Malu

70 50 123
                                    

Kenapa harus malu jika di juluki orang miskin?
Harusnya yang malu itu jika sudah tumbuh besar namun masih saja membebani orang tua.

HAPPY READING
'
'
'

Hari ini hari Jum'at, semua siswa bebas untuk berpakaian apa saja, setiap jum'at memang tidak di haruskan untuk berpakaian sekolah karna di hari itu para guru tidak menghadiri sekolah. Kenapa tidak di liburkan saja kalo begitu? Ehh jangan salah, bukannya nggak ada guru trus nggak ada kegiatan apa-apa, melainkan kita mengadakan games setiap kelas, katanya supaya bagian-bagian otak juga bisa beristirahat. Otak juga akan merasa lemah jika terlalu aktif, makanya Kepala sekolah meminta pengurus osis untuk mengadakan games setiap hari Jum'at.

Aku sudah siap menggunakan Hoodie cokelatku serta hijab hitamku, dengan menggunakan tas selempangku. Aku pun beranjak membangunkan adikku, setiap aku ingin berangkat sekolah aku menitipkan Adikku ke rumah tetangga. Tidak mungkin juga jika aku membawa adikku ke sekolah, tanpa pungut biaya sepersen pun. Dulu aku ingin membayarnya tetapi karna tetanggaku orangnya berbaik hati, Ia memilih untuk tidak menerima uang dariku, katanya "Buat makan kamu dan adikmu saja,"

Setelah pekerjaan rumah selesai dan mengantar adik ke rumah tetangga, Ahmad pun tiba bersama motor sportnya.

Ahmad makin hari stylenya makin keren dan nampak dewasa, tak heran lagi kalau aku terbiasa couple dengan bocah satu ini. Setiap hari Jum'at pasti Ia meminta untuk couple dengannya, aku pastinya juga tidak enak jika menolaknya. Mungkin permintaanya tidak amat berat dibanding pemberian yang pernah Ia berikan padaku. Sebenarnya Ahmad tidak pernah mempermasalahkan semua itu, tetapi tetap saja aku merasa tidak enak dengannya.

Ahmad memanggilku untuk menaiki motornya seraya bersedekap tampak sok cool.

"Gimana penampilanku, handshome kan?" tanya Ahmad memuji dirinya sendiri seraya bersedekap.

"Hmm boleh lah," jawabku hanya menjawab jujur, biasanya jika Ahmad memuji dirinya sendiri aku suka aja ngeles. Tapi kali ini aku tidak ingin berbasa-basi sama skali.

"Tumben jujur, tapi baguslah kalo kamu udah ngaku." pekik Ahmad tersenyum seraya menaik-turunkan alisnya.

"Hmm nggak usah banyak bacot, udah ayo jalan!" pintaku yang sudah di atas motor seraya memukul pundak Ahmad.

"Siap tuan putri," katanya.

Ahmad melaju motornya dengan kecepatan yang sedang.

Di tengah perjalanan, aku melihat Dhea dan teman-temannya sedang berdiri di pinggir jalan.

"Mad, bukannya itu Dhea dan Teman-temannya yah?" tanyaku memukul-mukul pundak Ahmad dengan pelan di belakang.
Ahmad yang tadinya fokus pada jalanan langsung mengarahkan pandangannya kepada Dhea dan teman-temannya.

"Iya, ngapain mereka di sana?" tanyanya.

"Nggak tau, samperin yuk!" jawabku mengajak Ahmad menemui Dhea.

"Ahh malas, entar juga cari gara-gara sama kita," tolak Ahmad.

"Ihk siapa tau mereka butuh bantuan Mad," ucapku lirih.

"Masih bisa yah kamu mau bantuin orang yang selalu cari masalah sama kamu," kata Ahmad tersenyum simpul.

"Ahmad.... nggak boleh gitu ihk, bertemanlah dengan siapapun karena kita tidak pernah tau tangan yang mana akan menolong di saat situasi terpuruk dalam hidup." sahutku.

"Iya...iya..." ucapnya tampak pasrah.

Disana sudah ada Dhea, Kiky, dan juga Wirda mengibas-ibaskan tangannya tepat di depan pipinya. Mereka tampak kepanasan di sana, apa yang mereka lakukan di sana? Sepertinya mereka sedang menunggu sesuatu.

ALMAWhere stories live. Discover now