"Infeksi otak mesum sama jadi brandalan gitu?" tebak Mutia sambil mengaduk susu coklat untung si calon suami. Butuh asupan.

Masih dengan marahnya Heaven melirik Mutia sekilas, " Terinfeksi lo," lirihnya. Maksudnya, segala yang ada di Mutia semakin hari semakin menjadi candu, dan mustahil sembuh.

Mutia yang masih mengaduk agaknya tidak mendengar  gumaman Heaven, mendengar pun juga tidak dipercaya. Percuma.

"Nih susunya," ucapnya sembari memberikan pada Heaven. Dengan sabar gadis tujuh belas tahun itu meladeni si brandal yang banyak permintaan.

"Punya lo, kapan?" tanyanya sambil menunjuk dagu. Masih dengan wajah datar tanpa seberkas dosa.

"Nggak ada kapan kapan, abisin aja susunya nggak usah minta aneh aneh," tekan Mutia hampir saja mencekik cowok yang ada disampingnya.

"Emang nyicip dikit nggak bisa," tawar Heaven setelah meneguk susu digelasnya. Habis dalam hitungan detik.

Shit! double shit!

"Kak Heaven?" panggil Mutia gemas, tangannya meremat bedcover milik Heaven. kapan sih, si bangsat  bisa mode normal jika bersama Mutia.

Heaven menatap malas gadis yang emosi, "Sah, gue gasak," lirihnya.

"Itu mah pemaksaan, nikah tuh harus sama sama ridho, nggak asal nubruk,"

Bibir Heaven sedikit terangkat, "Enak di paksa, ngerti nggak lo,"

"Terusin." ketus Mutia.

"Ck," decaknya lalu kembali merebahkan tubuhnya.

Mutia diam cukup lama, berusaha merangkai kata yang akan diucapkan kepada Heaven. Gara gara kedapatan bersama Galang, hatinya menjadi tak tenang. Takut Heaven berubah.

"Kenapa diem?" tanya Heaven, pikirnya sedang membayangkan 'sah langsung gasak' tadi.

"Eng... Yang tadi siang itu, Mutia minta maaf," ucapnya ragu. Padahal, biasanya untuk meminta maaf kepada Heaven, dia sangat anti. Namun melihat Heaven marah dan terluka, hatinya melunak.  "Soal nemanin Galang, Kak,"

Mendengar kata Galang, mood Heaven langsung terjun payung.

"Tanpa lo ngomong, gue udah kasih maaf," jawab Heaven agak ketus.

"Lain kali nggak usah diulangi," Heaven menatap intens gadis yang tengah tertunduk disampingnya.

Mutia mengangguk, tentunya dengan rasa bersalah yang semakin membuatnya tidak nyaman. Tapi setidaknya sudah lega, karena minta maaf sebelum terlambat.

"Kak Heaven juga jangan berantem lagi, Mutia takut," ucap Mutia sambil mengambil alih gelas yang dipegang Heaven.

"Nikah makanya, nanti gue berhenti bandel," balas Heaven.

Mutia diam lagi, bingung mau bertanya apa. Yang jelas didalam hatinya bertanya tanya, siapa inisial S yang terukir di cincin tunangannya. Kalau memang Heaven mempunyai maksud lain, alangkah brengseknya cowok itu. Sampai tega menyamatkan  sebuah nama di cicin yang jelas jelas bukan insialnya.

"Iya, nikah." balas Mutia ragu, tentunya dengan berjuta pemikiran tentang kelanjutan hidupnya bersama  cowok akhlasless.

Heaven

HEAVENDär berättelser lever. Upptäck nu