devi menolak bahkan mempersiapkan kursi roda untuk Tinus namun Tinus bersikeras, ujarnya
"Devi harus diantar ke altar oleh seorang ayah sebagai pengantin dengan cara yang indah dan berkesan!" Maka akhirnya Wisnu kini berdiri di samping Devi.
Dia tersenyum hangat, menekuk siku lengannya dan memandang Devi kemudian bertanya
"Apa kau sudah siap, sayang?"

Devi tersenyum kecil, memandang pada pria yang tetap gagah dengan sebagian uban yang menghiasi rambutnya.
Cintanya pada pria ini kini tumbuh menjadi cinta seorang anak pada ayahnya.
Tak disangka jika kisah cintanya berujung bahagia seindah ini. Devi perlahan menganggukkan kepalanya sembari menyelipkan jarinya ke lengan Wisnu.

Mereka berjalan perlahan ke altar. Devi menatap ke depan, pada pria muda yang nampak tampan dengan setelan tuxedo. Pria muda itu tersenyum lebar dengan raut muka yang menyembunyikan rasa gugupnya yang luar biasa. Devi berjalan anggun layaknya seorang putri, hatinya penuh kebahagiaan karena kini Tuhan memberikan pasangan sekaligus keluarga yang hangat.

Pandangannya menyapu pada deretan sahabatnya yang kali ini menjadi bridesmaid kemudian keluarga dekatnya, pada Bianca yang berdiri anggun di deretan depan kemudian pada Tinus Sudrajat yang duduk sembari tersenyum lebar.

Selesai pemberkatan, mereka bergabung untuk berpesta di rumah Bianca yang dulu dipakai untuk acara ulang tahun Bianca. Menikmati makan malam dan berbincang satu sama lain dengan iringan musik folk.

Devi asyik ngobrol dengan sahabat-sahabatnya termasuk Sisi dan Rexy. Sementara Bianca sedang menikmati makan malam dengan Fery dan Vena. Tinus sendiri pamit sejak awal dan diantar supir kembali ke hotel.

Dika sendiri mengambil minuman di dapur dan tak berapa lama Wisnu datang bergabung.
"Mau minum?" ajak Dika seraya hendak menuangkan wine ke dalam gelas Wisnu. "Apa-apaan.. Harusnya bapak yang nuangin buat kamu. Kamu kan pengantin hari ini.. Sini mana gelas kamu.. " ujar Wisnu kemudian mengambil botol wine dan menuangkannya ke gelas Dika.
"Selamat ya Dika..." sambung Wisnu seraya mengangkat gelasnya.
"Makasih pak.. Kog gak gabung sama ibu dan om Fery?"
"Bapak pengen merokok tapi ibu kamu malah ngomelin bapak di depan om Fery, diketawain deh bapak..." ujar Wisnu seraya menyalakan rokoknya.

"Oh ceritanya ngambek sama ibu?" ledek Dika seraya meneguk minumannya.
"Kamu sendiri kenapa gak gabung sama Devi dan teman-temannya sana?"
"Nanti aja deh, pak. Biar Devi bebas ngobrol sama teman-temannya.."
"Iya.. Capek nanti kamu dengerin ciwi ciwi itu, mereka gak capek mengunyah dan mengobrol.."
"Mau minum lagi, pak?" tanya Dika sembari mengangkat botol wine.
"Gak.. Gak.. Bapak nyetir. Nanti kenapa-napa di jalan kalau bapak mabuk"
"Tidur sini saja kalau gitu.."
"Ha? Tidur sini? Gak lah.. Kalian pengantin baru pasti butuh privasi, bapak sama ibu gak mau ganggu.."

Dika terkekeh seraya menghabiskan isi gelasnya. Ditatapnya pria tua di depannya yang masih nampak tampan di usia akhir 40an. Pria yang hangat dan membuatnya merasakan kembali kasih sayang seorang ayah. Dan terpenting dari segalanya, pria ini mampu membahagiakan ibunya.
"Sudah larut, bapak mau tarik ibumu pulang. Kamu juga usir perempuan- perempuan 5 1/2 itu pulang.."
"5 1/2?"
"Yang setengahnya si Rexy tuh..." tawa Wisnu lepas disambung tawa Dika.

"Pak, makasih ya.. " ujar Dika perlahan.
"Untuk?"
"Untuk semuanya..."
"Ohhh.. Kirain untuk kesediaan saya ngalah sama kamu buat dapetin Devi.." goda Wisnu yang mengundang tawa Dika. Dika menghampiri Wisnu dan memeluk pria itu dengan hangat, Wisnu tersenyum dan menepuk bahu Dika.
"Selamat ya. Jadilah suami yang baik untuk Devi, jangan pernah kamu sakiti lagi dia...jika ada masalah, bicarakan baik-baik dengan kepala dingin.." nasihat yang meluncur dari Wisnu. Dika mengangguk seraya berlalu.

Wisnu menggandeng Bianca sementara Sisi ikut di belakangnya, sebelum pergi, Bianca memeluk Devi erat. Ditatapnya gadis itu berlama-lama, mengingat pertemuan pertama mereka yang terasa lucu dan berkesan.
"Aku gak nyangka bakalan jadi mertua kamu.." Devi tersenyum kecil mendengarnya. Dia sempat membenci wanita di depannya, tentu pertama karena wanita itu yang dicintai Wisnu. Kedua karena melihat Bianca yang membiarkan dirinya sengsara membuat dia geram dan ingin memaki kebodohan wanita itu.
"Makasih bu..."
"Ahh.. Manis sekali. Dulu kamu kasar sekali ya.. Tapi aku tahu kamu sebenarnya gadis yang baik" ujar Bianca seraya menangkup pipi gadis itu. Dipeluknya gadis itu dengan erat.
"Ibu juga berterimakasih karena sudah memberi Dika kesempatan kedua, jika Dika berulah lagi, bilang ibu!"

"Semua sudah pulang?" bisik Dika memeluk istrinya dari belakang.
"Hmmm" Devi menjawab tanpa banyak kata. Mereka berada di tengah kebun rumah, masih dengan kelap kelip lampu dan dekor bunga sederhana untuk pernikahan mereka.
"Aku beruntung sekali malam ini.."
"Hmmm "
"Istriku cantik sekali.." Dika terkekeh.
"Aku tidak pernah bermimpi sejauh ini. Memiliki kamu untuk waktu sejenak saja buatku itu terlalu indah untuk dibayangkan.. Tidak sangka kamu benar-benar jadi istriku.."

"Aku dulu melihat kamu pertama kali di sampul tabloid dan bilang pada diriku sendiri, kalau aku mau punya kekasih seperti kamu. Gak taunya, gak lama aku dapat tawaran photoshoot sama kamu. Kamu tahu, malamnya aku gak bisa tidur mikirin gimana besoknya ketemu kamu.. "

"Vi, apa aku sedang bermimpi?"
Devi tidak menghiraukan ucapannya, dia sibuk memilih lagu dari pemutar musik.

Dika memandangi pengantin wanitanya yang begitu sempurna dengan gaun putihnya. Bagai sebuah mimpi.. Senyum gadis itu mengembang, sebelah tangannya yang kini terpatri cincin pernikahan terangkat padanya.

Dika menghampiri gadis itu, disematkannya jari-jarinya ke jari-jari gadis itu sementara sebelah tangannya meraih pinggang gadis itu. Mereka berdansa di bawah kerlip lampu, di atas rerumputan basah karena titik titik gerimis yang tiba-tiba datang.
"Kau cantik.. " bisiknya di telinga Devi.
"Kemana saja kamu, baru menyadari kalau aku cantik?" Devi mendongak memandangi mata elang milik Dika yang menukik tajam akibat senyuman yang merekah di bibir Dika.

"Apa sebaiknya kita masuk, kamu bisa masuk angin karena gerimis.." bisik Dika.
"Nope.. Aku tidak takut masuk angin.. Kan sekarang aku punya suami yang bisa diandalkan.." Devi terkekeh seraya memeluk pinggang Dika manja.
Dika membelai puncak kepala gadis itu.
"Tapi gak lucu kalau malam pertama kita, kamu bersin-bersin karena terkena flu.."
Devi meletakkan wajahnya di dada Dika, hujan mulai reda dan mereka berdua tetap berpelukan, berdansa menikmati musik folk yang terdengar dari pemutar musik.

"Devi.. "
"Dika.. "
"Cantik.. "
"Jelek.. "
Dika terkikik melihat perempuan di depannya menjulurkan lidah, mengejeknya.

"Kenapa suka aku? "
"Karena kamu cantik.. "
"Ha? Tidak ada alasan lebih romantis gitu ?"
"Mmmm... Nope..." dan perempuan itu mencebik kesal berharap kalimat pujian selain cantik.. karena sudah terlalu banyak yang bilang dia cantik.
"Karena sebelum aku bertemu kamu, duniaku terasa suram. Semua berubah menjadi cantik saat kamu datang.. " bisik Dika di telinga perempuan itu yang mengalirkan senyuman di bibirnya.
"I love you.. " lanjut Dika kemudian. Perempuan itu tak lagi beku meski belum mau menjawab lugas namun raut tersipu-sipu mulai terlihat. Dan itu cukup membuat Dika bahagia.

Dika menunduk untuk melabuhkan ciuman pada perempuan yang kini sah sebagai istrinya. Perempuan itu mengalungkan lengannya di leher Dika. Ciuman mereka makin dalam dan sejurus kemudian Dika menggendong pengantinnya masuk ke dalam sementara hujan turun kembali.

"Apa kau siap?"
"Hmm?"
"Siap menjadi seorang ibu?"
Devi terkikik mendengar pertanyaan Dika sementara Dika bersikap gusar karena kesulitan membuka gaun Devi.
"Kenapa ibu membuat gaun yang sulit dibuka.."
"Stop Dika, kamu bisa merusak gaunnya. Ibu membuatnya semalaman.. "
"Tapi aku menunggu saat ini begitu lama"
"Gak sabaran!!"
"Siapa yang bisa bersabar jika Devi Maharani di depan mata??"
Krekk!! Suara kain terobek dan benda berjatuhan, mutiara dan manik-manik swarozki penghias gaun Devi meluncur berantakan di kaki mereka.
"Dika!! Kamu sudah merusaknya, kalau ibu tahu, kamu.. "
Kalimat Devi tak terselesaikan, suara kecupan, suara gesekan kain, kemudian menyusul desahan menutup malam mereka.

Red LipsWhere stories live. Discover now