36

87 9 5
                                    

Tepat setelah turun dari ambulan yang entah dihubungi oleh siapa, Rina diminta untuk mengisi formulir pasien. Dalam hati dia merutuki prosedur rumah sakit, ia tidak bisa berpikir sekarang. Terlebih memang ia tidak punya kuasa apapun untuk menjadi wali pasien. Jadi sebagai gantinya Rina bilang bahwa ia butuh meminjam telepon untuk menghubungi orang tuanya.

Jari jemari Rina saling bertaut. Pandangannya memandang kosong kearah tembok putih di depannya. Rina yang duduk diapit oleh Papa dan Mamanya merasa bahwa ketenangan dalam dirinya belum bisa muncul sebelum ia dapat pemberitahuan yang sedera ia ingin dapatkan dari dokter yang sedang menaangani William di dalam ruang Unit Gawat Darurat.

Terlebiih Mamanya bilang bahwa ia telah menghubungi Tante Karina agar segera menuju ke rumah sakit. Tentu hal itu membuat Rina makin kalut. Mau bilang apa nanti kepada Tante Karina melihat anaknya terbujur kaku di ruang UGD.

"Kita berdoa aja ya, Kak." Ucap Mama menangkup tangan Rina. Suaranya begitu tenang dan menyejukkan. Meskipun masih belum membantu menanggulangi rasa khawatir dalam diri Rina, tapi Rina senang setidaknya Mamanya memberikan support yang ia perlukan.

"Rina, Willy kenapa, nak?" dari ujung Lorong terdengar suara keibuan yang sarat akan rasa khawatir dan takut.

Kepala Rina sontak menoleh ke asal suara dan dirinya semakin kaku melihat ternyata Tante Karina datang bersama suaminya, membawa Windy yang juga bersama suaminya dan ada Arcka yang berada dalam gendongan Windy. Rina tidak menyangka bahwa seluruh keluarga William yang datang ke rumah sakit.

Tangan Rina yang sebelumnya berada dalam genggaman Mamanya kini beralih menjadi Rina yang menggenggam balik. Tangan Rina meremas tangan Mamanya dengan tanpa sadar. Mulut Rina tidak mampu berbicara karena disamping ia tidak dapat berpikir dengan jernih, Rina juga merasa lidahnya kelu.

Tante Karina duduk di sebelah Mama lantas menangis sejadinya. Windy juga ikut menangis dengan pelan, mungkin tidak ingin membuat Arcka panik dengan suasana tegang yang cukup solid diantara mereka.

"Willy gak akan kenapa-kenapa. Dia bakal bangun kok, Mam." Ucap Windy kepada Tante Karina.

Merasakan suasana tetap pada ketegangan, Rina memantapkan dirinya untuk berkata, "Maafin aku, Tante. William selamatin aku tadi waktu aku hampir ketabrak."

Rina tidak mengharapkan Tante Karina akan secepat itu hingga bisa kembali tenang. Tapi Rina tidak pernah memikirkan bahwa apa yang ia ucapkan justru membuat tangisan Tante Karina semakin pecah. Ya, Rina sadar bahwa ia telah menjadi sumber masalah disini. Dan apa yang ia lihat dari reaksi Tante Karina membuat semuanya semakin jelas bahwa kesalahan memang terletak pada Rina.

Windy mengangsurkan Arcka pada suaminya lantas menarik pelan lengan Rina. "Anter Kakak beli kopi, yuk?" jelas hanya pertanyaan retorik karena tanpa menunggu jawaban Rina, Windy tetap membawa Rina agar mengikutinya.

"Bukan salah kamu, kok, sayang." Ucap Windy lagi.

"Aku gak lihat ada mobil, Kak. The fault is on me. I'm sorry."

"Semuanya kecelakaan. Bukan salah kamu. Mamaku cuma shock aja tahu Willy selamatkan orang lagi dari tabrakan. Tapi Kakak juga tetap dukung Willy untuk selamatin kamu. Jadi kamu gak perlu merasa bersalah, ya?"

"But still, I really sorry."

"It's ok. Semua ini sudah seizin Tuhan. Kita doakan Willy aja supaya cepat pulih, ya?"

Rina mengangguk lantas ia teringat apa yang barusan Windy katakan. "Memang siapa lagi yang Willy selamatin, kak?"

"Dulu sekali, Willy selamatkan temennya. Sejak dari itu William berubah jadi seseorang yang berbeda. Makanya Mamaku sampe shock barusan. Tapi gak apa kok."

"Kenapa, Kak? Willy trauma? Kalo sekarang ternyata aku bikin trauma Willy datang lagi maka aku bener-bener gak bisa maafin diriku sendiri."

Windy merangkul pundak Rina lantas mendekapnya sebentar. "Ya.. kurang lebih seperti itu. Tapi kali ini gak mungkin traumanya muncul lagi. Kan ada kamu disini."

Dengan membawa 8 cup karton kopi, Windy dan Rina kembali ke area ruang UGD dengan menemukan tanpa adanya seorangpun anggota keluarga mereka disana. Windy lantas menghubungi suaminya yang ternyata mereka berada di koridor ruang rawat inap.

Keadaan Willy mulai stabil. Tidak ada benturan yang membahayakan organ vital namun memang ada sedikit pendarahan di dalam tubuhnya selain beberapa bagian kulit luarnya yang terluka. Ditambah suaminya menerangkan bahwa tidak ditemukannya dislokasi tulang sehingga keadaan William bisa dibilang cukup baik.

Rina yang mendengar penjelasan dari ponsel yang sengaja Windy keraskan volumenya kini ikutan bisa tenang. Syukurlah bahwa keadaan tidak berubah semakin buruk dengan adanya luka fatal yang membutuhkan waktu pemulihan lebih lama.

Begitu mereka akhirnya menemukan anggota keluarga di koridor area ruang rawat inap, Windy lantas ditubruk dengan pelukan kencang dari Mamanya yang menangis haru. "Willy tadi cuma dibius lokal. Mama udah lihat Willy, Tapi terus dikasih obat tidur sama dokter biar gak kerasa sakit. Kamu pulang aja, kasian Arcka." Beralih dari Windy, Karina lantas menatap wajah Rina dan mengelus rambutnya dengan sayang. "Maaf ya, sayang, tadi Tante buat kamu kalut, ya? Willy gak apa-apa kok. Kamu pulang aja ya, nak. Biar Tante sama Om yang jagain Willy."

Waktu menunjukkan tepat tengah malam ketika Rina kembali pulang ke rumah bersama orang tuanya. Rina tidak yakin apakah ia bisa tidur. Yang ia tahu, perlahan memang kesadarannya memudar hingga ia bisa kealam mimpi saat dini hari.

Meski memang keadaan William tidak parah, tapi nyatanya rasa khawatir dan rasa bersalah itu tetap ada dalam diri Rina. Meski Mama dan Papanya sudah memberikan afirmasi positif, apa yang Rina katakana sebagai respon tentu berbeda dengan apa yang sebenarnya bekerja di otaknya.

Selama jam sekolah beberapa kali Rina pikir apakah sebaiknya ia minta izin pulang duluan? Ia ingin buru-buru melihat keadaan William dengan mata kepalanya sendiri. Ia ingin lihat seberapa parahnya akibat dari pengorbanan yang William lakukan untuknya.

Tapi dipikir lagi, Rina juga tidak siap kalau untuk bertemu dengan William. Ia terlalu merasa bersalah. Jadi setelah minta pendapat teman-temannya, akhirnya Rina mencoba bersabar untuk menunggu hingga jam pulang sekolah selesai.

"Kita antar aja deh, yuk?" ini Jana yang berinisiatif. Dari tadi memang dia dan yang lainnya bersikeras untuk mengantar Rina ke rumah sakit. Tapi tetap saja Rina tolak dengan alasan bahwa ia tidak kenapa-kenapa untuk pergi sendiri.

"Kalian pulang aja. Thank you, ya, udah bantu tenangin gue."

"Hati-hati dijalan." Ini Gina.

Rina mengangguk lantas segera naik taxi yang sudah dia pesan. Sengaja Rina pakai taxi karena ia tidak ingin juga untuk cepat sampai rumah sakit meski nyatanya tetap saja jarak tempuhnya tetap sebentar melihat jalanan tidak macet.

Mau sekeras apa Rina menguatkan diri, tapi tetap saja ia merasa tidak berani menemui William. Jadi gantinya ia hanya duduk disebelah resepsionis ruang rawat inap William. Mungkin tidak akan dia temui William hari ini meski memutuskan untuk pulang saja juga bukanlah hal yang Rina inginkan sekarang.

Sambil belaga memainkan ponsel, Rina berusaha menyibukkan dirinya disana agar tidak ada seorang perawatpun yang mengajaknya bicara. Dari jam besuk kedua yang sudah selesai hingga memasuki jam besuk ketiga, Rina masih saja disana menunggu dengan gemas karena keputusannya sendiri hingga ekor matanya menangkap seseorang yang masuk ke ruang rawat inap William.

Ia tidak kenal siapa wanita itu. Ia bahkan tidak pernah tahu bahwa William ternyata masih punya teman di Indonesia yang masih berhubungan dengannya hingga saat ini. Dari Langkah terbirit-biritnya, Rina berhasil menahan pintu ruangan William sehingga tidak tertutup sepenuhnya.

"Ya ampun! Kamu hobi banget bikin orang khawatir!" ucap wanita itu dengan penekanan meski sarat akan rasa kalut.


Terimakasih sudah voting🖤🖤

Hold You CloserTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang