01. Nostalgia

83 34 32
                                    

Hargai karya orang lain, tekan tombol bintang disisi pojok bawah, enggak berbayar! Gratis! Author butuh readers yang nyemangatin biar dia semangat upd, bukan sinder.🚫


Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


••maaf telah menyalah artikan setiap kebaikan yang kau berikan untukku.••

Dariku : Pengagum rahasiamu
~Darma~


~happy reading~



Mendung yang menutupi matahari mulai mengeluarkan tangisnya. Kota ini telah diguyur hujan sejak dua hari yang lalu tanpa henti, hawa dingin memasuki setiap celah kamarku yang tertutup kardus, ah mungkin malah hampir setiap hari.

Hujan yang kulihat dari cendela kamar membuat lengkungan bibirnya menukik kebawah, bayangan tentang lelaki yang ambruk didepanku membuatku ingin menangis. Dia Samudra, bukan itu namanya, tapi setiap orang selalu memanggilnya dengan sebutan itu. Menggemaskan.

Aku terdiam, fikiranku mulai kacau, suara itu kembali terdengar. Suara rintihan kesakitan dan ucapan itu kembali menari kedalam fikiranku.

"Aku sakit, dan umurku tak akan lama lagi. Aku i-ngin jujur kepadamu, Darma. A-ku menyukaimu, dan selamanya akan me-menyukaimu. Maaf. Aku ingin se-kali mem-perjuangkanmu, ta-tapi takdir berkata ba-hwa aku ha-rus pu-lang. Ma-af."

Ucapannya sangat terbata, namun aku masih bisa mendengar jelas setiap ucapan yang ia keluarkan. Aku menangis...tentu saja.

01 januari 2015....

Hari kepergiannya. Dan....hari kelahiranku.

Ulang tahunku memang tak pernah dirayakan, alasannya hanya satu. Orang tuaku sudah tiada semenjak aku kecil. Aku tinggal di panti asuhan, dirawat oleh seorang ibu yang sangat amat menyayangiku seperti putri kandungnya, beliau adalah bu Sri.

Aku yang paling tertua, karna di panti ini semua masih berada sangat jauh dibawahku.

Dan di tempat dan di tanggal yang sama pula, aku melihatnya. Dia datang ke panti dengan kedua tangan memegang kardus berukuran sedang, tersenyum kearah setiap anak dan kemudian mengecup pipi mereka satu persatu.

Sangat manis...aku menyukainya...dan sangat menyukainya.

Begitupun sebaliknya, hanya saja aku mengetahui saat ia mengungkapkan perasaannya namun ia tak mengetahui perasaanku. Mencintainya dalam diam.

Sekarang, akan kuceritakan tentang sosok lelaki itu. Bernostalgia lewat ketikan yang ku ambil dari diaryku.

●●~●●~●●~●●

"Manusia yang cacat sepertimu tidak pantas bersekolahan di sini!"

"Menjauhlah! Jangan sampai kami tertular nasib burukmu!"

"Pergilah dari sini, Darma."

"Kelas ini tak mengizinkanmu masuk!"

"Berhenti menghina satu sama lain, sudah baikkah kalian? Sampai harus menghinanya tanpa henti?" Suara itu membuatku mendongak, ia berada dibelakangku dengan tangan yang akan mendorong kursi rodaku.

Disetiap sekolah pasti ada yang di risak dan ada yang merisak. Ya, disini aku yang di risak dan geng dari bunga yang merisak.

Aku tak menangis, karna ucapan seperti itu selalu aku dapat sejak sekolah dasar. Benci? Ah tidak, aku tak pernah membenci mereka yang menghinaku, kau pernah mendengar istilah "setiap kekurangan pasti ada kelebihan." Dan aku mempercayai itu. Insecure dengan kehidupan orang lain bukanlah diriku.

"Kau baik-baik saja?"

"Ya..aku baik-baik saja. Terima kasih."

"Siapa namamu?"

Aku menunduk, "Darma. Setyadarma zovanda dewi." Tak ada respon. Akupun menyadari, memangnya siapa yang mau mendekatiku? Namun ternyata fikiranku salah. Ia berjalan dan kemudian berjongkok dihadapanku, tersenyum dibarengi tangan yang menggenggam erat tanganku.

"Dengar, tak perlu meladeni setiap ucapan yang mereka berikan padaku, fokuslah pada nilai sekolahmu. Ah dan ya, mulai sekarang setiap berangkat, pulang, istirahat, dan jam jam lainnya aku akan menjemputmu.

"Memangnya kamu tahu kelasku?"dia menautkan alisnya, salahku dimana? Bukankah ia juga baru pertama kali mengenalku? Kenapa malah seolah ia sudah melihatku berkali kali.

"Aku tahu. Kelas Xll mipa 1, itu kelasmu. Aku selalu melihatmu dipanti, dan aku selalu melihatmu saat memasuki kelas."

Aku semakin menunduk. Dia tertawa, tawanya membuatku menahan senyum, suaranya bahkan mampu menghilangkan setiap rasa sakit yang ku hadapi.

"Namamu?"aku mendongak, menatap netra mata yang teduh itu dengan gugup. "Untuk dirimu, panggil aku suga. Namaku, sugara mudrajaya." Balasnya.

Namanya terlalu sulit, lantas....nama samudra ia dapatkan dari mana? Seperti mengetahui keheningan dan kerutan di dahiku ia kembali berbicara, "S-a-mudra. Panggilan itu untuk orang yang baru kukenal."

Aku mengangguk. Ah sebentar, panggilan untuk orang yang baru ia kenal? Berarti Suga adalah panggilan untuk orang yang ia kenal?


"Aku akan pergi, jaga dirimu baik-baik. Kau mempunyai ponsel?"aku mengangguk, ku keluarkan ponselku dari dalam jas, menyodorkannya ke arah Sa-Suga.

Wajahnya mulai serius dengan tangan yang mengotak-atik ponselku, entah apa yang ia lakukan. Tak bisa kujelaskan bagaimana bahagiaku saat itu, kita sangat dekat, bahkan lebih sangat dekat. Ia mendongak, memberikan ponselku.

"Itu nomorku, hubungi aku jika kamu memerlukan bantuan. Tak perlu sungkan."

"Memangnya kamu tidak sibuk dan akan datang jika aku menghubungimu?"

"Tentu saja aku sibuk, tapi aku akan datang jika yang membutuhkanku itu kamu."

"Ah, baiklah. Terima kasih."

Dia mengacak puncak kepalaku, kemudian melangkahkan kakinya pergi menjauh. Aku tersenyum. Antara ingin menangis atau bahagia.

Dia Suga....

Lelaki dengan wajah yang selalu serius itu mencuri perhatianku. Bukan dari sekarang, tapi dari dulu.

DEAR STempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang