14. S c a l p e l

Start from the beginning
                                    

Zelina terlihat sangat anggun dan dewasa memakai gaun ini.

"Wah, cantik banget anak Mama!" Nina tersenyum hangat saat Zelina keluar dari ruang ganti. Pegawai butik sudah memakaikan mahkota ke kepala Nina sehingga dia benar-benar terlihat seperti pengantin yang siap menikah.

Di tangannya, Nina memegang bando dengan hiasan bunga dan daun kecil dari permata. Dia pun menghampiri putrinya dan memakaikan bando indah tersebut di kepala Zelina. "Cantik, sudah seperti karakter mitos Yunani," gumam Nina yang dibalas senyuman oleh Zelina. Ia jadi teringat bagaimana Nina menata rambutnya sewaktu dia SD dulu.

"Om Ali emang gak main-main mau nikahin Mama, ya?" Zelina menggoda, membuat pipi Nina memerah lagi.

Pernikahan Ali dan Nina bukan pernikahan orang lanjut usia pada umumnya yang kecil dan sederhana. Ali ingin Nina seolah-olah menjadi pengantin untuk yang pertama kalinya lagi. Pernikahan mereka akan besar, meriah, dan tentunya berisi tamu undangan yang banyak layaknya pernikahan anak muda zaman sekarang karena Ali tidak bisa memberikan hal itu pada Nina dulu.

Ali ingin membuat Nina menjadi ratunya. Dia sudah menanti dan menabung hingga usianya lebih dari setengah abad untuk menikahi wanita pujaannya. Ia tidak takut untuk memamerkan hasil dari penantian itu. Ali ingin semua orang tahu bahwa akhirnya ia mendapatkan kembali cinta pertamanya setelah sekian lama.

Zelina rasa, kisah cinta Mamanya itu telah mengalahkan kisah cinta Barbie yang ia sering tonton semasa kecil.

Ah, manisnya.

*****

Zelina sedang berjalan menyusuri rumah sakit usai jadwal fisioterapi terakhirnya. Suasana dan aroma rumah sakit yang khas di sore hari sudah sangat familiar bagi Zelina yang sudah beberapa bulan menjalani fisioterapi rutin.

Akhirnya, kondisi bahu Zelina pulih sepenuhnya. Dia sudah hampir tidak pernah merasa sakit atau ngilu. Bebas penyangga bahu. Zelina bersyukur karena mulai besok, ia tidak harus bolak-balik ke rumah sakit lagi setiap 2 minggu sekali.

Langkahnya berhenti ketika ia melihat Damian memasuki sebuah ruangan dengan langkah yang gusar dan kepala tertunduk lesu. Damian tidak melihat Zelina, tetapi Zelina dapat melihat raut wajah kesedihan di sana. Entah ada pengaruh dari mana, kaki Zelina begitu saja melangkah menuju ruangan yang tadi Damian masuki.

Tulisan 'staff only' di pintu yang menuju ruang medical supplies itu sempat membuat Zelina ragu. Apakah ia harus masuk? Namun, bagaimana jika Damian tidak menginginkan kehadirannya? Di sisi lain, Zelina juga merasa berhutang budi karena Damian beberapa kali pernah menolongnya.

Sudah saatnya Zelina membayar rasa hutang budi itu.

Tapi, apa benar ia senekat ini hanya karena rasa hutang budi?

Setelah memastikan tidak ada yang memperhatikan Zelina di lorong, ia pun masuk ke ruangan itu diam-diam dan tanpa bersuara sebisa mungkin. Alangkah terkejutnya Zelina menemukan Damian yang sedang terduduk lesu di pojok ruangan sambil menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Zelina juga bisa melihat bagaimana pundak Damian bergerak naik turun dengan cepat layaknya orang yang sedang menangis. Tunggu, Damian memang sedang menangis. Zelina dapat mendengar isakannya yang pelan dan entah kenapa, hati Zelina merasa sakit dibuatnya.

There's just something about a man that cries. They seem more vulnerable, troubled, and heartbroken.

Secara perlahan dan hati-hati, Zelina pun duduk di samping Damian yang masih sibuk menangis. "Lo kenapa?" tanya Zelina dengan lembut, membuat Damian sedikit terperanjat dengan kehadiran seseorang yang ia tidak sadari sedari tadi.

Damian pun mengusap air matanya dengan kasar sebelum melihat Zelina dan berdehem pelan. "T-tidak. Saya tidak apa-apa. Anda sedang apa di sini?"

"Bohong." Zelina bersedekap. "Lo kalau mau nangis, beresin aja nangisnya. Gak usah sok kuat gitu. Crying doesn't make you any less of a man, you know?"

Damian pun menunduk dan menghela napas. "Maaf. Saya hanya sedang ... terpukul."

"Kenapa? Mau cerita?"

Setelah bergulat dengan pikiran dan egonya sendiri, akhirnya Damian mengangguk pelan. "Saya kehilangan nyawa di meja operasi tadi," ujar Damian lemah dengan air mata yang ia coba tahan sebisa mungkin agar tidak jatuh.

Zelina tadinya ingin mengucapkan, 'Bukannya sudah biasa orang kehilangan nyawanya di rumah sakit?', tetapi ia memilih diam dan mendegarkan Damian dengan sabar sampai ia selesai bercerita.

"Tadi ada kecelakaan mobil. Satu keluarga menjadi korbannya. Si Pengemudi.... Kepala keluarga mereka menjadi korban paling kritis. Dia sudah terlalu banyak kehilangan darah dan ada luka dalam yang cukup parah. Saya ... tidak bisa menyelamatkannya....."

Zelina pun merasa iba melihat Damian yang begitu terpukul dan kembali mengeluarkan air mata. Dengan ragu, ia mengulurkan tangannya untuk mengusap lembut punggung Damian yang saat ini terlihat sangat rapuh.

"Ini bukan salah lo. Takdir hidup dan mati gak ada yang tahu. Lo udah berusaha sebisa mungkin...., tapi, keputusan akhirnya ada di tangan Tuhan. Dia mau pasien lo pulang dan lo gak bisa melakukan apa pun menghalangi kehendak-Nya." Zelina mencoba menenangkan Damian yang masih menangis.

"Tapi, dia masih punya dua anak kecil dan seorang istri yang masih butuh kasih sayangnya. Saya yang gagal menyelamatkan dia. Saya merasa sangat bersalah."

"Iya, gue paham. But everything happens for a reason, you know? Lo hanya manusia biasa, bukan Tuhan. Lo gak bisa menyalahkan diri lo sendiri atas semua yang terjadi. Gue yakin, meskipun sakit dan berduka, istri dan anak-anaknya sangat berterimakasih sama lo karena setidaknya lo sudah berusaha untuk menyelamatkan kepala keluarga mereka."

Kata-kata Zelina sedikit demi sedikit sudah bisa menenangkan Damian yang kacau. Usapan lembut tangan Zelina di punggung Damian juga terasa sangat nyaman, hampir sama dengan rasa ketika ia berada di dekapan ibunya setelah hari yang berat.

Damian pun mengusap kasar air matanya lagi. Ia memberanikan diri untuk menatap Zelina dengan matanya yang masih merah dan sembab. Zelina yang sedikit salah tingkah karena ditatap seintens itu hanya menawarkan senyuman kecil.

"Saya tahu ini tidak pantas dan aneh. Tapi..., boleh saya peluk Anda?"

Sorot mata Damian yang sangat lemah dan rapuh itu membuat hati Zelina terasa ditusuk ribuan jarum. Tanpa menjawab dan berpikir panjang, entah ada nyali darimana, Zelina pun menarik Damian ke dalam pelukannya.

Damian yang awalnya sedikit terkejut karena telah memprediksikan penolakan pun langsung menyambut pelukan Zelina yang sangat nyaman itu dengan hangat. Lengan besarnya melingkari punggung Zelina sementara ia menyembunyikan wajahnya di antara leher dan pundak kiri Zelina.

"Thank you."

"It's okay, take your time."

*****

Doakan saya biar gak stuck.

18 Februari 2021

ZelianWhere stories live. Discover now