Bekal

202 174 137
                                    

Punggung Ayah adalah penyangga rumah kita. Sayangi dia selagi kita masih bisa melihatnya tersenyum :)

Happy Reading




Setelah sholat subuh aku membersihkan rumahku sebelum berangkat ke sekolah. Setelah urusan rumah selesai, aku membersihkan badan kecilku tak lupa pula mencuci pakaianku sendiri. Aku bukannya tidak mau mencucikan pakaian ibu dan ayahku, namun kata ibuku "Kau tidak usah mencucikan bajuku dengan ayahmu. Caramu mencuci belum bisa kupercaya bersih atau tidak." itu kata ibu kepadaku. Jadi aku memutuskan untuk mencuci pakaianku saja.

Di sekolah sudah beberapa temanku yang berdatangan. Ada yang di antar dengan kedua orang tuanya, ada yang di antar pakai sepeda bersama ayahnya, dan lain sebagainya. Sedangkan aku hanya berjalan kaki bersama teman sejalanku. Mungkin ada dua orang yang kutemani berjalan kaki setiap hari ke sekolah. Namun, sama sekali kami tak nampak kecapean walaupun sekolah agak jauh dari rumah, karena kami selalu bercanda gurau sambil berjalan tanpa menyadari kalau kami sudah sampai di depan gerbang.

"Ehh udah nyampe nih." ujarku terkekeh.

"Hehe iya, keasyikan ngobrol sih." gerutu Tia - teman sejalanku.

"Haha iya, sampai jumpa kawan." ucap Ahmad melambaikan tangannya.

Tia kakak kelas aku di sekolah, aku berbeda  setahun dengannya. Sedangkan Ahmad teman sekelasku, bolah di bilang Ahmad teman dekat aku sejak masuk sekolah. Tia memang bukan sekelas aku namun kami sangat akrab dan selalu akur, begitu pun dengan Ahmad. Ia selalu memberiku bekal setiap hari, begitu pun sebaliknya. Jadi setiap hari jika sudah waktu istirahat, kami selalu saling mencoba bekal.

"Mau kemana mad?" tanyaku.

"Mau ke wc, dari tadi sebenarnya udah kebelet pipis makanya diam mulu." teriaknya sudah jauh dariku.

"Owalah! pantas." sahut Tia tertawa, disusul aku dibelakang.

"Oke, aku ke kelas dulu yah, bye" pamit Tia memasang senyum manisnya.

"Oke," ucapku, kemudian berjalan menuju kelas.

Di dalam kelas sudah banyak siswa yang datang satu persatu. Aku yang baru saja datang menghembuskan nafas panjangku dengan apa yang teman - temanku lakukan ketika sedang tidak ada guru.

"Kalau aku negur pasti dibilangin sok perhatian, kalo nggak ditegur meja akan kotor akibat coretan teman-teman aku. Dan bisa saja mereka dihukum gara-gara perbuatan mereka." batinku ragu.

"Mmmm nggak papa deh aku dibilangin sok perhatian dari pada mereka dihukum kan nggak baik juga." lanjutku tersenyum.

"Teman-teman!" panggilku, sontak teman-temanku mengalihkan pandangannya padaku.

"Jangan coret-coret meja dan bangku, kalau guru-guru lihat, kalian akan dihukum!" tegurku lirih.

"Nggak usah sok bijak kamu! Kami yang dihukum kan? Bukan kamu? Jadi nggak usah ikut campur!" oceh Mirda memiringkan sedikit ujung bibirnya.

"Iya nih, sok mau di bilang baik yah?" sindir Kiky tertawa licik padaku.

"Kalau mau ikut, ikut aja. Nggak usah sok jual mahal" timpal Fina dengan senyum menyeringai.

"Ehh kalian yang salah, ngeles lagi!" pekik Tania membelaku.

"Ada apa ini? Kenapa ribut-ribut begini?" tanya bu Mala yang baru saja datang disusul Ahmad di belakang.

ALMAWhere stories live. Discover now