Sebungkus nasi

182 157 84
                                    

🌜Jangan takut dengan kegagalan ketika memulai sebuah usaha, karena kegagalan yang kita alami adalah bahan pembelajaran untuk memperbaiki usaha kita 🌛

Happy Reading
'
'
'

Hari ini hari liburku di sekolah, dimana hari ini juga hari gajian aku dari warteg pak Rusdi. Aku segera memandikan badanku kemudian bergegas ke warteg. Namun, ketika aku melangkahkan kaki untuk keluar dari pintu. Ayah memanggilku.

"Alma! " panggil ayahku.

"Iya ayah. " jawabku menghentikan langkahku.

"Sini dulu!" pintanya meringis.

"Ayah kenapa? Sepertinya sedang kesakitan?" batinku tampak khawatir dan segera berlari ke kamar ayah.

"Iya yah. " ucapku.

Ternyata ayahku sedang terbaring lemah di atas kasur tanpa ada papan ranjang yang mengalasi. Aku bertanya kepada ayah ternyata ayahku sakit, aku segera berlari dan menuju ke warteg meminta upahku setelah 1 minggu berlalu. Pak Rusdi memberiku upah 10k setiap hari, berarti aku mendapatkan upah 70k setiap minggu.

Sampai di warteg, disana sudah banyak pengunjung. Dan yang aku lihat pak Rusdi benar-benar sangat kewalahan. Aku tampak kasihan namun aku sempat berfikir bagaimana keadaan ayahku di rumah. Apakah dia baik-baik saja di sana?

Aku segera memberanikan diri ke warteg kemudian membantu pak Rusdi sampai pengunjung mulai berkurang.

"Pak boleh saya pamit duluan?" tanyaku dengan sopan.

"Loh! Bukannya hari ini hari libur yah?" tanya balik pak Rusdi.

"Iya pak, tapi sekarang ayah saya sedang sakit dirumah. Saya juga butuh upah saya yang kemarin-kemarin, Alma nggak mau ngeliat ayah kesakitan pak. Alma sangat sayang sama ayah. " jawabku mulai tampak sedih menahan rintihan air mataku.

"Iya nak, nggak papa. Nih buat kamu." ucapnya seraya menyodorkan 2 lembar uang biru.

"Loh! Ini nggak kebanyakan pak? Bukannya upah saya setiap minggu cuman 70.000 yah pak?" tanyaku tampak heran.

"Ambil aja kembaliannya, itu buat beli obat ayah kamu. Semoga cepat sembuh. " jawabnya tak lupa pula menampakkan senyumannya.

"Makasih banyak yah pak, semoga do'a bapak juga terkabulkan. Aamiin. " ucapku sangat bahagia mendapatkan upah yang lebih dari gajiku.

Pak Rusdi tersenyum melihatku sangat bahagia, aku segera ke apotek terdekat untuk membelikan obat pada ayahku. Tetapi, aku tidak tau obat apa yang harus ku beli, aku masih tidak mengenal bentuk obat-obatan. Lantas aku segera ke warung pak Sofyan saja membeli sebungkus Nasi campur untuk Ayahku. Aku belum sempat memasak karna kesiangan, sedangkan ibuku masih tertidur di kamarnya.

Sesampainya di rumah, aku pun memberikan sebungkus nasi campur untuk ayahku. Aku segera mengeluarkannya dalam kantongan hitam, dan tampaknya ayahku benar sangat kesakitan dan lemah. Tidak bisa berbuat apa-apa, aku segera menyuapinya namun ayahku menolaknya.

"Ahh tidak usah, ayah bisa sendiri. Ayah bukanlah lelaki yang lemah seperti bocah ingusan kek kamu.!" tolak ayahku tegas.

"Oh maaf pak, aku kira ayah tidak bisa menyuap sendiri. " sahutku seraya memerikan makanannya pada ayah.

Namun tiba-tiba saja ibuku datang merampas makanan itu dari ayah, sontak aku terkejud menatap ibuku. Ayahku tampak sangat ingin merampas makanan yang dipegang ibuku, namun tenaganya masih lemah hingga tak bisa berbuat apa-apa. Ayahku cukup menatapnya dengan sinis namun ibuku hanya memakan nasi campur yang sudah kubeli buat ayah.

"Ehh kamu kalo mau makan masak sana!" ketus ayahku pada ibu seraya menunuk ke arah dapur.

"Salah kamu, siapa suruh nggak ngasi aku duit. Mau masak apa kalo di dapur nggak ada apa-apanya. " pekik ibuku sambil mengunyah.

"Ini salahku! Aku hanya membeli satu Nasi sampur saja, tapi! Jika aku membeli dua nasi campur bagaimana dengan uang sekolahku nanti dan juga untuk obat ayahku. " batinku.

"Alma, mana upah kamu? Bukannya hari ini kamu gajian yah?" tanya ayahku dan memintaku untuk memberikan padanya.

"Sudah kubelikan nasi campur yah. " jawabku merunduk.

"Nasi campur doang juga, palingan cuman harga 10.000-an aja. " pekiknya.

"Aku mau beli obat untuk ayah, dan bagaimana dengan uang sekolahku nanti. " jelasku.

"Allaaa.... nggak usah beli obat segala, buang-buang Duit. Entar juga sembuh kok!"

Ya Allah ucapan ayahku kali ini benar-benar menyakitkan hatiku, bagaimana jika Allah marah dengan kata-kata ayahku barusan.

"Ehh seharusnya kamu yang ngasih duit sama anak kamu, nggak tau malu!" gerutu Ibuku.

"Sudah diam kamu! Lagian kalo aku kasih juga sok nolak. Alasan haramlah, itulah... intinya aku sudah memberinya. Kalau nolak jelas bukan urusan aku!" ucap ayahku dengan tegas.

Aku segera berpamit pada orang tuaku, aku sudah tak sanggup melihat mereka terus-terusan berdebat. Aku memilih untuk ke rumah ustaz Amar.

Sampai di sana ternyata ustazku sudah duduk di halaman rumahnya bersama segelas kopi.

"Assalamualaikum ustaz," sapaku tersenyum.

"Wa'alaikumussalam warohmatullah," jawabnya.

"Wihhh lagi ngopi nih." ucapku seraya duduk disampingnya.

"Iya, mau?" tanyanya sembari menggeser sedikit kopinya.

"Ah yang benar ajalah ustaz, masa aku ditawarin kopi." ucapku terkekeh.

"Emang kenapa? Anak-anak biasa juga suka ngopi?" tanya ayahku seraya meminum segelas kopinya.

"Aku nggak suka aja." jawabku tersenyum pepsodent.

"Oh baguslah, ngga baek juga kalo anak-anak ngonsumsi kopi. " ucap ustaz Amar lirih.

"Ustaz! " panggilku.

"Um.." jawabnya masih meniup-niup kopinya.

"Aku mau bertanya," ucapku.

"Bertanya apa?" tanyanya.

Aku menceritakan hal tadi yang barusan menimpaku bersama keluarga kecilku, lalu ustaz Amar kembali menyimpan kopinya di meja.

فَبَاءُوا بِغَضَبٍ عَلَى غَضَبٍ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ مُهِينٌ "

Dan karena itulah mereka menanggung kemurkaan demi kemurkaan, dan kepada orang-orang kafir ditimpakan azab yang pedih. (QS. Al-Baqarah: 90) " jelas Ustadz Amar

"Berarti kata-kata Ayahku tadi salah dong?" tanyaku tampak murung.

"Iya, ayahmu terlalu kejam. Bukannya bersyukur mala berkata seperti itu. " ucap ustaz Amar mulai emosi pada ayahku, ustaz Amar bukannya emosi karna apa. Namun, ia emosi karna perkataannya.

"Masih pantaskah dia kupanggil Ayah ustaz?" tanyaku.

Ustaz Amar sangat terkejud dan terpukul mendengar ucapan Alma. Tak pernah menduga sedikitpun kelakuan ayahnya akan seperti ini. Ustaz Amar tiba-tiba terkulai lemas seraya menghembuskan nafas panjang.

"Sejahat-jahatnya ayahmu, dia tetaplah ayahmu nak. Insya Allah akan ada jalan keluar di setiap masalah, maka bersabarlah!" jelas ustaz Amar.

"Makasih ustaz. Aku sayang ustaz." ucapku seraya memeluk ustazku, ayahku memang tidak pernah menganggap ku ada. Namun aku bisa menganggap ustaz Amar sebagai ayahku sendiri. Dia sangat berarti bagiku, hanya dialah yang selalu mensupportku dan menyemangatiku di setiap aku terpuruk. Ustaz Amar hanya membalas pelukan kasih sayangnya layaknya seperti seorang ayah dan anak. Andai kala ayahku bisa seperti ini.....










Author Alda Maylanda

*jangan lupa bersyukur ☺

ALMAWhere stories live. Discover now