Picnic or Camping?

9 3 0
                                    



Ford double cabin melaju tanpa buru-buru, roda-rodanya seolah menikmati tiap jengkal jalanan desa yang lebar, lengang dan benar-benar nyaman. Rasa-rasanya kita bisa tidur nyenyak di aspalnya yang mulus.

Kalau ada yang bilang sebutir tanah surga jatuh di Windyville kayaknya nggak berlebihan. Dari jendela mobil yang terbuka lebar aku menemukan lukisan kalender seharga jutaan dolar. Bentangan padang menghijau dengan pohon-pohon white oak, sycamore, american elm, juga cottonwood yang besar tegak menjulang di sana-sini. Pada bagian-bagian di mana pepohon  absen, rumput lebat berdesakan memanggili gerombolan kupu-kupu bergegas menyerbu warna-warni bunga yang mencuat di sela-sela. Sementara jauh di belakang sana bukit besar berdiri menjaga.

"Itu Bennet Spring Park," Kevin mengedikkan dagu, ia tahu dari tadi aku terus memandang ke sana.

"Entar kita bakalan naik ke sana," Sean mengedipkan mata sambil membelokkan setir. Mobil keluar dari jalan desa memasuki jalur sempit tanpa aspal, merayap di antara pepohon rapat. Tercium olehku segarnya rumputan dan bau khas batang pinus. Tak sampai sepuluh menit mobil menuruni lereng landai yang pendek. Pohon-pohon yang semula rapat seolah bergerak menyebar menjauhi kami, memberi ruang padang rumput kecil dengan gemericik sungai jernih di belakangnya untuk menghamparkan keindahannya.

Indah banget!

Sean menghentikan mobil di dekat sungai. "Oke, Dude. Kita sampai di Moon Valley!" serunya.

"Sialan! Lo ngerjain gue!" aku keki.

Ketiganya ketawa sampai terjungkal-jungkal.

Barang-barang dibongkar dan lagi-lagi aku dibuat keki. Kalau ada lomba menegakkan tenda, aku yakin Sean dan Kevin minimal akan jadi juara runner up. Kedua anak itu bergerak segesit belut dan hanya dalam waktu kurang dari lima menit sebuah tenda besar tegak, seakan mereka biasa membongkar-pasang saban pagi dan sore sejak hari pertama mereka dilahirkan.

Tenda itulah yang bikin aku keki. Tenda yang besar menggelembung itu bukanlah tenda gunung seperti yang biasa dipakai petualang alam! Coba pikir, mana ada tenda gunung warnanya putih dengan kanopi bergaris-garis hitam putih bak tuts piano di bagian depannya. Bukankah tenda semacam ini biasanya pentas di bazar-bazar lapangan terbuka?

"Ngapain tendanya kayak orang mau jualan?" aku protes dengan sengit. Sean dan Kevin ketawa terpingkal-pingkal.

"Mama yang suruh," sahut Sean di sela ketawa. "Ini memang tenda mama kalau lagi jualan di bazaar, sengaja gue bawa karena lo ikut. Kalau cuma bertiga sih, kita pakai sleeping bag doang."

"Entar kalau ada yang beli sosis panggang lo yang layanin, ya!" ledek Kevin

"Gue jual sekalian tendanya!" sahutku sewot.

Begitu seluruh bawaan dibongkar, tahulah aku perkakas ajaib yang ikut bukan tenda besar doang. Sean ternyata juga mengangkut empat kursi pantai dan empat folding bed, tempat tidur lipat yang biasa digunakan di rumah sakit darurat. Heran! Dari mana anak ini kulakan barang-barang kayak begini?

Belakangan aku tahu kalau Uncle Bruce merupakan anggota sukarelawan palang merah Lebanon. Tenda besar dan folding bed itu perabotan simpanan beliau kalau sewaktu-waktu dibutuhkan. 


                                                                  *           *              *


Terus ikutin ya Gaes....  bab selanjutnya

The Dark ClusterDär berättelser lever. Upptäck nu