6. Dewana

8.3K 967 190
                                    

Kania menepati janjinya pada Anne. Ia benar-benar berkunjung ke kediaman keluarga Winata ketika sabtu malam datang. Tetapi sayang, kedatangannya yang kelewat malam, bahkan hampir dini hari, hari minggu, membuat tak seorang pun mengetahui itu, kecuali ayahnya. Tentu saja Kania selalu mengabari Mr. Winata ketika ia akan berkunjung.

Kania pergi jogging pagi ini. Seperti biasa, ia akan mengitari kompleks perumahan keluarga Winata untuk beberapa putaran. Barulah ketika letih melanda, ia kembali pulang ke rumah itu.

Kania berjalan mengendap-endap ketika dirinya akan berjalan menuju tangga. Letak tangga yang berada di dekat dapur, membuatnya melakukan itu. Ia tak mau kalau sampai kejadian mengantarkan senampan susu dan buah terulang lagi. Ia tak mau terjebak canggung yang membuat dirinya tak fokus selama satu minggu.

"Loh, Kania."

Kania menutup matanya. Uh, sedikit lagi sebelum ia mencapai lantai atas. Tetapi sayang, suara barusan sudah terlanjur memanggilnya.

Kania menoleh ke belakang. Di dekat bagian bawah tangga sana, ada Bunda yang berdiri mengahadap ke arahnya. Kania mau tidak mau harus kembali turun untuk menyapa Bunda kan?

"Bunda."

Kania menyodorkan tangan kanannya, ia akan melakukan ritual mencium tangan seseorang yang dihormati--seperti yang diajarkan oleh mamanya di Jogja.

"Pagi Bund."

Bunda tersenyum, "Pagi. Jam berapa datangnya? Kok Bunda nggak tau.."

Kania mengikuti Bunda yang berjalan ke dapur. Mau tidak mau harus melakukan itu untuk menghormati sosok yang lebih tua.

"Tadi malam. Jam satu kalau enggak salah."

Bunda mengangguk. Wanita berumur senja itu mencuci tangan nya di washtuffel sebelum berbicara, "Jam satu baru sampai. Dan jam tujuh gini kamu udah selesai jogging?"

Kania meringis, "Iya Bund. Udah kebiasaan. Selagi dapet waktu kosong, ya dipakai lari, soalnya akhir-akhir susah dapet waktu lari pagi."

Bunda tampak sibuk dengan buah, pisau, dan piring di tangannya. Kania melihat itu, dan perasaannya jadi was-was.

"Rajin olahraga ya kamu."

Kania mengangguk meski Bunda tak melihat gesturnya, "Yaa, dulu bisa dibilang gitu. Kalau sekarang udah nggak begitu sering."

"Bagus dong. Konsisten terus, sekalian jaga tubuh juga," ucap Bunda dengan tangan yang sibuk dengan gelas. Wanita tua itu sudah selesai dengan buah, piring, dan pisau.

Kania tersenyum, "Iya Bund. Kania juga selalu berusaha biar bisa olahraga tiap minggunya."

"Bagus deh."

Kania hanya mengangguk sebagai jawaban. Ia lantas mengambil segelas air untuk diminum.

"Oh ya, dari kemarin Anne nanyain Kania terus."

Kania tersenyum. Ia kembali ke posisinya yang duduk di kursi meja makan, berhadapan dengan Bunda yang sibuk dengan segelas susu. Sebenarnya Kania sudah was-was, tetapi ia tetap disana dan terus merespons ucapan Bunda.

"Wah iya? Nanya gimana tuh?"

"Nanyain kapan auntie Ken nya main lagi. Gitu terus. Semua orang ditanya, mulai dari Bunda, Ayah, supir, bibi, sama mommy nya. Duh semua ditanya deh. Bunda sampai pusing."

Kania tersenyum, mengiggit bibir bawahnya.

"Kemarin hari rabu Anne sempet nelfon, minta Kania main kesini."

Bunda tertawa tipis, "Iya, itu kakak iparmu terlanjur kesel sama Anne yang nanyain kamu mulu. Akhirnya Diajeng nyuruh Anne nelfon kamu pakai ponselnya."

Renjana [√]Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora