Wisnu Dewantara

64 2 0
                                    

"Bagaimana hari ini?" suara lembut Bianca menyapa telingaku seraya menaruh secangkir kopi panas di dekatku.
Ku pandangi raut wajahnya yang berseri seri hari ini. Raut wajah yang setia menyambutku saat2 aku merindukan pulang.
"Ya lumayan! Hari pertama yang cukup melelahkan.."
"Film kolosal seperti yang kamu sedang garap sekarang ini belum banyak peminatnya, kamu yakin bakal laris penontonnya?"
"Ya kita lihat saja nanti! Menurutku aku harus memulai sesuatu yang baru, kalau kita ikutan dengan selera pasar memang main aman, tapi itu bukan aku.. "
Jawabku seraya menerawang ke depan seraya memeriksa laporan hasil syuting hari ini.

"Aku tahu.. Kamu selalu suka tertantang mencoba hal baru" jawab Bianca seraya memijat bahuku.
"Siapa itu namanya? Cewek itu!"
"Oh.. Devi Maharani.. "
"Ah.. Iya.. Cantik ya, tapi sepertinya dia kurang cocok berperan sebagai Ken Dedes! Mukanya kurang Indonesia... "
"Ah.. Tidak juga.." bantahku.

Devi Maharani, gadis itu. Usianya mungkin pertengahan 20an, entahlah.. Kadang wajahnya terlihat lebih tua dengan lipstik merah meronanya itu. Sejujurnya dia tidak masuk daftar audisi untuk pemeran Ken Dedes. Pertama seperti kata Bianca, kulit putih, mata bulat kecil, hidung mancung, sepertinya dia blasteran.. Entahlah, karena setauku dia putri Tinus Sudrajat, seniorku di dunia perfilman. Dan setauku, mas Tinus asli orang Bandung, istrinya pun sama. Tapi gadis itu nampak bukan mojang Bandung. Entahlah.. Mungkin aku salah.

Jam terbang Devi sebagai pemain film layar lebar sama sekali nol. Riwa riwi di televisi sebagai pemain sinetron kejar tayang dan membuat gosip-gosip kontroversial, itu saja yang aku tahu tentangnya.
Sampai suatu hari aku melihat dia muncul sebagai bintang iklan sabun lulur mandi dengan berpenampilan adat jawa. Dia terlihat anggun dan stunning! Iya sereceh itu alasanku akhirnya memasukkan dia dalam daftar audisi..

Ternyata dalam audisi, dia cukup menyakinkan aktingnya. Sebenarnya cukup riskan aku mengerjakan film ini. Sudahlah dengan tema kolosal yang kurang peminatnya, pemain baru pula. Sepertinya ini akan jadi proyek bunuh diri pertamaku. Lantas kenapa aku mengerjakannya? Aku sedang bosan saja dengan hidupku. Aku ingin tantangan yang membuat adrenalinku bekerja. Sesederhana itu. Dan sesederhana itu pula aku mencintai Bianca. Yang jelas-jelas tidak dapat aku miliki sepenuhnya.. Kenapa tiba-tiba aku mengkaitkannya dengan kisahku sendiri.

"Kamu sibuk sekali rupanya. Aku pamit dulu ya, aku musti mampir butik dulu buat ambil bahan yang ketinggalan.. " pamit Bianca tiba-tiba. "Mau aku antar?" tawarku. "Tidak.. Tidak perlu, lagian aku bawa mobil sendiri kan? Sampai nanti lagi!" "Oke.. Hati-hati!" seruku sambil menatap wajahnya lama-lama.
Aku menunduk dan memeluk Bianca, rasanya masih sama seperti dulu dan debaran itu tetap ada meski kami telah bersama sekian lamanya. Ku belai rambut yang menutupi wajah cantiknya.

"Kerutan kamu nambah disini.. " ujarku menggodanya. Bianca spontan meraba ke tempat yang aku pegang.
"Serius, Nu? Apa aku mesti ganti skin care ya.. Aku juga ngerasa muka aku kusam sih sekarang.. " ujarnya dengan raut muka lucu. Aku tertawa kecil seraya menarik tangannya dan memeluknya.
"Kamu selalu cantik di mataku, gak perlu skin care apapun.. " pujiku yang dijawab cibiran di mulutnya.
"Bohong! Kamu belum kenal satupun cewek muda sih..pasti nanti nemu satu yang jauh lebih menggoda ketimbang aku.."

Aku tertawa mendengarnya.
Ku peluk sekali lagi kekasihku dan dia mendorong bahuku menjauh.
"Nu.. Aku kan udah pamit tadi. Kamu ya sengaja bikin aku mager.. "
"Apa itu?" tanyaku bingung.
"Mager, malas gerak.." ujarnya.
"Oohhh.. Ya udah, tidur sini, gak usah pulang!" jawabku seraya mengedipkan mata menggodanya hingga pipinya bersemu merah.
"Nu.. Aku pulang ya, aku benar-benar harus mengambil bahan di butik! Oh ya, aku besok gak bisa kesini, ada lauk di kulkas yang tinggal kamu hangatkan. Jangan lupa minum obatmu juga.. "
"Iyaaa..." jawabku yang memancing tawa Bianca.

Bianca melambaikan tangan padaku dan perlahan beranjak meninggalkanku. Aku kembali menekuri rekaman hasil syuting, pada adegan dimana Devi Maharani beradu akting dengan lawan mainnya.

"Kakanda...sedang apa? Apa yang menggelisahkan hatimu? Bukankah kita sudah bersama saat ini namun tak nampak rona bahagia di wajah kakanda?"

"Tidak ada suatu hal yang menggelisahkan hatiku, Adinda. Tentu saja kakanda bahagia karena telah memiliki adinda seutuhnya sekarang.. "

Gadis itu, beda dengan aslinya. Jika di layar nampak anggun dan lemah lembut. Tapi yang terlihat dimana-mana sepertinya bertolak belakang. Aku tidak menyukai lipstik merahnya itu, lipstik merah itu membuat dia tampak tidak jujur, terlihat lebih berani.. Tapi sepertinya hanya kepura-puraan saja. Aku yakin gadis itu tidak nampak seperti luarnya. Pikiranku berkelana, terbayang gadis muda yang aku temui tadi siang. Dia seperti gadis-gadis lain, terlalu percaya diri bisa menggoda lelaki sepertiku. Tapi ada yang berbeda dengannya, tampak tak wajar, seperti bukan dirinya yang sebenarnya.

"Nu.. Tidur, sudah malam!" Bianca masih sempat meneleponku ketika tak terasa malam sudah larut.
"Iya, sebentar lagi.. "
"Jangan minum kopiii.. " jawabnya seolah tahu aku kini sedang menghirup kopi.
"Besok kamu ada janji sama investor baru kan? Tidur makanya.. "
"Iya, sayang. Aku tidur.. Kamu juga!" ujarku kemudian.
"Sisi baru aja minta dibikinin indomie, padahal aku tadi sudah mau tidur!"
Aku tergelak dalam tawa.
"Jangan-jangan bukan Sisi tapi kamu sendiri yang mau makan.."

Bianca terkekeh.
"Aku tergoda juga sih tapi nggak ah, ntar aku gendut.."
"Kenapa gak suruh Bik Yan buatin indomienya?"
"Kasihan, Bik Yan sudah tidur. Lagian lebih istimewa kalau aku yang buat kata Sisi.."
Ya, Biancaku pintar masak. Indomie yang sederhana saja bisa dibuat begitu enak di tangannya.
"Bu... Indomienya sudah belumm?"
Sebuah suara menginterupsi percakapan kami. Suara Sisi, anak perempuan Bianca terdengar dekat.
"Nu, sudah ya. Sisi udah teriak-teriak.. " pamit Bianca.
"Bu, Oma ada telepon tadi ke rumah. Katanya telepon ibu susah banget.. "
Suara Sisi kembali terdengar sebelum Bianca menutup percakapan kami.

Red LipsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang