Reno

337 7 0
                                    

Atas keinginan Bagas, akhirnya Shinta bersedia datang berkunjung ke rumah Halimah. Tidak ada dorongan bagi Shinta untuk mengenal Halimah lebih lanjut dengan berkunjung. Namun wajah ngambek Bagas benar-benar tak tertolak, lagi pula saat ini dia sedang melakukan observasi, sesuai saran dokter.

Mereka sampai di sebuah rumah sederhana, pada perkampungan yang tidak jauh dari rumah Shinta. Rumah Halimah terlihat selalu ramai, karena di depan rumah itu ada warung sembako. Menurut Halimah, ia bekerja di Malaysia sementara suaminya jadi sopir serabutan di Jakarta. Warung itu membantu perekonomian rumah tangganya.

Bagas dan Dewa Asyik bermain di halaman rumah itu bersama anak-anak lain. Shinta lega dan semakin yakin bahwa rencananya  memulai hidup yang baru kali ini berjalan dengan baik. Terkait hidup baru, pikiran Shinta terlintas pada Reno yang baru saja ia kenal. Reno terasa tidak asing untuk hatinya.

"Bu Shinta, di minum yaa. Apa adanya aja yah, maklum lah di kampung", Halima membawakan dua cangkir minuman dingin.

"Wah, repot-repot Kak Halimah, terimakasih. Tapi aku nggak bisa lama-lama nih.", jawab Shinta.

"Loh, buru-buru banget Bu Shinta, mau kemana? Bagas sama Dewa lagi seru tuh main diluar, lagian masih sore juga."

Agak malu  Shinta mengungkapkan, "Iya, lagi seru main yah.. Gini aja deh Kak Halimah. Boleh nggak aku titip Bagas sebentar di sini? Kebetulan aku lagi ada urusan. Habis magrib aku pasti jemput dia."

"Oh begitu, iya nggak apa apa kok. Malah Dewa pasti seneng, mereka keliatannya makin akrab aja Bu", jawab Halimah.

"Kalo begitu saya pamit dulu ya Kak", sambung Shinta. 

Senang rasanya memiliki orang-orang baik di sekitar. Jika di Malaysia ada tetangga apartemen yang baik hati, di Jakarta ada orang baik seperti Halimah. Setelah berpamitan pada Halimah dan Bagas, Shinta berjalan meninggalkan rumah itu.

Saat hendak keluar rumah, suami Halimah pulang, "Assalamualaikum", ujar pria itu. Melihat siapa yang datang Shinta agak terkejut, 

"Pak Slamet?"

"Ehh, Bu Shinta. Kok bisa tau rumah saya?", ternyata suami Halimah adalah Pak Slamet. 

"Ohh, Pak Slamet sama Kak Halimah suami isteri ?", tanya Shinta.

"i..iya Bu Shinta. Bu Shinta ketemu isteri saya dimana ?", Pak Slamet tanya balik.

"ohhh, udah panjang ceritanya. Kita nggak sempet ngobrol banyak soal bantuan bapak ke saya dan Bagas . . ."

"Ohh, nggak apa apa kok Bu. Saya hanya menjalankan perintah", jawab Pak Slamet memotong pembicaraan. 

"Memang siapa yang perintahkan Bapak?"

"hemm.. duh... Saya, .. saya nggak boleh ngomong soal itu mba", jawab Pak Slamet dengan nada yang kikuk.

Shinta mulai bingung dengan peristiwa demi peristiwa yang ia lalui. "Entahlah, yang terjadi biarkan saja terjadi", sementara hanya itu yang bisa ia simpulkan. Virus cinta sedang hinggap di hati ibu satu anak itu, hingga ia berusaha mengesampingkan kebingungan lainnya.

Shinta kembali ke rumah menggunakan ojek, mengeluarkan mobilnya dan meluncur ke Hotel Horizon.

🌹🌹🌹

Shinta melaju perlahan menuju Hotel Horizon yang tidak jauh dari rumahnya. Hatinya berbunga menyadari tidak ada yang salah dengan mental Bagas, dan perkenalan dengan Reno yang sudah terjadi.  Perkenalan yang sempat tertunda namun sanggup membuat hati Shinta berdebar.

Jantungnya semakin berdebar, saat mobil yang dikendarainya masuk parkiran Hotel Horizon. Dari kejauhan terlihat mobil SUV berwarna biru, dengan ban yang besar terparkir. Shinta segera mengambil parkiran disebelah mobil itu. Reno tidak terlihat di dalam mobil.

Shinta tidak mungkin turun mobil dan menghampiri kamar nomor 215, itu bukan kebiasaan Shinta. Bahkan menghampiri hotel ini saja sudah melanggar prinsip lamanya soal mengencani pria. Shinta menahan diri untuk tidak turun dan menunggu dengan sabar.

Kesabaran itu terbayar, hanya lima menit ia menunggu tak lama datanglah pemilik mobil berwarna biru itu. Shinta membuka pintu mobilnya, 

"Hai, Mas Reno?", sapa Shinta.

Reno tak bergerak, wajahnya memerah dan senyumnya melebar. Betapa gembira Reno dapat menemukan Shinta di parkiran mobil, 

"Mmm...Mba Shinta, wahh seneng banget aku akhirnya ketemu di sini. Aku sudah tanya ke resepsionis soal tamu di kamar 319, katanya tamu di kamar itu sudah keluar sejak kemarin, dan sekarang kamar itu kosong"

Bagi Shinta inilah jodoh, mereka saling mencari satu sama lain dan pada situasi yang tidak diduga mereka dipertemukan. Shinta dan Reno melanjutkan perkenalan mereka pada, Reno meninggalkan mobil birunya di hotel dan menumpang mobil Shinta.

"Gimana kalo kita ke Cafe yang di depan Mal Pondok Indah?", ajak Reno.

"Boleh, aku yang nyetir", jawab Shinta tanpa ragu.

"kebetulan, aku emang sering nyasar di daerah sini", sambut Reno malu-malu.

"Loh bukannya Mas Reno, punya alat navigasi.", telunjuk Shinta mengarah ke dashboard mobil.

"Ohhh, ternyata kamu ngebuntutin aku dari lama yah ?", canda Reno. Sejak itu isi perjalanan menuju Cafe hanya tawa dan canda dari calon pasangan yang mulai cocok satu sama lain.

Reno dan Shinta tak henti bersenda gurau dan menceritakan banyak hal. Reno menceritakan kebodohan alat navigasi yang sering membuatnya nyasar, hal itu disambut tawa oleh Shinta. Demikian pula Shinta yang menceritakan kebodohannya karena menduga Bagas melakukan Jessica Methode karena mengira Dewa itu tidak nyata.

Reno tertawa terpingkal saat mendengar Shinta sampai-sampai berkonsultasi ke dokter anak soal Jessica Methode.

"Lagi pula, soal bener atau tidak Jessica Methode ini, kan harusnya kamu konsultasinya ke Psikiater, bukan ke dokter spesialis anak", Reno mengomentari cerita Shinta dan melanjutkan tawanya.    

"ya..ya.. ya... memang aku yang parno Mas." Jawab Shinta akrab, sementara Reno masih asyik tertawa.

"Tapi, kapan-kapan boleh juga kita konsultasi ke Psikiater." sambung Shinta.

"emang kenapa?"

"aku mau nanya ke Psikiater soal kamu, yang tertawa seperti orang gila", sekarang mereka berdua sama-sama tenggelam dalam tawa riang, tak menyadari bahwa hari semakin gelap.

🌹🌹🌹

Sore berlalu dan matahari mulai terbenam ke arah Barat, di balik gedung-gedung tinggi Jakarta. Sementara Bagas mulai lelah bermain, ia duduk menunggu ibunya, disamping teman dekatnya Dewa.

"Mama ku mana yah ?", ucap Bagas sambil memangku dagunya di atas dengkul. Bagas dan Dewa duduk bersantai di sebuah pos kambling dekat rumah Dewa.

"Telpon aja Mama kamu, tanya udah dimana?", jawab Dewa.

"Aku nggak punya hp." jawab Bagas polos. 

Dari kejauhan terdengar suara, "Dewaaa, pulang dulu sini, udah magrib. Ajak Bagas juga yah", Halimah memanggil dua sahabat itu. 

Saat berjalan ke arah rumah Dewa, Shinta datang dengan mobil, membunyikan klakson dan disambut senang oleh Bagas, "Mama, kemana aja siy lama banget", Bagas menggerutu.

Shinta turun dari mobil membawakan banyak sekali makanan untuk keluarga Halimah. Wajah itu terlihat sangat bahagia, tersenyum sepanjang langkahnya menuju pintu rumah sederhana itu. Bagas yang awalnya ngambek karena ibunya terlalu lama meninggalkan dia, ikut tersenyum bahagia karena melihat keriangan ibunya yang jarang terjadi.

Sore ini menjadi penutup hari yang paling indah dalam hidup Shinta. Inilah hidup baru itu, yang diimpikannya sejak awal hijrah ke Malaysia, namun gagal.

Pengalaman pahitnya di Malaysia, melemparnya kembali ke Jakarta. Namun itulah titik baliknya, itu lah proses yang dibutuhkan Shinta untuk menemukan kebahagiaan. Shinta pun menyadari bahwa dunia sedang  membalas budi atas kesabarannya selama ini. 

Petaka Cinta SedarahWhere stories live. Discover now