New York, New York

18 5 0
                                    


Nggak tanggung-tanggung, Japan Airlines membetot punggungku sampai kaku bak selembar papan. Tiga puluh delapan jam dicengkeram kursi kelas ekonomi, pantatku bukan saja panas bahkan kian menipis sewaktu akhirnya bandara John.F.Kennedy, New York, muncul di luar jendela pesawat.

Ahhhhh... Thank's God! Kulirik world clock di ponsel yang kunyalakan diam-diam barusan, jam 07.20 waktu setempat.

Beringsut-ingsut keluar dari kabin Boeing 737-800 tubuh kecilku bak ikan teri nyemplung ke danau Toba. Lenyap dilalap megahnya bandara. Aku tenggelam dan menyusut sekecil liliput di lautan orang tinggi besar-besar yang berkelebat tak keruan.

Seperempat jam kemudian nasib membawaku berdiri limbung di hadapan ibu-ibu gemuk yang gemar mencengkeram paspor. Ia memelototiku dan kubalas memelototinya. Aku rasa Departemen Imigrasi Amerika sebaiknya memberi warna seragam berbeda menyesuaikan warna kulit para petugasnya. Kasihan bener ibu ini. Dengan logo US Custom Border Protection di lengannya ia memang tampak berwibawa, tetapi kulitnya yang legam jadi semakin kelam.

Badannya yang berlemak lenyap dalam seragam hitam-hitam yang membelitnya dan satu-satunya yang membuatku sadar sedang berhadapan dengannya hanyalah warna putih bola matanya yang mendelik ke arahku. Kacamatanya melorot ke cuping hidung tiap kali ia menunduk memandangi paspor. Kuketuk-ketukkan kaki ke lantai menunggu tatapannya yang meloncat-loncat dari paspor ke aku, dan dari aku ke paspor berhenti.

"E-nen-dai-youw-pre-pen-ce... Is that your name?" Dahinya mengerut dan sepasang alisnya bertemu.

"A-nan-di-yow-pra-pan-caaa..!" Aku membetulkan.

"Whatever....Terserahlah." Ia menggeleng, lalu menatapku lagi lekat-lekat.

"Apa Anda mau menghitung tahi lalat saya, Bu?" Kuangkat kaosku ke atas, di perutku ada enam tahi lalat yang tercetak sejak embrio. Bibir tebalnya langsung melebar, ia tergelak-gelak dan menyeka sudut matanya yang berair.

"Kamu sendirian?" Diangsurkannya pasporku, aku mengangguk. "Mau liburan kemana?"

"Kemana saja yang menarik."

"Well! Semua tempat di sini menarik, Boy." Ia menepuk lenganku. "Selamat berlibur!"

Tas gunung di punggungku berguncang-guncang waktu langkahku mendekati pintu keluar. Orang-orang berseliweran cepat di kiri kananku bak gerombolan burung unta berkejaran. Benar juga cerita papa, orang-orang di sini bergerak seperti kuda. Penuh tenaga dan selalu tergesa-gesa, seakan besok sudah meletus perang dunia ketiga.

"Diiiiiioooooooo...!!" seru seseorang di pintu keluar.

Kulihat lambaian tangan sepupuku, Sean. Badannya yang jangkung seperti terbang ke arahku. Seketika pelukannya menerkamku erat, melepaskan rindu tiga tahun terpisah. Sean kelihatan jauh lebih dewasa sekarang, juga jauh lebih tinggi dari terakhir kali aku melihatnya waktu ia ke Indonesia. Ujung rambut coklatnya yang jatuh ke bahu mengingatkanku pada Keanu Reeves di film John Wick.

"Kamu tambah item, Dio." Dipandanginya aku seperti orang menaksir kambing kurban.

"Ngeledek! Mentang-mentang bule."

"Orang-orang bule malah pengen kulit item begini, Dio."

"Ya udah, kamu ke Jakarta aja berjemur tiap hari."

"Hahahahahaha.."

Sean Gordon Stockton blasteran Indo-Amerika. Ia tersambung sepupu denganku karena ayahnya, Uncle Bruce Stockton, bule asli Amerika menikahi Tante Mira, adik mamaku yang berasal dari Yogya.

The Dark ClusterWhere stories live. Discover now