Tapi kembali lagi ke hal yang baru dikatakan oleh Carol. Jason tidak punya ibu? Addo baru tahu.

Carol menarik Jason yang sudah babak belur dan melemparnya ke aspal seperti orang melempar sebuah tas plastik sampah besar.

"Kaget, Chance?" Addo mendengar Jake bergumam pelan. "Kaget karena Jason ternyata anak piatu?"

"Kukira dia anak bahagia yang dimanjakan oleh orangtuanya," akunya. "Tapi dia ternyata tidak punya ibu?"

"Yang kutahu ibu dan ayahnya bercerai," lanjut Jake. "Jadi bukan hanya kau saja yang menderita disini, Egois."

"ADDO APA YANG KAU LAKUKAN!?" seseorang berteriak dari muka gang. Addo terlonjak kaget dan serta merta menoleh. Orang itu berlari ke arah mereka. Sepasang pupil di iris hazel Addo membesar begitu ia mengenali sosok yang tengah mendekat. Jantungnya seketika mencelus jatuh.

"Pa-paman Hugo?!"

Setibanya Hugo ditempat mereka, dia langsung menarik lengan Addo kasar dan membawanya ke dinding gang. Dia menahan anak itu disana—satu tangannya masih memegang lengannya, satunya lagi mencengkram bagian dada kemeja Addo. Jake, Carol dan Jason menggunakan kesempatan bagus tersebut untuk melarikan diri.

"Apa yang Paman pikir Paman lakukan?" Addo berseru tak terima. "Paman bodoh! Paman membiarkan mereka lari!" lanjutnya, masih mengekori tiga brengsek itu dengan lirikan mata.

"Apa ini kebiasaanmu di sekolah?! Berkelahi?!" Hugo membentaknya tak kalah keras, sama sekali tak menghiraukan perkataan Addo sebelumnya. Manik matanya menatap tajam ke mata Addo. Tidak ada pandangan keakraban yang biasanya, tidak ada keramahan apalagi guyonan. Dia marah—sangat marah.

Addo mengarahkan pandangannya ke bawah. Dia sadar dia kini dalam masalah besar.

"Jawab aku, bocah!" Hugo masih berteriak di depan wajahnya. "Sudah merasa hebat menjadi petarung, hah?!"

Jantung Addo berdebar dua kali lipat lebih cepat dari sebelumnya. Mulutnya benar-benar terkunci rapat. Bodoh! Addo mengutuk diri sendiri. Seharusnya aku tidak usah membantu Carol! Tapi mana dia tahu kalau Hugo akan muncul?

"Terserah kau kalau tidak mau bicara," tiba-tiba Hugo mengendurkan cengkramannya. Addo terkejut, apalagi karena selanjutnya, pria dewasa itu justru memberinya selembar tisu.

"Lap hidungmu. Lalu pergi ke sekolah sekarang," katanya cuek sebelum berbalik hendak beranjak pergi.

"Kau bergurau, Hugo," sindir Addo. "Aku jelas sudah terlambat."

Dia berhenti melangkah dan berbalik lagi menghadap Addo. "Bien, jelas sekali. Aku harusnya sadar dari awal kalau kau memang berandal." Dia menatap Addo lekat-lekat lalu menghela napas. "Kemana Addo Si Lugu yang kemarin menginterogasiku di rumah?"

"Dihadapanmu, tentu saja," Addo berjalan mendekatinya sambil meluruskan bagian bawah kemajanya yang tersingkap sedikit lalu membersihkan celana jinsnya dari debu aspal. Hugo menepuk dan merangkul pundaknya setelah mereka berdiri sejajar. Setelah itu mereka berdua berjalan beriringan meninggalkan gang.

"Ibumu mungkin sedang mengecek daftar hadir siswanya."

"Dia kepala sekolah," kata Addo. "Jangan menakutiku, Paman."

"Terakhir kau memanggilku Hugo."

Addo tertawa singkat. "Maaf."

"Terserah. Ayo ikut aku, bocah. Daripada kau tertangkap oleh razia karena membolos sekolah."

"Bisakah kau sekali saja tidak membuatku merasa seperti anak lima tahun?"

"Kau memang bocah, bocah."

"Yea, whatever." Addo menyerah dan mereka berjalan lagi, namun kali ini tanpa percakapan. Selama itu pula Addo berpikir bahwa lelaki disebelahnya itu ada benarnya. Pergi ke sekolah atau pulang lagi ke rumahnya sama-sama akan membawa masalah—pengecualian seandainya nenek Addo tidak sedang tinggal di rumahnya—dan kalau jalan-jalan sendirian ke luar, bisa-bisa dia tertangkap razia petugas patroli dan ujung-ujungnya diantar ke sekolah. Hari yang biasa di Amerika. Kadang Addo tidak suka dengan lingkungan sosialnya yang punya banyak sekali peraturan.

Selama dalam perjalanan—yang entahlah kemana, Addo enggan menanyakannya pada Hugo—pikirannya kembali tertuju pada perkelahian tadi: antara dia, Jason, Jake dan Carol. Itu benar-benar satu lagi refleksnya yang menyebalkan, setengah dari diri Addo agak menyesalinya sekarang, entah kenapa. Addo benci mengakui dia memang menghampiri mereka untuk menolong Carol, bukan karena mengungkit masalah Jason menyinggung Alice kemarin. Walaupun dia juga belum melupakan masalah itu seratus persen.

Perasaan Addo kembali mengambang tidak jelas. Dia menyesal kenapa harus selalu menyinggung-nyinggung soal Alice? Bahkan dalam kondisinya babak belur sekalipun, tampaknya bayang-bayang gadis berambut pirang dan mata biru itu tidak akan pernah meninggalkan benak Addo.

Beberapa menit kemudian, jelaslah tujuan mereka pergi kemana. Hugo ternyata mengajak Addo ke rumahnya. Anak lelaki itu seketika saja memutar bola matanya malas. "Great, harusnya aku tahu."

Si pemilik rumah hanya terkekeh. "Kau belum melihat mini studioku."

Seketika semangat Addo terpancing lagi. "Bisa kau ulang?"

"Mini. Studio. Bocah."

"Ck, tanpa bocah!"

Dia membuka pintu lalu masuk. Addo mengikuti dibelakangnya. Namun entah kenapa baru selangkah, Hugo berhenti, mematung.

Addo mengerutkan kening. "Ada apa, Paman?" []

------------------------------------------------------------------------------------------

"Aku cuma ingin berpesan, kalau anak ini laki-laki nantinya, namai dia Addo. Tapi kalau perempuan, namai dia Leila."

"Oh ayolah, santai. Masih terlalu cepat untuk memikirkan nama, Grey."

"Haha, aku tahu. Tapi.. bagaimana jika aku nanti tidak akan ada lagi disini?"

"Greyson!" []

------------------------------------------------------------------------------------------

Father For Addo -g.c (Addo Series #1)जहाँ कहानियाँ रहती हैं। अभी खोजें