Obrolan di Pesawat

13 4 0
                                    



Jam 18.55 pesawat Southwest Airlines melesat ke langit dari bandara lain kota New York, La Guardia. Bumi sudah diterkam kegelapan tetapi di bawah sana kerlip berjuta-juta lampu dari sudut-sudut New York terus melawan.

Sean langsung ambruk mendengkur bahkan sebelum pesawat mengudara. Ia duduk dekat jendela dan kepalanya jatuh terkulai ke sana. Aku terjepit di kursi tengah dengan seorang perempuan tua yang seluruh rambutnya telah memutih menempel tepat di sebelah kiriku bak mempelai putri. Bah! Padahal aku berharap akan bersebelahan dengan Millie Bobby Brown atau Bailee Madison atau minimal seseorang yang sebelas-dua belas dengan mereka. Bau kamper yang terlepas dari baju hangat kuno nenek-nenek ini membuatnya tampak ringkih serapuh kerupuk. Tapi sekalipun begitu ternyata ia peramah dan rupanya sejak tadi ia memperhatikan tingkahku yang terus-terusan memandang keluar jendela.

"Kelihatannya kau belum pernah melihat New York di waktu malam, anak muda?" Ia menyapa duluan dengan senyum mengembang.

"Begitulah, madam. Ini pertama kali saya datang ke sini."

"Ah, tak usah menyebutku madam." Ia mendekat ke telingaku dan bicara agak berbisik, "Kau panggil saja Barbara, that's my name!" Matanya mengerjap.

"Maaf, tapi saya datang dari negeri yang sangat menghormati orang tua. Kami nggak biasa memanggil orang tua hanya dengan namanya saja."

"Oh, It's wonderful! Dan kamu pasti dari negeri timur bernama...." Tatapannya meminta jawab.

"Indonesia, madam," sahutku cepat.

"Indonesia! Aha, ya, ya. Tentu saja. Aku memang belum pernah ke negeri itu tapi yang kudengar orang Indonesia sangat sopan dan baik"

"Thank you."

"Dan kamu sekarang mau berlibur kemana?"

"Lebanon, Missouri."

"Nice place! Tempat yang bagus untuk seorang pencinta alam."

"Dari mana Anda tahu saya pencinta alam?"

"Hanya petualang alam yang memakai sepatu seperti itu." Ia menunjuk sepatu bot gunung yang kukenakan dengan dagunya. "Aku dulu punya dua pasang. Suamiku punya empat." Jarinya ia kembangkan.

Aku mengangguk-angguk. "Rupanya Nyonya pencinta alam juga..."

"Aku tinggal di St.Louis, Nak. Dulu aku dan Gareth, suamiku, biasa melewatkan waktu luang di sekitar situ. Sering kami mendayung kano di Danau Ozark." Mata Nyonya tua ini berbinar, seperti terkenang sesuatu yang indah. Ia jadi nampak bersemangat sementara rasa kantuk mulai menggerayangi pelupuk mataku.

"Kadang kami memasang tenda di Mark Twain Forest. Sering juga di hutan Hiawatha, Shawnee, Huron, atau Chequamegon Nicolet. Tapi paling sering kami menghabiskan waktu di Bennet Spring Park." Ia tersenyum dan aku menahan pelupuk mataku yang mau jatuh.

"Dulu tempat itu masih jarang didatangi orang. Jalur-jalur lintas alam seperti yang saat ini dikenal orang juga belum banyak. Waktu itu aku dan Gareth sampai harus membawa parang untuk membuka semak-semak yang menghadang jalan."

"Tahun berapa itu, nyonya?"

"Oh, sudah lama sekali. Mungkin sebelum era delapan puluhan."

"Wow! Long long time ago."

"Ya. Kau tahu, anak muda. Jalur Natural Tunnel Trail yang sekarang terkenal itu adalah jalur yang kubuat bersama Gareth dulu"

"Seriously?"

Nyonya Barbara mengangguk. "Itu jalur favorit kami berdua. Tapi jalur kami jauh lebih panjang dari yang dikenal orang sekarang. Kami akan naik jauh ke atas bukit Cedar Ridge. Tahu nggak?Ada satu tempat asyik untuk melihat sunset di puncak bukit, nggak jauh dari benteng setan Dark Cluster."

"Dark Cluster?"

"Ya! Masa kamu nggak tahu tempat mengerikan itu?" Aku menggeleng. Nyonya Barbara menepuk tangannya. "Oh, ya! Tentu saja kamu nggak tahu. Kamu bukan orang Missouri."

"Mengerikan? Memangnya ada apa di Dark Cluster?" Rasa kantukku mendadak berkurang.

"That is an evil's place," bisiknya. "Ah! Sudahlah anak muda. Jauh-jauhlah dari tempat itu."

Rasa ingin tahuku melingkar-lingkar di kening. Aku selalu tersedot pada segala sesuatu yang berbau misteri. Terutama pada tempat-tempat yang dianggap misterius. Ingin benar aku mengejarnya dengan pertanyaan tapi kulihat perempuan tua itu diam seperti melamunkan sesuatu.

Dark Cluster, Dark Cluster, ada apa sih sebenarnya?

Pertanyaan itu terus mendengung sampai aku amblas tertidur sepanjang sisa penerbangan. Tepukan Nyonya Barbaralah yang membangunkanku dan kulihat orang-orang sudah berdiri menurunkan barang bawaannya dari overhead bin. Kulihat Jam di ponsel, 22.25. Dari bandara St. Louis ke Lebanon masih tiga jam lagi, berarti paling cepat baru jam setengah dua pagi nanti sampai di sana.

Aku ngulet.

* * *

The Dark ClusterWhere stories live. Discover now